Saya menulis ini tanggal 2 April 2007 sambil sesekali memandang gemerlap lampu di kejauhan. Suasana malam ini sangat indah terlihat dari tempat tinggal saya di lantai 3 sebuah apartemen yang berada di Crown Street, Wollongong, NSW, Australia. Sudah beberapa hari ini saya berada di Wollongong Australia untuk melakukan sebuah penelitian. Hal inilah yang akan saya ceritakan kepada Anda saat ini. Mungkin tidak berguna bagi semua orang, tetapi bisa jadi memberi sedikit inspirasi bagi sebagian pembaca. Bagi Anda yang ingin mendapatkan kesempatan seperti ini, mungkin ada baiknya Anda simak.
Pertengahan Juni 2006, Pak Sobar mengirimkan sms dari New York mengabarkan bahwa ada kesempatan untuk melakukan penelitian dengan skema fellowship dari DOALOS. “Didanai oleh Jepang”, begitu salah satu informasi penting dari sms tersebut. Tanpa berpikir panjang, saya mulai melakukan pencarian informasi di internet. Seperti biasa, karena tidak tahu URL-nya, saya mengandalkan Pak Google yang akhirnya mengarahkan saya ke website United Nations (UN) yaitu http://www.un.org/Depts/los/nippon/. UN bekerjasama dengan Nippon Foundation of Japan menyelenggarakan program sejak tahun 2004 untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di negara berkembang, baik yang merupakan anggota maupun bukan anggata United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Melalui program ini, perserta diberi kesempatan untuk melakukan penelitian selama total sembilan bulan yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah enam bulan penelitian akademik di salah satu dari 31 institusi yang tersedia di Amerika, Eropa dan Australia, tahap kedua merupakan tiga bulan kegiatan magang di DOALOS, New York, US. Proyek ini dilaksanakan secara bersama oleh Division of Ocean Affairs and the Law of the Sea (DOALOS) yang merupakan bagian dari UN Office of Legal Affairs dan didukung oleh United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA).
Ketika saya lihat website tersebut pertama kali, batas waktu pendaftaran adalah tanggal 14 Juli 2006, beberapa hari lagi. Tanpa banyak berpikir, saya memutuskan dalam hati untuk mendaftarkan diri. Setelah mengeksplorasi lebih jauh saya pun paham bahwa syaratnya tidak terlalu sulit, sehingga dapat disiapan dalam waktu yang relatif singkat. Sederhananya, persyaratannya adalah mengisi formulir yang secara langsung juga berfungsi sebagai proposal. Persyaratan lain adalah rekomendasi dari beberapa pihak yang dianggap berkompeten dan dokumen pendukung lain seperti CV dan daftar publikasi. Yang cukup menarik dari keseluruhan persyaratan adalah perlunya menyerahkan hasil tes kesehatan termasuk hasil sinar-X yang formulirnya bisa didownload di website UN.
Dalam perjalanan, saya juga melakukan pencarian peserta (fellow) terdahulu dan akhirnya saya menemukan ada satu orang Indonesia yang saat itu sedang mengikuti program tersebut. Hendra Yusan Siry, begitu namanya yang saya akhirnya tahu kalau beliau sedang sekolah PhD di ANU. Ternyata Bang Hendra “cuti” dari sekolahnya di ANU dan mengikuti UN-Nippon Fellowship. Dengan teknik perburuan yang jitu, akhirya saya mendapat no HP Bang Hendra dari Bima yang juga sekolah di ANU setelah sebelumnya menghubungi Ode di Chatswood, Sydney yang adalah kawan saya dan juga Bima. Mas Bambang tentu juga harus disebut di sini karena beliau yang mengenalkan saya dengan Bima ketika saya masih di Australia. Memang cukup rumit, inilah perjuangan. Setelah tahu kalau Bang Hendra ditempatkan di Boston, langsung saya kontak. Orangnya sangat baik dan bersedia membantu saya dalam persiapan. Bang Hendra, adalah satu dari sekian banyak orang yang mengantarkan saya pada posisi sekarang ini. Komuniasi kami terjadi lewat email dan sms. Bang Hendra membantu saya banyak dalam hal penanganan dokumen.
