Di sebuah perjamuan makan malam di Canberra selepas konferensi, anak muda itu berkisah. Dia lahir di Malaysia, besar di Singapura dan mengenyam pendidikan tinggi di Australia. Seorang pemuda berwawasan global dan terekspos oleh geliat internasional. Dia cakap berbahasa Inggris, itu sudah pasti. Menariknya, saya bisa menyimak dengan jelas, cengkok Singlish terdengar cukup sering dari celotehnya.
“So, you speak Malay, I believe” saya bertanya suatu ketika.
“Sedikit saja” katanya menjawab dengan menunjukkan ibu jari dan telunjuk yang berdekatan nyaris menempel tanda bahwa dia memang punya keterbatasan dalam berbahasa Melayu. Saya tidak heran, dia sudah begitu lama di Singapura dan Australia. Tidak sedikit yang mengalami ini.
“Oh, I see. But your Mandarin must be good!” tebak saya, mengingat dia adalah keturunan China. Terlihat dari nama dan wajahnya.
“No. My Mandarin is very poor” katanya mengejutkan saya. Seorang keturunan China, lahir di Malaysia dan besar di Singapura tidak bisa berbahasa Mandari itu tidak umum, kalau tidak mau mengatakan aneh. Saya tidak pernah menemukan ini sebelumnya. Ternyata, peneliti muda ini hanya fasih berucap satu bahasa: Inggris.
Rupanya dia menangkap rasa penasaran saya sehingga akhirnya dia bercerita. Bahwa betapa menyesalnya dia tidak mendengarkan ucapan orang tuanya ketika dia kecil yang memaksanya belajar dan menggunakan Bahasa Mandarin atau Melayu. Dia tidak pernah melihat hal ini sebagai sesuatu yang menarik. Dia tidak melihat kepentingannya karena semua hal bisa diselesaikan dengan Bahasa Inggris. Kini, saat dia tinggal di Australia, berinteraksi dengan orang Asia, terutama China, dia menyadari, langkah yang ditempuhnya di masa lalu itu tidak tepat. Bisa berbahasa Mandarin, memungkinkannya bisa berbicara dengan lebih dari sepertujuh penduduk planet bumi. Sebuah kemewahan yang sayang sekali dilewatkannya. Kelemahannya dalam berbahasa Melayu, dalam beberapa hal, juga telah melemahkan identitasnya sebagai warga negara Malaysia seperti yang tercantum di paspornya. Perasaan ini tentu bisa diperdepatkan tapi itulah yang saya tangkap dari nada penyesalannya.
Saya mengingat-ingat banyak kawan di Indonesia yang berjuang sekuat tenaga menjadikan anaknya fasih berbahasa Inggris. Sebuah usaha yang sangat mulia karena akan menjadikannya generasi global. Semoga apa yang mereka lakukan tidak membentuk generasi baru yang tergagap-gagap dengan bahasa leluhurnya dan terpinggirkan di desa kelahirannya karena terbata-bata melafalkan bahasa Ibunya. Maka sorak sorai penonton yang menyaksikanya berkilau di pentas dunia menjadi sedikit ternoda karena dia menjadi sosok yang tidak terampil memberi warna di habitat natifnya lewat budi bahasa.
Maka ketika kawan-kawan saya menyanjung “senang sekali ya, anaknya pintar Bahasa Inggris”, saya bilang “saya senang, tetapi belum bisa bangga karena nilai Bahasa Jawanya masih merah dan Bahasa Bali belum dikenalnya.”
astaga…semangat ya, Lita..saya belajar bahasa Bali, Indonesia, Inggris aja masih belepotan… 😀
Makasih Om 🙂
Amazing! Wah… kadang hal yang dianggap sepele sering terlewat, padahal sebenarnya sangat berarti. Experience really is the Greatest Teacher..
Makasi Pak ceritanya…
Syukurlah bermanfaat 🙂
I remember writing on the same issue for the Jakarta Post two years ago. The urban generations are usually those with confused identities. But this should not hinder one from having a multicultural family, right? That’s why family language planning is key.
Yes, I did read yours. An excellent one!
Dek Andi, menarik sekali…
Masih dalam suasana peringatan Hari Bahasa Ibu… Bahasa Ibu sebagai identitas…
Suksma Bli Dek.