
Jika digolongkan berdasarkan situasi ekonomi orang tuanya, mungkin mahasiswa memang bisa digolongkan mahasiswa Rich Dad alias yang orang tuanya kaya dan berkecukupan dan Mahasiswa Poor Dad alias yang orang tuanya pra sejahtera. Mahasiswa jenis kedua ini banyak ditemui di Indonesia, terutama mereka yang mendapat beasiswa Bidikmisi. Sejak tahun 2010, pemerintah Indonesia melakukan terobosan kebijakan dengan memberi beasiswa kepada anak-anak keluarga miskin sehingga bisa kuliah. Ini luar biasa.
Hampir sepuluh tahun sejak kelahirannya, Bidikmisi telah mengangkat harkat pendidikan ribuan anak muda Indonesia. Saya beruntung mengenal banyak di antaranya. Sebut saja, Made Sapta, anak seorang lelaki pekerja serabutan dan perempuan buruh warung makan telah tertolong hidupnya oleh Bidikmisi. Saya masih ingat bagaimana orang tuanya tergagap-gagap datang ke Jogja menyaksikan wisuda anaknya dengan haru biru, memendam tangis bahagia yang disembunyikan dengan rapi. Kini, Made kerap datang ke Jogja dari tempat kerjanya di Kalimantan. Dia menemui saya dan dangan percaya diri mengajak saya makan dan diraktirnya. Hal sederhana itu adalah lompatan tinggi dalam hidupnya.
Ada Siti Noor Chayati atau Chae yang saya bimbing skripsinya. Anak yang sederhada dan tekun ini diselamatkan hidupnya oleh Bidikmisi. Chae tidak saja tekun belajar, dia juga peduli pada lingkungannya dan ringan tangan dalam membantu saya di banyak hal. Ketika saya datang ke London beberapa waktu lau, Chae lah yang menjemput saya di Bandara dan mengajak saya menikmati kemegahan London. Chae, anak sebuah keluarga yang terhimpit hidupnya oleh beban ekonomi, kini sudah menyandang gelar Master dari University College London. Terima kasihnya amat dalam kepada Beasiswa LPDP. Memang ada jalan untuk para pejuang.
Saya juga mengenal baik Mbak Birul yang menyelesaikan studinya di Fakulas kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM. Dia merasa terangkat derajat pendidikannya karena Bidikmisi. Itu juga yang menjadi cikal bakal kesempatannya untuk menjadi salah satu mahasiswa berprestasi nasional di masanya. Pidatonya di depan Presiden SBY di suatu ketika menyentuh titik paling dalam umat manusia: hati. Birul adalah bukti bahwa negeri ini peduli pada rakyatnya dan ribuan teman-temannya penerima Bidikmisi adalah bukti bahwa ibu-ibu di Indonesia masih melahirkan pejuang.
Setiap kali diminta oleh Keluarga Mahasiswa Bidikmisi (Kamadiksi) untuk mengisi acara, saya sanggupi tanpa berpikir panjang. Ada sisa-sisa sejarah dan kisah yang seakan menyatukan kami. Saya akan otomatis mengingat sebuah subuh di tahun 1996, ketika mendarat di Umbul Harjo, Jogja setelah perjalanan semalam dengan bus dari Bali. Saat itu saya tidak mengenal siapapun di Jogja dan beruntung karena bisa diterima di UGM.
Adalah Bli Pande Made Kutanegara yang menjemput saya dengan mobil sederhananya. Beliau tidak mengenal saya namun tetap berkenan menjemput dan menolong seorang saya yang tergagap-gagap dan terbata-bata datang ke Jogja untuk mengangkat derajat keilmuan diri dan keluarga. Seperti Bli Made yang tidak banyak bertanya saat menolong, seperti itu juga yang saya ingin lakukan kepada anak-anak Bidikmisi.
Bertemu ratusan mahasiswa Bidikmisi di Undip hari ini membuat saya seperti bertemu diri sendiri dua puluh sekain tahun lalu. Ada kegamangan, keraguan serta ketakutan bahkan hanya sekedar untuk bertatap muka dan berbicara degan orang lain. Memang demikianlah umumnya kami yang dibesarkan oleh seorang Poor Dad. Ada ketidakpercayaan diri ketika berbicara dan atau mengusulkan sesuatu karena pada diri kami terngiang suara-suara jahat ‘memangnya kamu siapa?!’
Adik-adikku, pembidik misi dan pejuang ilmu pengetahuan, berjuanglah dengan gembira. Nikmatilah kekikukan dan keraguanmu. Jalanilah keresahan dan rasa penasaranmu dengan berani. Mungkin kamu adalah anak-anak nobody hari ini, tapi percayalah, kelak kamu akan menjadi somebody yang menebar manfaat kepada everybody. Selamat berjuang!