Kisanak mungkin pernah bertanya, mengapa ada sebuah negara berbaik hati memberikan beasiswa kepada warga negara asing untuk belajar S1, S2 dan S3 di negera mereka. Kadang kita menduga bahwa negara-negara yang demikian itu sangat dermawan dan menduga bahwa seluruh urusan ruwet dalam negerinya sudah selesai. Maka dari itulah mereka punya cukup waktu dan sumberdaya keuangan untuk diberikan kepada warga negara asing. Kisanak mungkin masih berpikir demikian.
Saya lulusan dua perguruan tinggi (PT) berbeda di Australia dan beruntung bisa sekolah di sana dengan beasiswa yang disediakan pemerintah Australia. Saya sadar betul, saya tidak akan bisa sekolah di sana jika tanpa beasiswa itu. Saya juga tahu beasiswa itu berasal dari sebagian pajak yang dibayarkan penduduk Australia. Saya telah menikmati kesenangan dari keringat saudara-saudara saya, penduduk dan warga negara Australia. Untuk itu saya berterima kasih.
Tapi Kisanak, urusan beasiswa luar negeri ini juga bisa dilihat dari sudut pandang lain. Cobalah tanya Genjo, seorang penerima beasiswa di Negeri Belanda. Dia bersekolah di Belanda sehingga membayar SPP juga di PT Belanda. Dia tinggal di rumah kos yang dimiliki orang Belanda dan harus membayarnya sangat mahal. Dia makan dengan membeli bahan pokok di pasar-pasar Belanda sehingga membuat pedadang Belanda itu lancar hidupnya. Dia bepergian dengan membayar ongkos bus atau taksi sehingga para sopir Belanda itu bisa mendapat gaji dan bonus. Dia membeli buku dari toko-toko Belanda dan membuat pekerjanya yang penduduk Belanda bisa membayar tagihan listrik bulan depan. Singkatnya, uang beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Belanda itu terdistribusi sempurna di sudut-sudut negeri Belanda dan membuat ekonomi mereka berputar riang gembira. Beasiswa luar negeri itu patut disyukuri tetapi itu adalah mekanisme canggih untuk mendistribusikan uang di sebuah negara, perpindah dari ibu kota ke kota-kota lain sehingga ekonomi menggeliat.
Betulkah segala urusan ekonomi negara-negara pemberi beasiswa itu sudah paripurna sehingga sempat memperhatikan anak bangsa lain? Kita tahu, Amerika mengalami berbagai masalah dan hutangnya bejibun. Mereka tetap memberi beasiswa Fullbright kepada orang Indonesia. Tengoklah Eropa yang perekonimiannya poranda setengah mati, mereka tetap memberikan beasiswa STUNED, DAAD, STINT, Erasmus Mudus dan lain-lain untuk penduduk negara berkembang. Pemberi beasiswa belum tentu negara yang sudah tuntas urusan domestiknya. Memberikan beasiswa adalah bagian dari diplomasi luar negeri untuk menempatkan posisi politik suatu negara menjadi kuat dan terhormat di mata bangsa lain.
Oh ya, Indonesia masih banyak masalah dari segi ekonomi tapi tahukah kisanak kalau Indonesia memberikan beasiswa kepada lebih dari seratus orang asing setiap tahun utuk belajar di PT Indonesia? Dan jangan buru-buru menuduh pemerintah Indonesia lebih memperhatikan bangsa asing dibandingkan warga negaranya sendiri. Semua itu adalah bagian dari sebuah paket politik luar negeri. Kita bangsa besar yang diperhitungkan dunia, pengaruh dan posisi kita harus ditegakkan denggan cara memberikan kontribusi. Namun jangan lupa, orang asing penerima beasiswa itu akan membayar SPP di PT Indonesia, membayar uang kos kepada Ibu Sumi, warga asli Pogung Kidul di Yogyakarta, membayar makan siang di kedai Pak Slamet di Depok, sekitar kampus UI, menghabiskan uangnya untuk menyelam di Tulamben Bali, atau membayar jasa seorang penyetrika baju di kosnya di Malang dekat Brawijaya. Yang lebih penting, mereka akan kembali pulang ke negaranya dan mengaku sebagai alumni Indonesia ketika mereka sudah menjadi tangan kanan Presiden atau Perdana Menteri mereka.
