Saya memesan taxi untuk berangkat dari Orchard Hotel di Singapura menuju penginapan lain tidak jauh dari Bandara Changi. Sadar tidak paham lingkungan di Singapura, saya menggunakan Google Maps untuk penunjuk arah. Meskipun naik taxi, saya ingin tahu waktu tempuh dan rute perjalanan. Ketika memasuki taxi, saya jelaskan tujuan saya dengan alamat dilengkapi nama dan nomor jalan. Pak sopir lalu menanyakan daerah yang ingin saya tuju. Saya paham, bagi orang lokal, akan lebih baik diberitahu nama daerah atau kawasan, tidak sekedar nama jalan dan nomornya. Dengan Google Maps yang sudah disimpan sebelumnya saya memberitahu sang sopir. Kamipun melaju.
Di tengah jalan beberapa kali pak sopir bertanya rute yang ingin saya lewati. Di satu persimpangan, misalnya, dia bertanya apakah saya ingin lurus atau lewat kiri dengan memberi pertimbangan untung ruginya. Saya kira ini sikap yang baik. Saya pun manut saja, yang penting cepat. Meski demikian, saya tetap melihat peta navigasi di iPad.
Semua berjalan baik-baik saja hingga kami tiba di satu persimpangan. Saya lihat peta di iPad menyarankan belok kiri tetapi rupanya pak sopir hendak lurus. Saya dengan santai bilang “according to the map, we can turn left here”. Dia langsung menjawab, kalau ke kiri akan macet dan justru lebih lama. Mendengar itu, saya paham dan tidak memaksa “Oh okay, no problem” kata saya dengan santai. Dia berusaha menjelaskan situasi lalu lintas di Singapura dan saya tentu paham. Tiba-tiba dengan nada yang tidak seramah tadi, dia tanya “do you want to turn left?” Saya segera jawab “no, I am just saying. Please continue. No problem.” Entah bagaimana ceritanya, dia tidak berhenti di situ dan tetap berbicara yang menurut saya terdengar seperti membela diri secara berlebihan. Saya duga, dia mengira saya memaksa dia lewat kiri sementara dia sudah terlanjur memilih jalur lurus. Lebih jauh lagi, suaranya tiba-tiba agak naik, mengatakan bahwa kalau saya ingin belok kiri, harusnya saya mengatakan dari awal, tidak tiba-tiba di persimpangan. Untuk kalimat yang terakhir ini saya maklum, rupanya dia salah paham dengan pernyataan saya. Sadar akan hal ini saya hanya bilang “oh okay, no worries”. Saya ingin menenangkan suasana dan menghindari perdebatan yang tidak penting.
Di luar dugaan, sopir ini tidak menyudahi di situ, dia tetap berbicara banyak, menjelaskan hal-hal yang tidak perlu dan tidak ingin saya ketahui. Yang lebih menyedihkan, nada bicaranya tinggi dan cenderung menyalahkan. Ada kesan bahwa dia yang tahu Singapura dan saya tidak begitu paham. Tentu saja itu benar karena dia seorang sopir taxi di Singapura dan saya hanyalah penumpang asing. Saya memilih untuk diam saja, menahan emosi yang mulai naik juga. Tidak elok berdiplomasi dengan seorang sopir taxi untuk hal-hal yang tidak akan membuat perjalanan saya jadi lebih cepat. Kamipun terdiam agak lama.
Saya berusaha mencairkan suasana dengan bertanya hal-hal lain. Saya tanyakan populasi Singapura untuk sekedar berbasa-basi. Saya terkejut bukan kepalang ketika dijawab dengan ketus nada tinggi “six millions”. Dalam hati saya tersenyum geli melihat polah sopir taxi ini tapi saya hanya mengiyakan. Saya tidak paham mengapa hal kecil itu bisa membuat dia sedemikian emosi begitu lama. Lebih parah lagi, dia mulai melaju kencang dan kasar karena sering harus ngerem mendadak di jalanan Singapura yang tidak lengang. Saya mulai tidak nyaman tetapi berusaha menahan diri agar tidak terjadi interaksi yang lebih tegang.
