
Sejak beberapa tahun terakhir Bapak saya giat bercocok tanam, berkebun berbagai jenis tanaman di Desa Tegaljadi. Yang paling umum adalah buah-buahan dan sayuran. Kami memiliki cukup banyak pisang, pepaya, pare, ketela, keladi, labu siam, dan lain-lain. Bapak memelihara semua tanaman itu di sebuah lahan yang peruntukan utamanya sejatinya bukan untuk itu. Dengan kata lain, semua produksi itu adalah sambilan saja. Menariknya, produksinya berlimpah dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Alhasil, banyak yang diberikan secara cuma-cuma kepada tetangga. Ada kepuasan tersendiri melakukan semua itu.
Saat menyaksikan itu, ingatan saya melayang ke masa lalu saat situasi di desa kami jauh berbeda. Saya masih ingat cerita Bapak dan Ibu tentang orang-orang desa yang harus pergi berpuluh kilometer untuk menjadi buruh tani. Kecamatan Penebel di bagian utara Tabanan adalah salah satu tujuan utama. Penduduk desa kami, konon, berbondong-bondong ke Penebel untuk memelihara dan memanen tanaman pertanian milik para tuan nanah dengan imbalan yang digunakan untuk menyambung hidup. Di kala itu, hasil bumi adalah barang langka yang mahal. Penduduk desa kami tidak memiliki kemewahan itu. Saya bahkan masih melihat sisa-sisa kebiasaan itu di awal tahun 1980an. Singkat cerita, kami harus pergi jauh untuk bisa menghidupi diri dan keluarga.
Hasil panen berlimpah yang diperoleh dari kebun keluarga saya saat ini mengingatkan pada satu hal. Alam desa kami tidak lebih baik dibandingkan masa lalu. Jumlah lahan bahkan menyempit dan kesuburan tanah barangkali berkurang. Di saat seperti itulah justru terjadi surplus produksi, setidaknya bagi keluarga kami. Apa yang berbeda? Yang berbeda adalah manusianya. Di masa lalu, bapak saya tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lahan yang dimilikinya. Secara umum, orang desa kami bahkan tidak sadar bahwa apa yang ditanam di Kecamatan Penebel sesungguhnya bisa ditanam di desa kami dan menghasilkan hal yang sama. Bahwa kesejahteraan itu bisa ditanam di halaman rumah sendiri, tidak harus diburu hingga jauh di tanah orang.
Produksi pepaya, labu, sayur dan ketela yang berlebih dari buah tangan Bapak saya menegaskan sesuatu. Bahwa kebanggaan kita memang semestinya bukan karena alam yang memanjakan tetapi karena manusia yang cerdas memanfaatkannya dengan bijaksana. Maka Anies Baswedan benar, bangsa ini tidak lagi harus terbuai dengan ujar-ujar yang memabukkan bahwa kita adalah zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi. Bangsa ini akann menegakkan kepala penuh percaya dirikarena manusianya yang bisa diandalkan.
Mas Andi, tulisan njenengan mengingatkan almarhum Bp saya. Tanah yang hanya sejengkal di depan rumah – di pinggir jalan bisa menghasilkan banyak buah (pisang, jambu, pepaya), ketela, cabe, dan rempah2 lain yang bisa dinikmati tetangga. Dan beliau melakukannya di sela-sela kesibukan yang lain. Saya sangat setuju sekali dengan tulisan njenengan ‘bahwa’ manusialah kuncinya – yang rajin, ulet dan kreatif, mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada – dan tentu saja “selalu berfikir positif” untuk kemajuan.
Semoga arwah beliau mendapat tempat yang layak sesuai amal dan ibadahnya Mbak 🙂 Salam hormat saya.
setuju..asal bisa memanfaatkan kesuburan alam kita