
Genjo tekun memotong semangka yang baru dibelinya dari sebuah toko buah pagi tadi. Sore ini akan ada diskusi mahasiswa Indonesia di luar negeri, tempat Genjo dan kawan-kawannya menuntut ilmu. Samar-samar didengarnya Budiman sedang berkomat kamit di kamar. Rupanya dia sedang melatih presentasinya untuk acara sore nanti. Budiman seorang aktivis, profil mahasiswa Indonesia yang ideal. Dia aktif berorganisasi, pintar di kampus dan peduli pada urusan bangsa.
Sementar itu Genjo selalu menjadi pelengkap. Otaknyanya tidak cukup canggih untuk berbicara persoalan bangsa. Dia hanya bisa mendukung dengan menyiapkan konsumsi atau sekali-sekali memasang kabel untuk audio visual diskusi. Genjo mantap dengan perannya: sebagai penggembira.
“Eh Genjo, banyak banget semangkanya.” Budiman tiba-tiba muncul di dekat Genjo.
“Ya. Kelihatannya banyak yang datang. Topiknya menarik. Siapa sih yang tidak ingin melihat kesaktian seorang Budiman.” Genjo memuji kawannya itu.
“Ah, bisa aja kamu.”
“Bener kok. By the way, kamu mau bicara apa nanti?”
“Aku ingin menyoroti perilaku korupsi yang seringkali tidak disadari oleh perangkat negara.”
“Misalnya?”
“Ya, misalnya anggota dewan yang studi banding ke luar negeri dengan membawa keluarga.”
“Kalau tiket dan hotel bayar sendiri, itu juga termasuk korupsi?”
“Ya tentu saja.”
“Tapi kan uang negara tidak berkurang dan pengeluaran negara tidak bertambah?”
“Betul. Tapi pasti keluarganya juga akan pernah ikut mobil delegasi, pernah menikmati layanan kedutaan, pernah sekali waktu makan bersama. Atau setidaknya keluarga akan menjadi faktor yang mengganggu konsentrasi anggota dewan dalam menjalankan tugasnya.”
“Begitu ya?” Genjo tidak begitu paham penjelasan Budiman.
“Intinya begini. Jika memang keberangkatan keluarga itu tidak diuntungkan dengan tugas dinas anggota dewan, seharusnya keluarga berangkat sendiri di kesempatan lain, tidak ketika anggota dewan bertugas. Logikanya seperti itu.”
“Oh..” Genjo menjadi sedikit paham.
“Eh semangkanya merah banget. Manis nggak?” Budiman mengalihkan pembicaraan.
“Nggak tahu.”
“Lho kamu nggak nyoba?”
“Nggak sih, tapi kelihatannya manis kok.”
“Aku coba satu ya?”
“Jangan ah, takut kurang untuk yang lain. Ini aku beli dengan uang Perhimpunan Perlajar Indonesia.”
“Nyoba satu potong kecil saja kan nggak akan berkurang banyak. Lagipula anggota PPI tidak akan merasa hak mereka dikurangi kok. Kamu tinggal iris saja sedikit lebih kecil sehingga jumlah irisan jadi lebih banyak, cukup untuk seluruh anggota. Dengan begitu kita bisa tahu kualitas semangka yang kita sajikan untuk teman-teman kita. Ini bagian dari tanggung jawab kamu sebagai seksi konsumi, Genjo. Kamu harus menjamin kualitas layanan yang kamu berikan.”
Genjo bingung. Tiba-tiba penjelasan Budiman soal korupsi yang belum sempat dipahaminya dengan fasih, kini lebih kabur maknanya. Genjo memang tidak sanggup berpikir hal-hal berat yang rumit.
mengingatkan saya akan judul lagunya Bang Iwan Fals, “maling teriak maling..” hehe
yang sembunyi balik dinding? 🙂
Reblogged this on Clouds of my mind and commented:
Little thing around us 🙂
genjo, kamu pindah share kamer aja sama yang lain. jangan sama budiman, dia jangan2 itung2an listriknya akan parah banget nanti hehehehe..
Reblogged this on NonnaPEDIA.
sama dengan Genjo…
saya juga tidak terlalu paham ….
menurut suatu yang saya pahami hal ini memang yang menjadi semakin rumit dalam sebuah kajian…betapa tidak jika cerita tersebut kita pahami kita membahas dan membenarkan atau menyalahkan sebuah tindakan korupsi namun hasilnya kita sendiri juga termasuk bisa dikatakan pelaku korupsi meskipun dalam hal kecil sehingga suatu korupsi tidak akan bisa selesai atau di tekan ke hal yang lebih sederhana jika pelaku anti korupsi masih menggunakan hal yang terkait korupsi tanpa di sadari meskipun selalu berkata ” ahhh sedikit saja tidak apa apa”….
lebih baik hidup jujur saja haha