Bersamaan dengan persiapan formulir, saya menghubungi Chris Rizos dan Clive Schofield untuk meminta rekomendasi. Seperti biasa, Chris memberikan rekomendasi dalam hitungan jam dan Clive juga menyusul. Saya berutang budi pada kedua orang baik ini. Rekomendasi mereka dikirim langsung ke UN lewat fax. Sementara itu, saya sendiri menyiapkan draft rekomendasi dari Pak Sobar yang saya siapkan akan menjadi pendukung lamaran saya.
Tangal 27 Juni 2006 Pak Sobar datang ke Jogja dengan tujuan utama untuk melihat situasi di Bantul pasca gempabumi 27 Mei 2006. Tepat satu bulan sesudah kejadian gempabumi, Pak Sobar menyempatkan diri menyaksikan keprihatinan Jogja. Tanpa mengurangi makna kunjungan ini, saya menyempatkan diri untuk diskusi soal program fellowship ini dan menyodorkan rancangan rekomendasi. Tentu saja ada beberapa hal yang disunting oleh Pak Sobar sebelum ditandatangani. Singkat kata, rekomendasi dari Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal. salah satu tokoh penting di bidang yang relevan sudah saya dapatkan.
Tahap selanjutnya adalah meminta dukungan dari Pak Maryo selaku ketua jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM. Dalam hal ini saya wajib mendapat ijin dan dukungan dari atasan untuk mengikuti program ini. Setelah berdiskusi perihal masa depan program ini dan peluang saya untuk studi lanjut (S3), Pak Maryo memberikan tanda tangan beliau pada lembar yang sesuai. Atas saran Pak Maryo juga, saya memilih Centre for Maritime Policy, di Wollongong, Australia sebagai pilihan utama tempat melakukan penelitian tahap pertama. Perlu diketahui, saat ini saya cukup serius menekuni permasalahan aspek teknis hukum laut dan delimitasi batas maritim. Topik ini juga yang saya usung ketika mengisi formulir.
Tes kesehatan saya laksanakan di Klinik Husada Yogyakarta di belakang Kridosono, Kotabaru. Tes kesehatan semacam ini mungkin memang belum umum dilakukan oleh klinik tersebut karena biasanya mereka melayani pemeriksaan kesehatan untuk kepentingan pengurusan visa. Tidak heran kalau ada berbagai pertanyaan yang harus saja jawab dan jelaskan dengan baik. Akhirnya tes kesehatan terlaksana sesuai dengan ketentuan yang ada pada formuliar yang tersedia.
Semua persyaratan sudah ada dan kini tiba saatnya untuk mengirimkan dokumen. Sebelum mengirim semua dokumen dengan pos, saya menyempatkan untuk memindai semuanya sehingga saya memiliki arsipnya dalam bentuk file (*jpg). Hal ini saya maksudkan sebagai arsip dan dapat disimpan di dunia maya. Telah menjadi kebiasaan saya mengirimkan dokumen-dokumen penting ke sebuah alamat gmail yang saya jadikan gudang penyimpanan. Bersamaan dengan pengiriman dokumen lewat pos, saya pun mengirimkan dokumen digital lewat email. Francois Bailet, program advisor, dengan cepat merespon email saya dan menyatakan bahwa pendaftaran saya akan dipertimbangkan dan dia menunggu dokumen hardcopy dari saya. Dia juga menyampaikan bahwa surat rekomendasi dari Chris sudah sampai di kantor UN. Luar bisa!
Awal Juli 2006, dokumen saya kirimkan semua dengan harapan akan tiba di UN sebelum tanggal 14 Juli 2006. Dokumen yang diperlukan dalam proses aplikasi ini adalah:
1. Cover letter (surat lamaran)
2. Formulir pendaftaran yang diisi lengkap
3. CV
4. List of Publications
5. Formulir tes kesehatan yang sudah ditandatangani dokter
6. Formulir nominasi yang merupakan ijin dari atasan.
7. Hasil Rontegen
Saya mengirimkan berkas lamaran dengan jasa pengiriman atas bantuan Mas Marno, karyawan di Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM yang di”perintah” oleh Mbak Wati, bagian umum. Saya berhutang budi pada kedua orang ini.