Suatu ketika, saya mendengar ada peringatan dari GPSnya bahwa taxi itu melaju terlalu cepat, melebihi kecepatan yang diizinkan. Saya mulai merasa tidak nyaman dan khawatir dengan keselamatan. Gerakan mobil itu terasa kasar dan grasa grusu. Saya masih diam sambil menyiapkan strategi komunikasi terbaik. Belum sampat saya berkata apa-apa, peringatan yang sama terdengar lagi dari GPS. Dengan spontan saya berkata “I think you are too fast” dan disambut dengan suara tinggi oleh pak sopir “you think 60 is too fast? What do you want? 40? It will be very slow. When will we arrive there?” Jawaban itu terus terang membuat emosi saya naik drastis. “I don’t know the rule here, Man but the GPS said that we are too fast. That’s it!” Tidak mau kalah, dia lalu bilang “there is something wrong with the GPS. The speed is only 60. It is not too fast. What do you want? 40?” lagi-lagi dia mengulang ucapannya. “Sorry I don’t know that your GPS is broken. That is what I heard and I can feel that you are too fast. Slow down a little bit” kata saya masih berusaha tenang meskipun suara saya pastilah mulai bergetar. “No, the GPS is broken” katanya masih dengan nada tinggi.
Belum lagi kami selesai berargumen, GPS mengeluarkan peringatan yang sama bahwa kami melebihi kecepatan yang diizinkan. Di situlah saya mulai kehilangan kendali kesabaran dan saya pun berteriak. “Hey, Man! You are too fast and I know that. I am not stupid. Slow down!” mendengar saya berteriak rupanya dia sedikit terkejut karena tidak menduga saya berani melakukan itu. Tapi karena terlanjur merasa di atas dari tadi, dia tidak berubah sikap. Dia tetap membela diri bahwa itu tidak terlalu cepat. Saya sudah lupa dengan segala sopan santun dan berteriak “Hey, you shut up!” tapi dia masih berucap walaupun kini dengan nada suara yang sudah agak turun. Tanpa ampun saya mengulang lagi, kali ini lebih keras dan kasar “You ******* shut up!” sambil menunjuk wajahnya dari belakang. Seketika dia tercekat dan diam. Saya melanjutkan dengan emosi yang masih menyala “I am a customer here and you are providing me with service. You know that! My concern is my safety. I don’t care your GPS is broken or not, when I say slow down you ******* slow down, OK! Who do you think you are man?! I have been very patient to listen to your lecture along the way. I could feel that you underestimated me, right?! You are wrong, Man! I know I am not from here. I am from Indonesia but I know the law and you don’t play with me, Man!” Saya bicara dengan nada sangat tinggi dan itu membuatnya terkejut luar biasa. Dengan spontan dia bilang “sorry Sir” sambil gemetar, meskipun terdengar tidak ikhlas. “What is your name?” kata saya dengan nada mengancam. Diapun menyebut satu kata dan saya tidak puas dengan itu “tell me your full name!!!” dan diapun menyebutkan nama lengkapnya. Dengan nada khawatir dia bertanya “what for Sir?” Kali ini saya ingin memberinya pelajaran kecil “you know what for. I can call your company and you don’t have to wait until tomorrow, you will lose your job tonight!” Saya bisa melihat wajahnya pucat dan kemudian berkali-kali minta maaf “I am really sorry Sir” katanya berulang-ulang, kali ini dengan nada yang memelas.
Diam-diam saya mulai kasihan pada lelaki malang itu. Meski demikian emosi saya belum reda dalam waktu yang sesingkat itu. Giliran saya memberi kuliah padanya. Saya ungkapkan semua kejadian tadi dan saya sadar betapa angkuhnya dia menanggapi saya. Saya juga tahu dia telah meremehkan saya. Saya tanya “is it because you know that I am a foreigner so you treat me that way? If this is the case and this can be very long because I will not stop it here!” Mendengar itu dia semakin takut “no Sir. I didn’t mean that. I am really sorry Sir. It was my mistake. I apologise, really!” kata-katanya memelas, sirna sudah keangkuhan yang tadi dipamerkannya. Mendengar itu, amarah saya mereda. Pelan-pelan saya menyadari situasi dan berusaha mengusir emosi. “You know what ***?!” kata saya dengan nada lebih tenang. “Yes Sir?” jawabnya santun. “I like this country because you provide friendly environment and respect foreigners like me. And what you just did does not at all reflect that. That is why I was so upset. I hope you understand that.” “Yes Sir, once again I am sorry Sir” katanya dengan nada halus dan santun. Sayapun memilih untuk diam menenangkan diri.
Mendekati tujuan, dia bertanya dengan sopan dan takut-takut karena dia ternyata tidak tahu persis alamat yang kami tuju. Memang tidak mudah menemukan nomor gedung di saat gelap seperti itu. Saya hanya bilang “just go straight, I will tell you.” Saya memang aktifkan Google Maps Navigation sehingga bisa tahu persis tujuan saya. Kamipun sampai di tempat yang saya tuju. Pak sopir kembali minta maaf dengan tulus dan kali ini saya tanggapi dengan tulus juga “that’s Ok, no worries. No problem between us, ***” Tidak berhenti di sana, saya merasa tidak tega membuat hatinya gundah gulana. Dia pasti masih sangat khawatir kalau-kalau saya akan menelpon perusahaannya atau melakukan tindakan hukum. Saya berkata “I know that I was also angry and impolite yelling at you but you know the reason.” “Yes, Sir, I understand” katanya. Saya lanjutkan, “I will not prolong this case, don’t worry. I also apologise for what I have said to you. I realise it was not appropriate”. Mendengar itu dia berkata “no, Sir, that’s fine. I am sorry once again.” Saya menjabat tangannya saat keluar dari taxi.
Saat taxi itu melaju saya dihinggapi rasa lega. Lega karena telah menggagalkan sebuah penindasan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya. Terlebih lagi, lega karena saya telah meminta maaf dengan tulus kepada seorang asing yang perasaannya mungkin saya lukai.
PS. Kejadian di atas murni insiden antara sopir taxi dan penumpangnya, tidak terkait hubungan antarnegara, apalagi nasionalisme 🙂 Komentar sebaiknya fokus pada insiden tanpa membawa-bawa nama negara 😉
Mohon maaf bli, saya belum bisa membayangkan bli yang sedang marah, hihihi 🙂
Hehehe… Saya tidak sering marah tapi cukup ahli kalau lagi mau hahaha
Bli, marahin saya bli,,, marahin saya! hahaha
Hahaha
Insiden yang menarik, dimana dengan teknologi yang ada, qta bisa bertindak benar dan dengan cara yang benar…
Well done Bli…
Thanks 🙂
Bagaimana kalo kejadiannya di kita,ya?? Mungkin sopir taxinya hanya bilang..”Silahkan Bapak telepon perusahaan saya kalo berani!!”..
Salut..tindakan yang bagus Mas Andi..
Salam
Menarik…
Saya juga mikir, saya bisa lakukan itu karena yakin, mereka cukup taat hukum sehingga tidak akan membabi buta 🙂
U’re showing him your scary mask! Huahaha
I like this hahaha 🙂
hua.. tumben banget supir taksinya ngocol gitu.. mungkin dia lagi PMS … 😀
it was a nice shock therapy to the taxi driver…he surely will always remember to be nice to all customers next time. lesson learned. kemarahan pak Andi juga memberi kebaikan bagi taxi driver nya. 🙂
Pengalaman saya di SGP malah nemuin supir bus dan sekuriti yg jutek n galak abis. X(
baru kali sy membaca (selain kejadian di bus dengan seorang di australia) tulisan Bli dengan nada marah. saya tidak bisa membayangkan saat menulis kejadian itu. apakah emosi atau tidak :).
teknlogi kadang tidak bisa berbohong :). inspiratif
salam hangat Bli.
Saya tidak sering marah tapi kalau marah saya lakukan dengan sungguh2 😀
waduh saat marah pun sungguh2, kalau dengan mahasiswa jgn galak2 ya pak 🙂
tulisannya keren pak 🙂