Hampir setahun terlibat di Kantor Urusan Internasional UGM, kesibukan yang paling menyita perhatian dan waktu adalah menerima tamu. Setiap minggu, hampir tidak pernah tidak ada tamu dari luar negeri. Kawan sering berkelakar “kamu jadi kepala kantor atau among tamu sih?” Meski kadang lelah, selalu ada hal baru yang dipelajari dari masing-masing tamu. Yang sama dari hampir semua tamu adalah tujuan mereka untuk menjalin kerjasama dengan UGM. Sebagian besar dalam keadaan ‘ngebet’ untuk menjadi mitra UGM. Ini menarik dan berbeda dari yang saya bayangkan sebelumnya.
UGM diminati oleh mitra luar negeri. Di Jepang saja, misalnya, ada puluhan universitas yang menjalin kerjasama dengan UGM dan masih banyak yang berdatangan. Di Korea tidak jauh berbeda. Mitra di Eropa dan Amerika Utara juga sangat banyak. Dekat di Selatan, Australia dan New Zealand juga demikian. Jika pernah mampir ke Kantor Urusan Internasinal UGM, peta dunia penuh dengan label mitra UGM di seluruh penjuru mata angin. Yang agak lowong adalah Amerika Latin dan Afrika yang kini menggeliat dan mengejar dinamika belahan Bumi lainnya. Singkat kata, UGM laris manis.
Obrolan dengan kawan-kawan dari banyak universitas besar lainnya menunjukkan gejala yang sama. Mereka juga cukup kerepotan menerima tamu dari luar negeri. Apa pasalnya? Apakah Indonesia sedemikian hebat sehingga mitra luar negeri berdatangan untuk menjadi sahabat? Mari kita simak apa yang terjadi.
Indonesia memiliki banyak ilmuwan yang handal. Tidak jarang kita dengar, ketika bersekolah di luar negeri, banyak orang Indonesia yang berprestasi tinggi dan bahkan menjadi yang terbaik di kampusnya. Jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itulah, ketika mereka pulang ke Indonesia, mereka tetap menjadi ‘incaran’ peneliti luar negeri untuk dijadikan mitra dalam melakukan penelitian. Ini jadi salah satu alasan ideal mengapa tawaran kerjasama berdatangan.
Kini Indonesia berada di urutan 16 dunia dalam hal Pendapatan Domestik Bruto alias GDP. Maka dari itulah, Presiden Indonesia duduk sejajar dengan duapuluh pemimpin negara di dunia ketika membicarakan nasib perekonomian Palanet Bumi dalam kelompok G20. Indonesia turut menentukan. Dari sekian banyak negara, Indonesia termasuk yang mengalami laju ekonomi yang masih menjanjikan meskipun perbaikan di sana sini masih diperlukan. Setidaknya itu yang saya pahami dari berita dan dari laporan independen, meskipun saya bukan orang ekonomi. Indonesia begitu menarik secara ekonomi, wajar jika orang-orang berdatangan. Ada gula ada semut.
Secara umum, ini adalah abad Asia. Pertumbuhan ekonomi ada di Asia, perkembangan teknologi ada di Asia. Peradaban sedang bergeser ke Asia sehingga Asia sangat menarik untuk dikaji, diamati dan diteliti. Yang lebih penting, negara-negara di belahan Bumi utara tidak bisa mengabaikan Asia jika ingin mendapatkan kue dari perkembangan yang dasyat itu. Maka dari itu, mereka harus mengenal dekat Asia. Untuk tujuan ini, riset harus diarahkan ke Asia dan itu artinya mereka harus bermitra dengan perguruan tinggi di Asia. UGM hadir sebagai salah satu yang dianggap mampu mewakili institusi pendidikan di kawasan bersama perguruan tinggi lain di Asia dan terutama Indonesia. Itulah salah satu alasan mengapa mitra luar negeri begitu ngebet ingin bekerjasama.
Apakah laris manisnya Indonesia ini selalu bermakna baik? Bisa jadi demikian tapi penting bagi kita untuk melihat dari sudut lain. Pertama, perlu waspada bahwa institusi di Indonesia sekedar dimanfaatkan saja. Banyak hibah penelitian yang ada di belahan Bumi utara mensyaratkan agar bekerjasama dengan negara-negara di Asia. Tidak sedikit yang melihat ini sebagai syarat administratif belaka, demi kepentingan mereka sendiri. Selain itu, perlu waspada juga bahwa Indonesia pada akhirnya akan dianggap sebagai pasar semata. Penduduk yang seperempat miliar jumlahnya adalah pasar yang menggiurkan untuk memasarkan produk apapun. Sifat dan gaya hidup konsumtif yang menjangkiti sebagian masyarakat Indonesia menjadi lahan subur bagi usaha ini. Bukan tidak mungkin mitra luar negeri menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan di Indonesia dalam rangka melapangkan jalan mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar. Kita tentu perlu produk luar negeri tetapi kita tentu tidak mau mejadi pasar untuk barang-barang luar negeri yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri. Kewaspadaan dalam menjalin kerjasama perlu diperhatikan.
Banyak mitra luar negeri yang datang dengan menawarkan beasiswa untuk alumni UGM dan perguruan tinggi lainnya. Apakah itu pertanda kebaikan hati? Bisa jadi demikian tetapi perspektif lain harus senantiasa kita perhatikan. Kita bukan bangsa yang penuh curiga dengan kedatangan bangsa asing tetapi sifat dan sikap berhati-hati secara wajar sambil tetap menghormati mitra asing senantiasa harus dikedepankan. Silakan baca tulisan saya tentang beasiswa luar negeri di sini.
Apa makna laris manisnya Indonesia di mata mitra asing bagi generasi muda? Secara positif, ini harus membangkitkan rasa percaya diri sebagai warga negara yang penting posisinya di percaturan politik dan ekonomi dunai. Penting mengingat ini, tidak untuk menjadi sombong tetapi untuk tidak merasa rendah diri yang tidak perlu. Penting untuk tidak mudah merasa gusar akibat berita buruk karena berita buruk adalah berita baik bagi media. Pemahaman terhadap potensi kebaikan Indonesia ini harus membuat kita lebih sabar dalam membaca berita, bahwa satu berita buruk itu, secara kuantitas, tidak bisa mewakili Indonesia yang begitu luas. Di sisi lain, larisnya Indonesia itu tidak boleh membuat kita ‘gaya’ apalagi terlena. Kedatangan banyak ‘bule’ di sekitar kita tidak selalu bermakna kehebatan. Jika kita tidak cukup siap, laris manisnya Indonesia adalah bentuk penjajahan baru. Kepada mereka yang menentukan kerjasama dengan luar negeri, kata yang juga harus mereka pelajari pelafalannya dengan sopan, terhormat dan bermartabat adalah “tidak”.
anak-anak Indonesia memang memiliki potensi besar.. tapi, kadang kita tidak pernah menyadarinya