Semuas berkas telah dikirim dan saya pun melupakannya. Saya tenggelam dengan aktivitas lain termasuk menyiapkan konferensi di Kuala Lumpur (Agustus), Jakarta (Agustus) dan di Bangkok (September). Satu lagi yang penting, saya masih harus menyelesaikan revisi thesis setelah melewati examination dan dinyatakan lulus dengan reivis minor.
Sekitar bulan September 2006, berita mengejutkan datang dari Francois Bailet, UN. Berkas saya belum sampai! Tentu saja saya tidak habis pikir. Jika saya hendak mengirimkan ulang, artinya saya harus tes rontgen lagi. Kebetulan semua berkas lain sudah saya pindai dan disimpan dalam bentuk JPG sehingga tidak ada masalah, tinggal dicetak dan dikirim. Setelah berkonsultasi dengan Clive, saya memutuskan untuk mengirimkan ulang lamaran saya dan artinya harus tes kesehatan lagi. Tidak masalah, ini bagian dari perjuangan.
Sekali lagi, Bang Hendra menjadi pahlawan bagi saya ketika itu. Saya tidak perlu mengirimkan berkas lamaran berupa hard copy tetapi melalui email kepada Bang Hendra dan kemudian beliau mencetaknya untuk diserahkan ke UN. Sangat membantu. Meski demikian, saya tetap saja harus mengirimkan hasil rontgen ke UN. Yang menarik adalah soal pengirimannya. Anda tentu paham bahwa film rontgen itu cukup besar dan tidak akan muat dalam amplop standar. Jika Anda memasukkan dalam ampop besar yang tidak satandar menurut jasa pengiriman seperti FedEx, misalnya maka Anda harus membayar sekitar Rp. 600.000. WOW!
Saya mau berjuang, tetapi rasanya harus berpikir juga kalau harus membayar sedemikian besar hanya untuk mengirim dokumen yang juga belum tentu menyebabkan saya diterima. Saya pun punya akal. Domumen tersebut saya gulung sedemikian rupa, saya masukkan tabung kertas bekas tempat gulungan plastik yang berdiameter kira-kira 4 cm. Dengan sedikit kreativitas, terciptalah paket kecil dan ringan yang kalau dikirim menghabiskan biaya tidak lebih dari Rp 60 ribu. Sepersepuluh dari harga yang ditawarkan sebelumnya.
Singkat kata, semua beres dan saya kembali tenggelam dengan revisi thesis. Mungkin banyak yang menilai saya tidak ideal dan ”grasa-grusu” karena sudah memburu kesempatan lain, sementara thesis S2 saja belum beres. Terima kasih atas kritiknya, tetapi saya yakin saya cukup paham situasi saya saat itu.
Tanggal 2 November 2006 saya menerima berita menggembirakan itu. Lamaran saya diterima dan saya adalah satu dari sepuluh orang yang diterima di seluruh dunia. Kalau pun saya merasa senang dan bangga, mungkin tidak berlebihan. Berita ini membuat saya lebih giat melakukan revisi dan akhirya thesis pun terjilid rapi. Saya dinyatakan resmi lulus Master dari UNSW. Pepatah mengatakan “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui” yang artinya sakti mantraguna 🙂
Mengurus Visa
Topik hangat selanjutnya adalah mengurus visa. Meski demikian, visa belum bisa saya urus sebelum ada berita resmi tentang penempatan saya. Meskipun saya telah menentukan pilihan institusi, UN lah yang berhak memutuskan tempat saya akan menjalankan program tersebut. Pada dasarnya saya tidak keberatan ditempatkan di mana pun. Di Australia OK, karena saya ingin bernostalgia dan sudah kenal baik orang-orangnya. Di Amerika atau Eropa pun OK karena itu berarti saya berkesempatan untuk mengenal belahan dunia lainnya. Nothing to lose lah!
