Surat dari New York


sekjen

Aku ingin mengajakmu serta, menyusuri Eliot Avenue yang dipagari pepohonan meranggas yang menggigil karena dingin. Lalu kita hangatkan beku dengan bersenda gurau sambil memandangi bajing yang bertengger di ranting dan dahan tak berdaun karena tirani musim dingin yang kejam. Aku ingin mengajakmu serta.

Aku ingin membimbing tanganmu menyeberangi Woodhaven Boulevard di Queens lalu berhenti sejenak di dekat pedagang kaki lima. Kita menikmati senyum khas kisanak dari Timur Tengah yang setiap pagi menawarkan segelas cokelat panas dan sepotong penganan. Aku akan menikmati asap yang mengepul dari hembusan nafasmu karena dingin memenjara kehangatan. Lalu kita beringsut ke bawah tanah, menyusuri lorong menuju kereta yang akan membawa kita ke Manhattan. Aku akan mendekap segelas cokelat panas, mencoba menyalurkannya ke raga yang terhantam dingin.

Di kereta itulah akan aku ceritakan kepadamu garis-garis yang meliuk-liuk penanda arah perjalanannya yang pelik dan rumit. Akan aku ceritakan makna lingkaran, tanda dan warna yang membuatnya berhenti atau berbelok di dalam terowongan di perut bumi. Bahwa kereta inilah yang membawa jutaan jiwa bergerak mengejar asa dari Queens yang tenang atau Brooklyn yang teduh menuju Manhattan yang hingar bingar dan menggoda. Tapi aku tidak akan mengajakmu berkelana di sorot lampu Times Square yang memabukkan. Aku akan menggamit tanganmu lalu mampir di sebuah gedung nan wibawa, tempat utusan dari bangsa-bangsa merundingkan takdir peradaban umat manusia. Kita dengarkan ujar-ujar seorang lelaki berwibawa dari Semenanjung Korea dan kebijaksanaan seorang perunding dari Negeri Singa tentang kisah mereka meretas adat samudera tiga dasawarsa silam. Lalu kita simak lantunan puja dan puji dari Negeri Hitam atau Bangsa Kuning dan Merah tentang segala keberhasilan dan ketidakberhasilan. Kita akan simak kesan mereka tentang geliat dunia memandu samudera lalu keluh kesah mereka tentang keberhasilan-keberhasilan yang masih tertunda.

Di siang hari aku akan mengajakmu serta melewati dingin di 44th street menjut 1st avenue di jantung Manhattan. Di sana akan kita saksikan gedung sederhana nan wibawa berupa kotak menjulang tinggi berebut ruang dengan kabut musim dingin. Di depannya terlihat sebentuk ruang melengkung yang di depannya berderet beratus bendera. Kamu akan tersenyum karena ini adalah mimpimu sejak mengenal catatan-catatan peradaban. Dari sinilah, nasib bangsa-bangsa dibicarakan dan kita akan menjadi bagian dari perhelatan itu. Aku akan mengabadikanmu saat berdiri bangga di sela gambar Lelaki Semenanjung Korea itu dan seorang bijak lainnya dari Ghana di daratan Afrika. Kita tentu berharap seorang berjawah melayu sepertimu kelak akan bersanding gambarnya dengan para pendahulu itu.

Saat senja menjelang, kutuangkan anggur pada cawan yang kaugenggam lalu teguklah. Di sekitar kita bercengkrama para pendekar yang namanya sempat kita kenal hanya dari kitab-kitab kenamaan. Wajah mereka biasanya kita saksikan di layar kaca, kini kita berkerumun menyatu dengan mereka. Bukan. Bukan karena aku istimewa tetapi karena aku datang bersamamu yang ditakdirkan istimewa, berkawan dengan kumpulan petinggi dan penentu peradaban bangsa-bangsa.

Ingin aku mengajakmu serta, menyusuri terowongan bawah tanah, bercerita dalam kereta yang membawa kita ke selatan menjauhi markas kumpulan bangsa-bangsa itu. Dingin tak menghentikan kita untuk berkunjung pada tuan Puteri Liberti yang berdiri anggun menentang dingin dan berlaku adil bagi setiap musim. Lihatlah tangannya yang sabar mengacungkan obor harapan, menjadi penerang mereka yang sedang gelisah mencari tambatan nasib. Senyum itu telah disunggingnya sejak abad belum berkepala dua. Dia adalah persembahan dari Negeri Napoleon, hadiah seorang sahabat yang dijaga dengan kehormatan.