Apakah kita, penerima beasiswa itu, berhutang kepada negara pemberi beasisswa? Silakan merasa demikian, karena itulah karakter bangsa kita yang santun dan tahu caranya berterima kasih. Namun silakan mengingatkan diri sendiri bahwa negara itu tidak rugi secara finansial dalam konteks negara. Ingat juga bahwa kita sedang mendapat doktrin yang cukup serius untuk menjadi kepanjangan tangan mereka. Tanpa sengaja dan tanpa dibuat-buat, saya akan mengingat seorang ahli Australia jika mengalami kesulitan saat melakukan pekerjaan saya di Yogyakarta. Saya, dengan cara yang sangat halus, bisa menjadikan Australia sebagai qiblat. Saya yakin ini juga terjadi pada kawan saya alumni negara lain.
Singkatnya, beasiswa sangat bermanfaat bagi orang yang tidak bisa membiayai sendiri sekolahnya. Namun jika ada negara yang dewasa ini menganggap dirinya adalah pahlawan satu-satunnya yang akan menyelamatkan peradaban suatu bangsa hanya karena dia memberikan beasiswa kepada rakyat bahgsa itu, maka negara itu mungkin belum paham duduk perkaranya. Atau jika ada oknum di suatu negara yang mengancam tidak akan memberikan beasiswa kepada negara lain hanya karena hubungan politik dan hukum yang sedang menghangat, oknum negara itu mungkin tidak paham kontelasi politik dan ekonomi dunia. Jika ancaman itu diberikan kepada Indonesia, mungkin dia tidak tahu, dewasa ini anak-anak cerdas Indonesia sudah bisa dengan leluasa belajar di luar negeri dengan beasiswa yang diberikan Bangsa Indonesia sendiri. Beasiswa itu merupakan hasil pembayaran pajak warga negera Indonesia, bukan sedekah bangsa lain. Jika ancaman itu diberikan oleh seorang oknum di negara tetangga seperti Australia, mungkin karena mereka tidak tahu bahwa rektor dan wakil rektor PT mereka baru saja mengunjungi PT di Indonesia dan dengan rayuan elegan mengajak kerjasama agar mahasiswa Indonesia bertambah jumlahnya di Australia. Mereka juga mungkin tidak tahu kalau para petinggi PT di Australia kerap mendatangi LPDP atau Dikti di Jakarta agar Indonesia berkenan menjadikan PT di Australia sebagai tempat mendidik para penerima beasiswa LPDP dan Dikti. Mereka mengemis kepada Indonesia? Tentu saja tidak tetapi mereka sadar betul bahwa tanpa mahasiswa Indonesia, mereka bisa mengalami apa yang oleh Vicky disebut “labil ekonomi”.
Kisanak, pahamilah bahwa beasiswa luar negeri adalah ekspresi kebaikan dan para penerima sudah sepantasnya berterima kasih. Namun, jika ada yang menganggap bahwa beasiswa itu adalah sedekah yang bisa dijadikan kartu sakti untuk mendikte suatu bangsa penerima beasisiwa, maka anggapan itu adalah kekeliruan stadium tinggi.
Ijin share ya bli
luar biasa tulisan ini…. nasionalis dan gagah bgt sebagai putra indonesia… 🙂
Terima kasih sobat Kemil
Sangat sepakat dengan opini Mas Andi. Izin saya share mas, terima kasih.
saya sepakat dgn istilah ga ada ‘free lunch’ dlm hal apapun 🙂
Terima kasih atas tulisannya, Pak. Sangat bermanfaat bagi saya yang masih perlu banyak belajar tetak politik dan untuk tidak terlalu naif dalam memandang suatu ‘hadiah’ hehehe.