Sementara itu, saya menyiapkan kelengkapan dokumen untuk mengurus paspor. Kebetulan passpor biru/dinas saya sdh habis masa berlakunya, jadi harus diperpanjang. Sebelum jelas tujuan negaranya, passpor dinas belum bisa diproses. Meski demikian, saya yakin tidak akan sulit prosesnya.
Pertengahan Januari 2007, saya mendapat kabar dari Francois Bailet bahwa saya ditempatkan di CMP, Wollongong, persis seperti yang saya minta. Ini satu hal lain yang luar biasa. Tentunya ini tidak lepas dari strategi komunikasi saya dengan Clive di Wollongong yang kebetulan akan menjadi supervisor saya. Clive yang pada dasarnya sudah CS dengan saya tentunya memberi argumen terbaiknya bahwa saya adalah kandidat terbaik untuk CMP. FYI, sangat banyak dari 10 fellows tersebut yang menginginkan ditempatkan di CMP. Ketika ada keinginan dari saya selaku perserta dan ada dukungan dari Clive selaku supervisor dan penghuni CMP, maka UN pun tidak punya pilihan lain kecuali mengabulkan permintaan saya. Betul tidak kira-kira?
Begitu kepastian sudah ada dan surat dukungan visa sudah saya terima, saya mulai mengurus passpor dinas. Prosesnya sederhana saja, menyerahkan segala berkas ke bagian kerjasama UGM dan semua pasti beres. Pengurusan passpor ini sekaligus termasuk pengurusan ijin ke luar negeri dari Dikti. Hal seperti ini tentunya sudah biasa di UGM.
Tanggal 8 Februari 2007 ada berita bahwa passpor dan ijin ke luar negeri sudah beres. Kini saatnya untuk mengurus visa Australia dan Amerika sekaligus. Saya tidak akan mungkin berangkat kalau tidak mendapatkan kedua visa tersebut. Sempat agak khawatir juga karena kabarnya mendapatkan visa Amerika tidak mudah meski banyak juga kawan yang berkelar kalau namanya ”I Made”, Amerika cenderung tidak mempersulit. Benarkah?
Langkah pertama adalah mencari informasi di internet tentang jenis visa dan persyaratannya. Dari internet juga saya akhirnya tahu alamat email yang bisa dikontak untuk konsultasi.
Visa Amerika
Mengingat visa Amerika yang katanya lebih susah, saya mendahulukan proses pengurusannya. Setelah meneliti di internet dan bertanya ke sana ke mari, saya berhasil menyelesaikan urusan administrasi visa. Sekarang, pengisian formulir dilakuka via internet saja dan kedutaan tidak menerima formulir yang diisi manual. Pengisian formulir dapat dilakukan di website imigrasi Amerika.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan foto. Selain ukurannya yang aneh (5 cm x 5 cm), proporsi antara badan dan kepala juga harus sedemikian rupa. Foto harus menampilkan lebih banyak wajah dibandingkan badan.
Setelah mengisi formulir dan mengirimkannya lewat internet, saya mencetak formulir tersebut dan menelpon kedutaan. FYI, pengurusan visa Amerika harus melalui wawancara dan hanya bisa dilakukan dengan janji (appointment) terlebih dahulu. Menelpon kedutaan Amerika bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Suara mereka profesional dan dingin sekali. Saya tidak akan betah bicara lebih dari satu menit. Langsung, tegas dan tepat ke sasaran. Tidak ada basa-basi. Akirnya saya tahu kalau untuk kasus saya, tidak diperlukan appointment karena saya menggunakan paspor biru, ada rekomendasi Deplu dan untuk kepentingan program UN 🙂
Tanggal 20 Februari saya terbang ke Jakarta, kebetulan juga ada undangan dari Bakosurtanal tentang penerjemahan TALOS. Memasuki Kedutaan Amerika memang tidak mudah. Pemeriksaan sangat ketat dan rinci. Petugas juga dalam beberapa hal tidak hangat. Suaranya cenderung lantang dan tegas. Jika tidak terbiasa dengan situasi begini, terasa sekali suasanya sangat tidak ramah, jauh dari hangat. Tetapi itulah mereka, kita [mungkin] harus menerimanya.