Kita tidak akan menapaki dan mendaki pijakannya karena kita tidak ingin tenggelam ke dalam wibawanya. Biarlah kita saksikan keanggunannya dari jauh sambil berkelana di Pulau Elis, mengenang kedatangan para pengembara yang berjudi harapan di negeri Paman Sam. Kita tidak akan berlama-lama menikmati cantiknya Gadis Liberti karena kita ingin tenggelam di gemerlap lampu jembatan Brooklyn yang mempesona. Rasakanlah dingin yang sempurna saat kita berjalan kaki mengenang perjuangan mewujudkannya. Bisakah kau dengar dentingan paji dan palu saat para perkasa membangun jembatan ini di sela pergantian rejim yang dramatis? Lihatlah kawat-kawat kekar itu, dia menggenggam jembatan ini dengan gagahnya menyulam pola yang memberi warna pada langit yang gelap dan berbintang. Seandainya saja ini musim panas, pastilah kamu aku ajak duduk di rerumputan di dekat jembatan ini lalu beralas tikar bertengadah memandang langit yang kosong bertabur bintang. Kita bisa saksikan pagelaran Serendipity yang mengisahkan cinta misterius orang-orang yang terjebak musim dingin di Manhattan.

Aku ingin menjakmu serta, menyusup di antara tubuh-tubuh yang berdesakan bermandi cahaha di Times Square yang berbinar. Lalu kita melompat ke Central Park melihat para muda berselancar di atas es yang putih berkilau. Kita tidak akan menyatu dengan mereka karena kita tidak ingin menjadi pelaku. Kita adalah penonton yang menuai segala nikmat. Ikutilah aku berkelebat menghadiri kerumunan di depan Rockefeller Center yang memangku pohon natal nan wibawa. Lalu kita berikan senyum pada berpasang-pasang umat manusia yang bergerak lincah di atas batu es yang licin itu. Sesekali kita saling memandang haru, menyaksikan seorang pemuda yang mempersembahkan mawar pada kekasihnya di dinginnya malam yang berpijar.

Aku ingin mengajakmu serta, menyusuri subuh melintas terowongan bawah tanah dan berkelakar di dalam kereta. Dalam perjalanan pulang, akan aku ceritakan kepadamu persahabatanku dengan para pendekar dari berbagai perguruan di seluruh benua. Akan aku kisahkan kepadamu ambisi kami menjadi berarti ketika saatnya tiba nati. Akan aku pamerkan kebanggaanku merajut jaring, menghubungkan simpul-simpul yang tercecer dan terserak. Atau inginkah kau mendengar sebatang jacaranda di belakang rumah yang menangis saat aku meninggalkan kota ini lima tahun lalu? Aku akan ceritakan surat-surat yang aku kirimkan kemarin sore kepada orang-orang yang menentukan jalanku atau sebentuk tanda yang aku hadiahkan hanya kepada orang-orang istimewa. Lalu kusaksikan matamu meredup menyambut lelah dan kehangatan yang menandingi gigil musim dingin di luar kereta. Maka akan kubiarkan tubuhmu bersandar dalam dekapan jubah tebal yang panjang dan merapat kepadaku yang masih takjub. Aku takjub dengan geliat peradaban yang ingin tetap aku ceritakan, meski dalam gumaman karena aku tidak ingin mengganggu tidurmu yang lelap berlatar gerit roda kereta yang mendayu-dayu. Aku ingin memberimu kehangatan, mesti tidak selalu kausadari, karena begitulah New York.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

9 thoughts on “Surat dari New York”

  1. Tiga nama terakhir dari Mesir, Ghana, dan Korea Selatan. Optimis inshaallah untuk satu nama dari Indonesia di masa depan..

    Enjoy New York, kawan. Jangan lupa mampir ke Central Perk. Di sana Joey dan Chandler menanti untuk menyuguhkanmu candaan tiada henti.. 😉

    Subhan Zein

Leave a Reply to Andi Arsana Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: