
Makan bisa jadi perkara yang tidak mudah bagi sebagian orang. Setiap kali makan hidangan di pesawat, saya teringat ibu dan bapak saya yang pasti akan kesulitan jika harus berhadapan dengan hidangan semacam itu. Makanan pesawat tentu aneh bagi lidah kampung mereka. Nama makanan yang ditawarkanpun pasti terdengar asing dan tidak mudah untuk dipilih. Jangankan ibu bapak saya, hal ini masih terjadi pada saya sampai hari ini
Makanan di pesawat hampir tidak pernah membuat saya merasa bergairah seperti makan makanan rumah, terutama yang dibuat ibu saya ketika kecil. Rupanya lidah seseorang dilatih untuk merasakan kenikmatan ketika dia kecil dan makanan ibunya menjadi standar yang akhirnya menjadi pembanding makanan lain yang dinikmatinya ketika dewasa. Makanan di pesawat jelas tidak masuk dalam kriteria makanan enak yang direkam oleh lidah saya. Maka, menikmati makanan di pesawat lebih sering menjadi kebutuhan saja, bukan sebagai ekspresi gairah.
Selain soal rasa, makan juga jadi perkara sulit terkait tata cara. Saya dibesarkan di sebuah desa kecil terpencil dan kami terbiasa makan dengan tangan telanjang. Tidak ada yang lebih nikmat dari itu. Meski demikian, perlahan-lahan cara-cara makan yang ‘rumit’ mulai saya pahami, semata-mata karena keharusan. Pernahkan Anda seperti saya yang bingung harus mulai dari mana ketika melihat sederet sendok besar kecil, pisau dan garpu berbagai rupa saat makan di sebuah meja? Pernahkah terpikir hal bodoh ‘mengapa harus sebanyak ini peralatannya padahal dengan sendok dan garpu saja sudah selesai perkara?’
Menghadapi situasi rumit di meja makan seperti ini kadang membuat saya galau dan bahkan mengganggu percaya diri. Tidak mudah untuk bertanya alat mana yang dipakai untuk apa, terutama ketika saya sedang makan dengan pihak lain dalam interaksi resmi atau bisnis. Maka acara makan yang seharusnya menjadi aktivitas penyerta itu cukup sering membuat saya tergagap-gagap resah. Syukurlah, seiring berjalannya waktu ketergagapan itu berhasil saya kelola dengan baik sehingga tersembunyi dengan cukup rapi.
Memilih makanan juga hal yang tidak selalu mudah bagi saya. Pengalaman masa kecil yang tidak dilengkapi dengan variasi hidangan berupa-rupa membuat saya miskin pengetahuan soal makanan. Masih sering tidak habis mengerti, mengapa umat manusia harus membuat makanan dengan nama dan komposisi aneh sehingga sulit ditebak rasa dan bentuknya. Maka menu makanan di sebuah restoran berkelas bisa jadi lebih menyeramkan dari sebuah jurnal ilmah karena saya bisa tetap tidak mengerti setelah membacanya berulang kali. Jika sudah demikian, maka kalimat sakti seperti “menu apa yang jadi andalan di restoran ini?” atau “bisa kasih rekomendasi yang enak di sini?” menjadi senjata andalan. Persoalan sejatinya bisa jadi sangat sederhana: saya tidak paham nama, rasa dan rupa makanan yang nampak di daftar menu.
Sayangnya, memiliki pengetahuan canggih soal makanan tidak pernah menjadi syarat untuk bisa presentasi di forum internasional atau mendapatkan beasiswa bergengsi untuk S2 atau S3 di negeri-negeri empat musim. Maka jangan terkejut jika tragedi soal makan ini bisa terjadi pada mereka yang sedang terbang dengan pesawat kelas bisnis karena menghadiri undangan jadi pembicara kunci di Monaco. Jangan heran jika kebingungan soal penggunaan sendok, garpu, dan pisau berupa-rupa di meja makan ini terjadi pada mereka yang baru saja memukau ratusan hadirin dengan presentasi ilmiahnya. Jangan heran jika tatapan ragu terhadap lentil, mashed potato dan omelette itu bisa berasal dari seorang anggota delegasi lomba internasional yang sudah berkali-kali memenangkan piala dan penghargaan. Orang-orang demikian, sangat mungkin hanya mengenalkan lidahnya pada nasi, sambal sereh dan sayur urap di masa kecil. Lidah mereka menjadi kaget dan mengalami ‘gegar budaya’ yang hebat ketika berhadapn dengan berupa-rupa makanan yang ‘aneh’ nama, bentuk dan rasanya.
Telah lama saya menduga bahwa pemahaman terhadap makanan itu tidak penting karena kita akan makan sesuatu yang kita kenal dan yakini saja. Sempat juga saya merasa bahwa mengenal berupa-rupa makanan itu terkait erat dengan status sosial dan ekonomi sehingga saya merasa tidak perlu mengenal makanan yang tidak ramah bagi kantong saya. Rupanya ini tidak selalu benar. Makanan tidak lagi hanya menjadi sebuah kebutuhan biologis. Makan dan makanan telah menjelma menjadi bahasa pergaulan dan sarana interaksi. Nilai kemuliaan seseorang jelas tidak akan turun atau naik hanya karena pengetahuannya terhadap makanan tetapi percayalah, pengetahuan itu akan memberi banyak kemudahan.
Anda yang rajin belajar, tekun, lurus, tidak sombong dan rajin menabung di masa muda mungkin pada akhirnya akan berhadapan dengan orang yang istimewa. Di sebuah meja, orang istimewa itu akan berkata pada Anda “please feel free to chose from the menu. We will cover whatever you eat”. Jika Anda tidak pernah memandang makanan itu sebagai sesuatu yang penting untuk dipelajari, mata Anda mungkin akan nanar penuh gelisah dan sadar bahwa kerajinan, ketekunan dan kelurusan itu tidak bisa menyelamatkan. Sejurus kemudian Anda akan berhadapan dengan berupa-rupa hidangan asing ditemani sendok, garpu dan pisau berbagai ukuran. Mungkin saat itu akan muncul senyum getir menertawakan diri sendiri. Saat itu mungkin Anda akan setuju dengan saya bahwa tanpa berusaha menjadi sok mewah dan tidak menginjak bumi, mengenal dan memahami makan dan makanan dengan lebih baik tidak pernah salah.
Aduh, soal-soal begini memang sering menjadi perangkap bagi ‘orang udik’ ,seperti saya. pengalaman yang mirip saya alami minggu lalu, saat ditraktir Prof Carol Warren di kantin Murdoch Univ. saya bersama rekan dari Indo, dengan sigap memilih menu sate ayam ketika disodorkan menu. ketika pesanan kami datang, saya kaget karena yg muncul adalah dua kerat daging ayam goreng dg secuil nasi. Toolnya adalah garpu sama pisau. Tanpa rasa berdosa water kantin meletakkan hidangan tsb di depan saya yg sedang bingung. Sate kenapa yg keluar lalapan ayam goreng?Pake pisau garpu pula..
Maka terjadilah kehendakNya pada diriku yg malang. Tertatih makan daging ayam dgn nasi yg secuil. Belum lagi hrs ngobrol dgn superviser. maka itulah ritual makan paling merepotkan yg saya alami selama di Perth. Saya hampir muntab – maaf!- manakala harus menelan ayam ketika nasinya sudah habis. Sejak lama saya memang tidak bisa menikmati daging tanpa nasi.
Makan memang menjadi pelik bila sudah dibenturkan dengan pergaulan yang lebih luas. Ia bukan lagi sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata. Di lain waktu, makan adalah media interaksi dan sebuah cara bagaimana seorang individu ingin menampilkan dirinya dihadapan orang lain. Runyam!
Sejujurnya, ketika saya menulis ini, Bli Sukma adalah salah satu orang yang saya bayangkan 😀
Hahahaha, seru nii…Saya tinggal dengan lima orang bule di flat, dan mereka selalu makan roti plus irisan daging hang hanya dimasukkan ke dalam oven sebentar dan….taraaa, jadilah makanan versi mereka. Saya, setiap kali masak, mereka teriak teriak menyangka makanan saya gosong, padahal ya memang aroma makanan kita seperti itu, hahahaha
Hahaha… Biasa makan sate bali… Kalau belum hitam belum matang lah :))