Hal yang umum terjadi pada pelamar juga terjadi pada saya. Foto yang saya bawa ternyata salah, spesifikasinya tidak sesuai dengan yang mereka tetapkan karena dominan badan daripada wajah. Saya diminta untuk sesegera mungkin mendapatkan foto baru sebelum jam 10.30 WIB, dan saat itu sudah jam 10.00 WIB. Dengan segala upaya saya naik bajaj ke kompleks pertokoan di dekat kedutaan dan berfoto polaroid. Rp. 30 ribu harus derelakan dan secepat kilat melesat kembali ke kedutaan.
Bukan persoalan mudah untuk kembali meneruskan urusan yang tadinya tertunda, saya harus melewati proses yang sama dari awal, ngantri lagi, nunggu lagi sementara jarum jam bergerak tanpa bisa dihentikan. Akhirnya saya tiba di loket 6, tempat pengurusan visa ”istimewa” tanpa appointment. Segala sesuatunya beres, persyaratan OK, pembayaran USD 100 dan saya menunggu diwawancarai.
Wawancara bagi pelamar umum berlangsung kolektif dan langsung di loket, tidak di ruangan khusus. Akibatnya, saya yang menunggu giliran bisa mendengar berbagai pertanyaan dan jawaban yang terjadi saat wawancara. Ada perasaan risih mendengar orang ditanya yang kadang-kadang terdengar seperti diinterogasi. Ada yang ditanya berapa uang yang dimiliki dan seberapa sanggup bertahan di Amerika nanti dengan dana tertentu. Ada juga yang secara langsung di’tuduh’ tidak akan bisa hidup di Amerika dengan dana yg disebutkan oleh kandidat. Seorang calon mahasiswa diingatkan dia tidak bisa mengandalkan uang dari kerja paruh waktu selama belajar, misalnya. Ada banyak lagi hal-hal lain yang sepertinya lebih banyak terkait biaya. Saya hanya membayangkan apa yang akan saya jawab jika ditanya semacam itu. Pekerjaan, jumlah uang di rekening, dll.
Giliran saya tiba dan surprise surprise… saya tidak diwawancarai secara kolektif. Loketnya pun berbeda dan orang yang mewawancarai saya pun sangat sopan. Cantik lagi 🙂 ”Sir” begitu dia memanggil saya sambil tersenyum manis. Dia mulai membolak balik aplikasi saya dan bertanya yang sepertinya hanya basa-basi. Dia menanyakan berapa lama nanti kerja di UN lalu tinggal di mana. Intinya seperti ngobrol saja, tidak ada kesan wawancara. Rupanya karena saya diundang oleh UN, urusannya menjadi jauh lebih mudah. Singkat cerita semua beres dan visa pun diberikan saat itu juga. Amerika yang terkenal susah dengan visa-nya ternyata memberikan visa kepada saya dalam waktu yang kurang dari satu jam. Ini luar biasa. Tentu saja paspor tidak bisa saya ambil saat itu karena harus ditempeli lembar visa. ”Your passport will be ready on 23 February 2007, Sir” begitu dia menjelaskan.
Visa Australia
Setelah menyelesaikan visa Amerika saya meluncur ke Jl. Sudirman tempat Australian Visa Application Centre (AVAC) berada. FYI, pengurusan visa Australia tidak lagi melaui Kedutaan Australia tetapi pihak ketiga yaitu AVAC. Sebelumnya saya sudah kosultasi lewat email dan mendapat informasi bahwa visa Australia yang harus saya dapatkan adalah short visit subclass 419. Biaya totalnya Rp. 1,5 juta dibayar tunai.
Mendapatkan visa Australia ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Sebagai alumni ADS saya awalnya merasa akan mudah dan lancar saja, ternyata tidak. Hal pertama adalah dari segi waktu. Petugas AVAC mengatakan waktu pengurusan visa paling cepat 10 hari sejak penyerahan dokumen dan harus mendapat persetujuan dari AusAID karena saya pernah ke Australia dengan dana AusAID. Saya pun pulang dengan harap-harap cemas. Oh ya, saya belum memberikan passpor ke AVAC karena saat ini masih ”ditahan” di kedutaan Amerika.
