Menulis itu Candu


dusun Anak Dusun

Kisanak, jangan salah duga padaku. Aku menulis bukan karena perkara utama dalam hidupku telah tuntas. Bukan karena aku dihadiahi waktu berlebih. Waktu kita sama, dua puluh empat jam dalam sahari dan hanya tujuh hari dalam seminggu. Jika kisanak memiliki hanya 52 minggu dalam setahun, maka aku juga demikian. Sungguh alam ini adil padaku dan padamu.

Kisanak, jangan salah membayangkanku. Tak benar jika kamu bayangkan aku merenung setiap saat atau bijaksana senantiasa lalu menghasilkan tulisan yang membuai buai. Aku bahkan tak layak mengatakan aku ini orang biasa karena dengan demikian telah kukatakan kepadamu bahwa aku merasa istimewa. Tulisan itu adalah tipuan. Bentuk tipuan lain yang aku pelajari sambil lalu meski akhirnya menjadi kenikmatan. Tipuan ini layaknya peta yang aku gunakan untuk menghipnotis. Seperti kartohipnosis saat lawanku terpesona oleh titik garis dan luasan. Tulisan itu bentuk tipuan yang bersembunyi di balik alasan ilmiah atau berdalih lihai dengan angka, kode dan formula. Demikianlah tulisan itu. Semua menipu.

Kisanak, jangan kerliru memahamiku. Aku menulis karena penat. Karena gumpalan hasrat yang pekat dan hendak cari jalur selamat. Menulis itu candu. Betul. Menulis itu candu. Candu yang melenakan dan terutama membuatmu lupa. Aku tahu kisanak pernah menikmati candu, menghisapnya setiap hari tanpa peduli kemanfaatan. Demikianlah menulis bagiku. Menulis bagiku seperti menghisap cerutu bagimu. Sulit? Ya sesulit dirimu menyulut satu ujungnya lalu menghisap dalam sambil menikmati suara pagi atau siang yang kadang mengundang penasaran. Sulit? Ya sesulit dirimu menelan gumpalan asap yang tak pernah kumengerti letak nikmatnya. Tidak ada waktu? Ya, memang tidak ada waktu, maka aku mencurinya. Sepertimu yang mencuri-curi kesempatan menghisap cerutu di sela amanah utama yang tak kunjung usai. Semata mata karena menulis itu memang candu.

Kisanak, jangan menuduhku angkuh karena kupadankan menulis dengan menghisap sebatang cerutu. Menulis itu perkara serius yang amat sulit, seperti halnya menghisap cerutu bagimu. Bukankah kisanak kadang harus rela tersisih, terpinggirkan dan terbuang ketika menghisap cerutu? Bukankah kisanak kadang harus merelakan amanah utama porak poranda karena sebagian waktu yang tercuri oleh hisapan cerutu? Jika kisanak tidak bisa bayangkan nikmatnya menulis karena merasa itu pekerjaan sulit, perlu usaha keras dan perlu keahlian, bayangkanlah diriku yang tidak bisa mengerti kenikmatan menghisap cerutu. Jika kisanak terheran padaku, maka aku juga terheran padamu yang bisa menelan asap, membakar lembar-lembar rejeki dengan senyum, menyiksa orang di sekitar dengan kepungan asap, dan terutama membakar paru-paru sendiri dengan suka rela. Aku tidak pernah bisa mengerti ada orang sehebat itu.

Berhentilah terheran-heran pada sepotong paragraf karena itu adalah adalah tanda rindu seorang pecandu. Berhentilah jadi pemuja apalagi bermuram durja. Lebih baik Kisanak menulis saja meski hanya tentang percakapan di satu senja. Kisanak mabuklah karena menulis itu candu. Bedanya dengan cerutu, dia tak membakar paru-paru dan tak membuat hatimu buntu.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

15 thoughts on “Menulis itu Candu”

  1. perrtamax heheh
    saya tetap heran dengan paragraf di atas.bagaimana bisa kecanduan menulis?
    saya punya blog gratisan sejak tahun kemaren utk latihan nulis,tetap saja saya perlu waktu lama untuk menatap monitor sampai akhirnya teruntai satu kalimat yang namun pada akhirnya saya simpan di draf untuk waktu yang tidak tentu kapan dipublish.
    #eh tumben saya bisa lancar nulis tanpa perlu waktu lama πŸ™‚

  2. Ingin kecanduan menulis, tapi sulit sekali untuk memulai. Jika sudah mulai, akhirnya hanya coretan kosong yg berujung di keranjang sampah. ketika sering baca tulisan-tulisan pak andi. selalu menggugah untuk belajar menulis. terima kasih sudah menjadi inspirasi untuk menulis pak andi….

  3. Terima kasih atas inspirasinya Pak.

    Saya sangat salut sama Bpak. Di tengah kesibukan bapak sebagai dosen dan peneliti, tapi bapak mampu membuat tulisan-tulisan yang menyentuh dan mengkritik :-D. Bahkan bapak sempat-sempatnya membalas pertanyaan demi pertanyaan dari para komentator blog ini.

    Kalau boleh tahu Pak, 1) Apa bapak punya target dalam seminggu harus mempublish berapa tulisan di web ini? 2)Berapa lama waktu yg bpak butuhkan untuk menuntaskan 1 tulisan? 3)Kapan aja waktu-waktu yg bapak suka/gunakan untuk menulis? misalnya subuh atau pagi hari…

    Suatu hari nanti, saya juga ingin menulis buku solo.
    Termotivasi dari sarannya Bpak yg kurang lebih seperti ini; “kalo mau dikenal, maka menulislah!”

    Terima kasih, Pak.

    1. Matur nuwun rekan Najmi πŸ™‚

      1. Tidak ada target. Saya bukan orang yg disiplin urusan ini. Mengalir saja.

      2. Kadang setengah jam, kadang sejam kadang lebih dari sehari πŸ™‚

      3. Pagi dan malam. Hampir ga pernah siang hari.

  4. Hi Andi, klo saya tdk terpaksa, tdk akan mnulis. Menurut saya teknik dan gaya bahasa perlu ketekunan dan latihan yg akhirnya mnjadi skills. Asumsi sy sbg candu di tulisan ini adl latihan. Smakin kcanduan/ latihan smakin trampil. Mnrt saya lagi, hasil tulisan tsb mnunjukkan kecerdasan si penulis. Keep writing coz i enjoy reading your articles. . .smoga kecanduannya menular. . .:-D

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: