
“Bupati Tabanan, Sugianto, …” demikianlah kumandang berita radio hampir setiap sore di tahun 1980an. Saya sampai menghafalnya dan bahkan rasa-rasanya kata Sugianto yang paling tepat diucapkan setelah frase “Bupati Tabanan”. Rekaman seorang anak kecil memang kuat. Sugianto adalah Bupati Tabanan pertama yang saya kenal sejak mengerti Bahasa Indonesia.
Tidak ada yang aneh ketika Tabanan dengan masyarakat mayoritas pemeluk Hindu memiliki Bupati orang Jawa yang Islam. Saya bahkan tidak ingat ada orang yang membicarakan agama atau suku ketika itu. Paruman di banjar, kelakar di warung-warung atau kumpulan lelaki dewasa menyabung ayam di pempatan jalan saban sore tidak pernah dihiasi pembicaraan tentang agama. Pak Sugianto tidak dipertanyakan keimanannya, tidak digugat keberpihakannya pada masyarakat Tabanan yang mayoritas Hindu. Di Banjar Pengembungan tempat kelahiran saya, yang 100% penduduknya Hindu, tidak pernah sekalipun terdengar bisik-bisik soal agama Pak Bupati yang berbeda.
Orang-orang sederhana seperti kakek dan nenek saya tak pernah menyentuh Bagavadgita, kitab pegangan Hindu, dan tentu saja tidak hafal sloka-sloka penuntun hidup. Mereka bahkan tidak pernah terdengar menyebut kata Hindu. Nenek saya hanya mengatakan, “iraga megama Bali” yang mungkin berarti “kita beradat Bali”. Meski tak kenal Sloka dalam Bhagavadgita, mereka hidup dengan prinsip-prinsip kuat meskipun mungkin tidak disadari. Mereka percaya, dalam hidup ada empat guru yang wajib dijunjung tinggi keberadaannya: Guru Rupaka (orangtua), Guru Pengajian (guru di sekolah), Guru Wisesa (pemerintah) dan Guru Swadhyaya (Tuhan yang tunggal dengan segala manifestasinya). Penghormatan mereka, orang-orang di desa saya, terhadap Guru Wisesa yang rupanya memastikan ruang pada Bapak Sugianto untuk tidak terganggu oleh urusan agama dan suku yang tercetak di KTPnya.
Di penghujung dekade 2000, seorang intelektual Bali menulis soal Sugianto di sebuah milis. Ini membangkitkan lagi ingatan masa kecil tentang sosok bupati minoritas itu. Kata “minoritas” sendiri bahkan tidak pernah diucapkan atau dikenal oleh orang-orang desa kami ketika beliau menjabat jadi Bupati. Rupanya, seiring berjalan waktu, saya mulai mengenal berbagai kosakata aneh yang ketika diucapkan bisa membuat perasaan berubah. Kosakata ini mungkin mirip mantra-mantra yang ketika dirafalkan menimbulkan sensasi tertentu. Tulisan intelektual Bali itu begitu singkat tetapi dengan sempurna megemas ingatan saya tentang Bapak Sugianto. Kata penulis itu, “Sugianto dua jabatan jadi Bupati Tabanan, pembangunan keagamaan Hindu bagus juga.” Waktu itu memang tidak terdengar keluhan apapun dari masyarakat perihal agama, tidak juga perihal bapak bupati yang bukan Hindu.
Nang Kocong yang petani, sibuk mejukut, tidak urusan dengan Bupati yang orang Jawa. Men Kompyang yang tugasnya ngalih dagdag tak ambil pusing soal agama bupatinya. Bagi orang-orang sederhana ini, Guru Wisesa itu adalah kepanjangan Hyang Widhi yang hadir di tengah mereka. Yang ada hanya penghormatan. Mungkin juga karena sang Guru Wisesa memang menjalankan laku mulia, seolah ‘kepanjangan tangan’ sang pemilik waktu.
Pak Sugianto tidak ada kabarnya lagi padahal saya ingin sekali bertemu beliau. Saya ingin tanya, nasihat apa yang akan beliau berikan pada Lurah Susan di Jakarta. Atau jangan-jangan beliau akan mengirimkan Nang Kocong dan Men Kompyang, untuk mengajari warga Lenteng Agung caranya mejukut dan ngalih dagdag. Entahlah.
Kamus
pempatan= perempatan
mejukut = menyiangi [padi]
ngalih dagdag = mencari makanan untuk hewan piaraan
Men = ibu
Pan = bapak
Saya baru tau kalau dulu di Tabanan ternyata ada Bupati yang non Hindu. Menarik.
Kalau beberapa bulan lalu radio ditabanan hampir setiap hari membhas penolakan pembongkaran patung catur muka brahma di kediri,,Apa Bapak mengikuti beritanya?
Suksma De. Maaf saya tidak mengikuti berita itu.
Pak Andi,
Mungkin kejadian itu dulu pada waktu orde baru dimana Bupati itu titipan penguasa (sebagian besar dari militer). Sebagai contoh di kabupaten Gresik (98% muslim) tahun 90an dulu juga pernah dipimpin oleh non muslim.