Saya meluncur menuju Bekasi, tempat Asti dan Lita tinggal. FYI, Asti sudah beberapa lama tinggal di Bekasi karena kerja di WHO, Kuningan. Terpaksa berpisah dulu untuk cita-cita dan cinta 🙂 Dukungan mereka adalah sesuatu yang luar biasa bagi saya. Terima kasih Asti dan Lita. I love you all.
Tanggal 23 Februari saya ke Kedutaan Amerika dan mendapatkan passpor saya yang langsung dibawa ke AVAC. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali menungu. Saya pun terbang ke Jogja, kembali ke tugas lain yang menggunung dan mencoba melupakan urusan visa. Beberapa hari setelahnya saya mendapatkan email dari kedutaan Australia mengatakan aplikasi saya sedang diproses.
Sekitar seminggu kemudian saya mendapat telepon dari AusAID Jakarta. Bu Henny, petugas dari AusAID, ”menginterogasi” saya perihal keberangkatan ke Australia. Intinya, menurut aturan AusAID saya belum boleh ke Australia (LN) karena baru setahun pulang ke tanah air. Berita ini cukup mengejutkan dan tentunya saya harus beragumentasi dengan baik dan bersahaja. Singkat kata (saya akan ceritakan ini nanti), saya akhirnya diijinkan ke Australia dan artinya visa saya disetujui oleh kedutaan karena mendapat dukungan AusAID. Thank God, semua telah beres.
Beberapa hari kemudian saya menerima kiriman passport saya dari AVAC yang telah diberi visa Australia. Saya memang meminta mereka mengirimkan karena saya tidak punya waktu untuk mengambilnya sendiri ke Jakarta. Banyak tugas yang harus diselesaikan sebelum berangkat ke Australia.
Mencari Akomodasi
Seiring pengurusan administrasi, saya juga melakukan pencarian akomodasi di Wollongong. Beruntung ada teman, Dian (BI) yang dulu sekolah di Uni of Wollongong dan kini bertugas di Jakarta. Dengan bantuan dia, akhirnya saya berhasil kontak dengan Mari Mishima, teman Dian yang saat itu masih tinggal di appartemen tempat Dian tinggal dulu. Singkat kata, saya berkomunikasi dengan Mari dan akhirnya setuju bahwa rumah itu akan saya ”take over” dari dia. Saya merasa lega telah menyelesaikan urusan akomodasi sebelum tiba di Australia.
Proses Keberangkatan
Saya pun menghubungi UN tentang perkembangan terakhir soal visa dan pihak UNDESA segera mengeluarkan surat perintah untuk UNDP Jakarta agar mengurus tiket dan allowance bulan pertama saya. Saya dinyatakan harus sudah sampai di Australia tanggal 23 Maret 2007 dengan penerbangan via Bali-Singapura-Sydney. Baru kali ini saya mengalami komunikasi dan kerjasama yang benar-benar virtual. Saya tidak pernah bertemu dengan yang menyeleksi saya, tidak juga dengan koordinator program, bahwa tidak pernah bertemu dengan yang memberikan tiket dan uang untuk saya. Semuanya lewat dunia maya. Teknologi memang luar biasa. Sesekali saja saya menghubungi UNDP Jakarta via telepon. Saya tidak pernah tahu sampai sekarang wajah Pak Andy dan Bu Mira yang memberikan tiket dan uang saku.
Ada satu kabar menarik, ternyata saya harus memiliki rekening dolar untuk menerima gaji bulan pertama saya dalam bentuk US Dollar. Ke mana saya harus meminta tolong? Bank Mandiri tentu saja. Bank yang melayani dengan hati. Mungkin Anda tidak akan percaya kalau saya bisa membuat rekening Mandiri Dollar dalam waktu kurang dari 15 menit dan itu terjadi setelah jam 5 sore ketika bank sudah tutup, bahkan tanpa uang sedolar pun. Mungkin perlu ada cerita lain tentang ini nanti.
