Januari 2004 adalah titik awal sejarah itu dimulai. Saya mendarat pagi hari di Bandara Sydney setelah menempuh perjalanan semalam penuh dari Bali. Meskipun keriangan masih tak terbendung karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di Negeri Kangguru untuk sekolah S2, kegamangan menyelinap dengan segera. Pertanyaan ini dan itu muncul dengan deras, keraguan susul menyusul dengan sigap dan cepat. “Bisakah saya bertahan dan kemudian pulang dengan cerita yang baik?” Itu pertanyaan yang muncul segera menjadi kegelisahan tetap yang bercokol di pikiran saya setiap saat.
Saya menjalani Master by Research di UNSW, Sydney. Idealnya, saya sudah tahu topik penelitian saya untuk penulisan tesis di akhir masa kuliah. Sayangnya, saya memulai sekolah dengan persiapan akademik yang mengenaskan secara akademik. Tema penelitian saya baru dan belum pernah sama sekali saya lakukan sebelumnya. Saya terpapar oleh isu perbatasan darat sesaat sebelum sekolah S2 dan tertarik menjadikannya topik penelitian untuk S2. Sayangnya, tema batas darat tidak bisa saya teruskan karena tidak ada pembimbing. Kebetulan di UNSW sedang ada seorang doktor muda yang meneliti tentang batas maritim. Maka saya disarankan oleh Ketua Departemen di Teknik Geodesi UNSW (dulu Namanya Surveying and Spatial Information Systems) untuk beralih jalur ke batas maritim. Barang apa ini? Saya tidak tahu.
Sangat sedikit hal yang saya baca sebelum berangkat ke Sydney dan saya merasa benar-benar tidak siap. Di pesawat, saya merasa dalam keadaan nol besar, tidak tahu apa yang akan dilakukan. Bayangan saya tentang sekolah S2 begitu ideal. Saya harusnya sudah membaca banyak paper, sudah memulai menulis soal topik S2 saya, sudah pernah melakukan penelitian pendahuan agar lebih siap, dan sebagainya. Semua itu tinggal mimpi. Saya datang ke Sydney dengan kehampaan. Tidak siap sama sekali secara akademik.
Pertemuan perdana saya dengan dua supervisor saya berlangsung ‘mengharukan’. Saya bahkan salah ucap karena Bahasa Inggris saya yang belepotan dan mengenaskan. Meskipun sudah menjalani persiapan matang di Jakarta sebelum berangkat, tetap saja, percakapan sebenarnya sangatlah berbeda. Terutama ketika percakapan itu mulai mengandung bobot ilmiah yang cukup berat dan diskusi itu nyata, bukan lagi latihan atau simulasi dalam rangka persiapan IELTS. Kenyataan memang tak selalu semanis latihan.
Saya mengatakan “I graduated in two thousand and twenty-one” padahal maksud saya adalah “saya lulus tahun 2001”. Betapa jauhnya. Dua pembimbing saya, Prof. Chris Rizos dan Dr. Clive Schofield, merespon sopan dan mengoreksi tenang, khas ilmuwan beradab. Entahlan, dalam hati mungkin mereka terpingkal melihat seorang anak negeri katulistiwa yang tergagap-gagap mencoba mematut-matutkan diri bersanding dengan para penggiat ilmu kelas dunia. Yang pasti, itu adalah hari yang tidak membahagiakan dan saya merasa begitu bodoh. Tidak banyak yang tahu ini karena yang saya ceritakan kepada orang-orang tak terkait kegagalan semacam ini. Keriangan Negeri Kangguru masih berkuasa begitu kuat dalam berbagai cerita saya.
Clive memberi saya tiga file pdf yang berisi ilmu dasar tentang zona dan batas maritim. Saya bayangkan, semestinya pengetahuan itu sudah saya siapkan sejak di Indonesia sehingga perjalanan riset saya di Sydney akan lebih lancar dan cepat. Sayangnya, kenyataan berkisah lain. Di awal perjalanan saya menempuh S2, saya bahkan baru mempelajari aspek paling dasar dari bangunan ilmunya. Betapa mengenaskanya. Maka hari-hari berikutnya dihiasi dengan membaca dan belajar serta pusing tujuh keliling oleh istilah-istilah yang begitu asing dan mengintimidasi. Pertanyaan dasar muncul secara konsisten “bisakah saya bertahan?” dan kini bahkan tidak diikuti dengan penggal berikutnya “dan kemudian pulang dengan cerita yang baik?”
bersambung ke bagian 2
Sama mas..saya jg struggling ketika ngambil S2 di NZ dgn bidang yg jg baru bagi saya belum lagi tradisi critical thinking mereka yg jauh berbeda dgn tradisi pembelajaran di negeri kita. Tahu saja tidak cukup, mesti bisa mengexplore lebih jauh ditunjang imaginasi dan pendapat kita terhadap teori2 yg sudah mapan..Essay, laporan lapangan, tugas lebih fokus ke arah itu. Sungguh sulit utk mendapatkan nilai sempurna alaias A+. Bahkan teman2 yg asli sana jg belum tentu oerfect meski bisa mendapatkan nilai sempurna dalam artian mereka jg belum tentu menguasai materi secara sempurna😂 tambah lagi tugas2 presentasi mereka yg to the point ga seperti model presentasi kita😁 dan tetap saja kendala bahasa kadang masih ditemui meski jg sudah persiapan IELTS jauh2 hari😂