Jika salah satu alasan suatu negara memberikan beasiswa adl untuk menjadikan penerima beasiswa ‘medium’ bagi mereka untuk sebarkan uang ke rakyat negara itu, berarti kira” apa ya negara tersebut minta agar si penerima beasiswa balik ke negara asalnya, bahkan ada yang tegas sekali soal hal ini? (Maksud saya, jika dilihat dari sudur pandang negara pemberi beasiswa, bukan negara asal penerima beasiswa)
Kan ada di atas “kepanjangan tangan” 🙂 Keren Kan kalau menteri2 di Amerika Suatu saat nanti lulusan UGM 😉
Reblogged this on dkeyofhuda… and commented:
Terimakasih atas pencerahannya pak,, ^_^
Dan yang salah kaprahnya ketika dunia pendidikan melalui beasiswa ini dicampuri dengan urusan politik..bahwa pendidikan sejatinya untuk memajukan pendidikan, kesejahteraan dan manfaat bagi ummat manusia..pendidikan adalah universal, agar semua bisa saling berkontribusi buat kemajuan pendidikan itu sendiri..Jika beasiswa dijadikan sarana untuk doktrinisasi dan alat untuk menekan negara yang dibantu, maka pendidikan telah tercoreng kemurniannya..Pak Made, di tahun 2014-2015 kemarin AAS tidak merinci dan mengumumkan peserta yang dinyatakan lulus beasiswanya dan sejauh mana prosesnya kita tidak tahu..apakah memang ada yg diterima, atau memang dicancel berkaitan dengan aksi panas hukuman mati narkoba tsb..Apa bapak anda info?
Apakah Anda mendaftar dan tidak dapat info? Pendaftaran tahun 2015 memang belum diumumkan. Pendaftar tahun 2014 sedang EAP sekarang.
sy diyatakan ga lulus di sesi wawancara th 2014 lalu..namun tidak seperti tahun2 sebelumnya, tdk diumumkan di situsnya siapa saja yg lulus dan progres EAPnya..2015 sy daftar lg, pengumumannya di desember tahun ini..kalau sedang EAP, berarti ga berpengaruh dgn kasus hukuman mati warga Aussy itu yah?
Sudah sejak lama Pengumuman di website Tidak ada Lagi. Good luck! Semoga tidak pengaruh.
keren
Thanks
Saya juga berpikir hal yang sama pak Andi. Memang gratis, tapi pada dasarnya dana yang diberikan oleh negara-negara pemberi beasiswa akan diserap kembali oleh negara tersebut. Kalaupun awardee pulang dan masih membawa ‘oleh-oleh’ saya percaya itu pasti hasil dari kerja keras mereka selama berstudi mulai dari ‘berhemat’ sampai ‘rajin menambah income dari kerja sambilan’. Terus terang kasus Bali Nine lalu membawa dampak yang ‘kurang nyaman’ dalam studi, semoga tidak semakin memburuk dan lebih baik ke depannya. Saya setuju dengan keputusan pemerintah yang tujuannya demi menjunjung tinggi kedaulatan bangsa dan negara, yang seperti itu tidak boleh dikendalikan oleh bangsa manapun dengan imbalan apapun.
Nice view …
Tulisan yang keren Pak Andi!
Sekedar sharing pandangan pak. Saya sendiri melihat Beasiswa Luar Negeri dengan dua view pak. Selain sebagai ajang “memanjangkan tangan” sebagai agenda ekonomi politik, saya juga memandang bahwa ini sebagai pertarungan ideologi. Namun, hal itu bisa diatasi jika calon penerima mengakar dalam hal ideologi bangsanya.
A good View 🙂