Pertengahan Maret saya sudah mendapatkan tiket yang dikirim lewat email dan sejumlah uang yang ditransfer ke rekening saya. Semua telah beres kini dan saatnya berangkat. Tanggal 17 Maret saya meluncur ke Bali, dua hari sebelum Nyepi, sudah sekitar 11 tahun tidak merayakan Nyepi di Bali. Kangen juga rasanya.
Tanggal 21 Maret saya melakukan transfer sejumlah uang dari Mandiri Dollar ke rekening saya di Australia. Oh ya, saya memang diwajibkan membuka rekening di Australia untuk menerima gaji bulanan. Karena saya sudah memiliki rekening waktu sekolah master dulu, saya tidak perlu membuka rekening baru. Artinya juga, saya tinggal mentransfer uang dari Mandiri Dollar ke rekening Australia sehingga tidak perlu membawa uang cash dari Indonesia ke Australia. Tentu akan lebih aman.
Keberangkatan dan Tiba di Sydney
Tanggal 22 Maret 2007 pk. 1.05 siang, pesawat take off dari Bandara Ngurah Rai Bali. Bapak, dan Meme’ melepas dengan senyum. Katanya sudah terbiasa ditinggal anaknya, jadi tidak terlalu sedih he.he.. Sementara itu Asti dan Lita tidak bisa ngantar. Mereka di Bekasi.
Pesawat mendarat di Singapura pada pukul 3 lebih dan sempat bertemu dengan Bli Dewa yang bekerja di sana. Sempat juga mampir ke apartemen beliau dan disuguhi makan siang (menjelang malam). Sangat menyenangkan! Terima kasih Bli Dewa.
Perjalanan dari Singapura ke Sydney ditempuh kurang lebih 7-8 jam dan keesokan harinya mendarat di Bandara Sydney. Dijemput oleh Bli Sujata dan Bli Sutil. Sempat juga menghabiskan beberapa hari pertama di Sydney, sebelum akhirnya settling down di Wollongong dan memulai sesuatu yang serius: riset. Malam ini, sambil memandang ke luar jendela menyaksikan gemerlap lampu di kejauhan, saya ingin berbagi kepada Anda. Semoga ada manfaatnya.
Jika ada yang serius ingin mengikuti program ini, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya.
Wollongong, malam seribu bintang, 2 April 2007
Nanti inshaallah pas ada kesempatan berikutnya difoto lagi di Washington, masuk yah, Mas Andi, di dalamnya Gedung Putih, bukan di luarnya. Difoto bareng dengan siapa pun penguasa Gedung Putih pada saat itu. 😉
Subhan Zein
Om awighnam astu Mas Subhan 🙂
malam, permisi Pak,
saya termasuk follower situs bapak, dan selalu mendapat update tulisan2 bapak di email yang sering muncul hampir tiap hari 🙂
kalau boleh saya tahu, pak Andi tipe orang yang multi-tasking yah? 🙂
Maaf jika menimbulkan gangguan ya Ratih 🙂
Multi-tasking? Saya kira kita semua begitu bukan? 🙂 Kita biasa nonton sambil makan, bikin PR sambil twitteran. Saya kira sama saja, saya juga gitu.
saya rasa tidak semua orang begitu Pak,, 🙂 meskipun tidak tahu pasti,
saya multi-tasking; mudah bosann akan satu aktivitas, namun terkadang semua pekerjaan itu jadi tidak tuntas2..
setidaknya dari kisah bapak saya melihat multi-tasking tidak selamanya buruk, 🙂
Begitu ya? 🙂
Ada juga orang yg multi-tasking bukan karena bosan tetapi karena wajib. Setiap orang punya peran lebih dari satu dalam hidup. Mungkin itu sebabnya. Bagi saya, multi-tasking bukan lagi pilihan tapi kewajiban 🙂
malam Pak, permisi,
saya termasuk follower situs bapak di email yang sellau update dengan tulisan hampir tiap hari,, 🙂
kalau boleh saya tahu, pak Andi tipe orang yang multi-tasking ya…?
Saya senang melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Yg jelas, menulis kadang jadi ‘pelarian’. Tulisan saya juga tidak selalu berkualitas baik 😀 Makasih ya.