Tapi di era pilkada langsung, Apakah adat tersebut masih bisa di pegang? menurut saya otomatis warga mayoritas memilih pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya (kebanyakan gitu) entah dengan black campaign dsb.
Dalam Era demokrasi ini, saya kira wajar warga lenteng agung (mayoritas islam) menginginkan pemimpin yang sesuai dengan keinginanya. Suara rakyat suara Tuhan #demokrasi
Thanks
Terima kasih Pak Johan atas komentar Bapak.
Betul, ini terjadi di era Soeharto dan ketika itu Bupati adalah ‘kiriman’ dari pusat. Aturannya memang demikian.
Untuk Jakarta, meskipun era demokrasi, aturan hukumnya memang mensyaratkan walikota dan lurah ditunjuk oleh Gubernur. Ini berbeda dengan provinsi lain dan tentu ada pertimbangannya. Oleh karena itulah, sesuai dengan hukum, lurah ditunjuk oleh Gubernur. Hal yang bagus terjadi di Jkt belakangan adalah penunjukan lurah itu murni didasarkan pada kapasitas karena diproses dengan lelang jabatan.
Saya memahami pandangan Pak Johan soal demokrasi. Meski begitu ‘rule of law’ harus menjadi yang tertinggi. Kepatuhan setiap orang terhadap aturan hukum harus diutamakan. Di Jakarta, aturan hukumnya berbeda dengan daerah lain yang memilih kepala desa secara langsung. Ini kuncinya. Maka dari itu, menghendaki penggantian seorang pemimpin yang mendapat kewenangan resmi berdasarkan hukum dengan alasan yang tidak tercantum dalam hukum adalah usaha melawan hukum. Dan itu tidak benar.
Jika memang masyarakat Jakarta menginginkan lurah dipilih langsung agar mewakili aspirasi masyarakat maka aturan hukum yang harus diubah dulu. Perjuangan ini tentu harus melewati proses politik-hukum yang benar. Demikian pendapat saya. Sekali lagi terima kasih telah berpendapat dan saya hormati pendapat Bapak Johan.
Benar sekali Pak Andi bahwa kepatuhan terhadap hukum harus diutamakan dan tidak dibenarkan melakukan tindakan anarkis, pengerusakan dsb.
saya kira aspirasi warga lenteng agung masih masuk dalam taraf kehidupan berdemokrasi dengan unjuk rasa/demo. sukur-sukur jika didengarkan aspirasinya. Kecuali jika demo tersebut sudah bertindak anarkis.
Terima kasih Pak Johan. Terima kasih juga pada masyarakat LA yang menyampaikan aspirasi dengan tetap menjaga kedamaian.
Sesuai kaidah demokrasi maka jumlah suara akan jadi penentu dan bukan kerasnya suara. Mari kita ikuti dengan sabar dan seksama.
Luar biasa sikap pluralis nya.
Menurut sy hampir di seluruh Indonesia (orde baru) kebanyakan masyarakat tidak mempermasalahkan maslah itu (beda keyakinan), karena pemimpin sdh ditentukan pusat.
Istilah mayoritas, minoritas dkk muncul sejak kita menerapkan demokrasi sesungguhnya. masyarakat gampang sekali di provokasi dsb. Mungkin inilah proses dari transisi demokrasi kita.
Saya yakin kita mengarah pada kebaikan. Transisi demokrasi memang ‘ribut’ ini hal biasa 🙂 Semoga semua tambah terdidik dan dewasa.
Baru tahu tentang Pak Sugianto ini… Subhanallah menurut saya… tidak mudah menjadi pemimpin sementara dia adalah ‘minoritas’, sebagaimana halnya tidak mudah juga bagi masyarakat menerima pemimpin yang ‘berbeda’ dengan mereka. Dan saya setuju, bahwa perlu jiwa besar dari kedua belah pihak agar semuanya bisa berjalan lancar dan damai.. seandainya di dunia ini bisa begitu, alangkah indahnya ^_^
Terima kasih. Setuju semua komentar dari Veronica 🙂
saya bahkan baru tahu perihal ini dan kembali berpikir tentang makna bermasyarakat nih, bang.
Selamat merenung tapi jangan lama-lama krn yg diperlukan Indonesia adalah aksi dari anak2 muda seperti kita 🙂
siap…
semoga bisa memberikan aksi yang terbaik. makasih banyak ya bang buat sharingnya. 😀
Terima kasih bpk.Andi Arsana atas tulisan kenangan tetang alm.bpk kami Soeginto….baru saya baca ini setelah 8 thn bpk menulisnya..semoga bpk sekel selalu diberi kesehatan….Tabanan banyak meninggalkan berjuta kenangan bagi kami sekel..alamnya , masyarakatnya sungguh luar biasa 10 thn terindah alhamdulillah .terima kasih ..suksma
Terima kasih Mbak Utari. Salam kenal. Salam doa untuk beliau. Jika ke Jogja, monggo kontak saya.