Saya dari dulu tahu bahwa suatu ketika orang tua akan kembali seperti anak-anak. Saat itulah, anak akan berlaku sebagai orang tua. Kita sudah sering banget dengar hal ini. Saya baru benar-benar tahu (atau agak tahu) maknanya beberapa hari belakangan ini. Pengalaman memang benar-benar guru yang utama.
Bapak saya sakit dan harus mondok di sebuah rumah sakit di Jogja. Kebetulan beliau sedang liburan di Jogja dan ternyata sakit. Maka keputusan itu harus diambil. Yang serius, ingatan bapak saya sudah jauh menurun. Beliau lupa banyak hal, termasuk cucu dan mantu. Kejadian yang berlalu satu menit sebelumnya pun bisa lupa. Rupanya beliau tidak bisa secara komprehensif mengingat dan memahami sesuatu, terutama hal baru. Ingatannya akan masa lalu berampur dengan masa kini dan itu menimbulkan kekacauan tersendiri.
Setiap pagi, bapak minta pulang ke Bali dan tidak jarang keluar sendiri dan jalan kaki. Sekali dua kali, saya ingatkan dengan baik dan penuh cinta. Ketika stok kesabaran berlebih, semua baik-baik saja. Namun di kejadian ke 73, jatah kesabaran ternyata bisa menipis juga. Di situlah saya kadang merespon yang tidak semestinya. Ada suara yang meninggi, ada kemarahan, dan ada emosi yang tertumpah. Tidak mudah menjadi sabar di waktu yang lama.
Ketika di rumah sakit, beliau pernah membuka sendiri jarum infusnya sehingga tangannya berdarah parah. Di situ ada saya dan ibu yang menunggu tetapi kami sempat tertidur sesaat dan di saat itulah semua itu terjadi. Beberapa menit saja lengah, maka hal mengejutkan bisa terjadi. Saya terjaga karena mendengar keributan. Ternyata di lantai sudah berceceran darah. Yang menarik, bapak saya malah panik dan merasa bersalah karena mengotori lantai. Beliau berusaha keras membersihkan darahnya dan tidak merasakan sakit sama sekali.
Di saat seperti itu, ibu saya adalah pahlawan sejatinya. Meskipun kadang marah-marah, beliau mengerjakan semuanya dengan baik. Sementara itu, saya merasa diuji dengan serius. Rasa kesal muncul karena sebenarnya tidak terima kalau bapak saya sudah sebegitu parah ingatannya. Maka reaksi saya kadang sangat emosional, semata-mata karena saya anggap bapak saya orang normal. Saya kira inilah persoalan yang mudah muncul dalam keluarga, ketika ikatan cinta jadi landasan dan alasan. Cinta sering kali tidak rasional.
Sikap menolak kenyataan (denial) mudah terjadi dan itu berbahaya. Respon kita jadi tidak semestinya. Saya perlakukan bapak yang ‘sakit’ seperti orang ‘sehat’, hanya gara-gara saya tidak menerima beliau sedang ‘sakit’. Maka di situlah saya gagal. Saya tidak berhasil menjadi ‘orang tua’ bagi bapak saya sendiri, ketika beliau sudah dalam kondisi seperti ‘anak’ saya sendiri. Ternyata memang tidak mudah. Sangat tidak mudah.
Saya yakin hari ini ada jutaan anak di dunia ada pada situasi yang sama dengan saya. Tulisan ini adalah penghormatan dan dukungan saya bagi meraka yang bisa menjadi orang tua bagi orang tuanya sendiri. Salut dan hormat saya kepada mereka yang memiliki kesabaran yang dalam sehingga menerima bapak atau ibunya yang berperilaku seperti anak mereka. Saya menjura hormat kepada mereka yang bisa memperlakukan orang tuanya yang telah menjadi anak-anak, seperti halnya orang tua yang menyayangi mereka ketika masih bayi. Memang benar, suatu ketika orang tua akan menjadi anak, anak harus menjadi orang tua.