Suatu siang di Jogja
“Gila panas banget ya!?” Dewi mengibas-ngibaskan tangannya kegerahan.
“Ya, aku juga merasa gerah banget! Ndak tahan aku” Mera menimpali.
“sudah panas, lembab lagi. Jadinya keringetan gini. Aku pengen cepet-cepet balik jadinya.”
“Kapan mau balik ke Melbourne?”
“Tadinya bulan depan tapi kayaknya aku mau majukan aja tiketnya. Ndak kuat!”
“Aku juga balik minggu depan. Mending liburan di Christchurch aja, adem.”
“Ya bener. Di sini bikin stress aja. Belum lagi orang-orangnya pada ndak bener semua!”
“Kenapa?”
“Tadi aja aku habis bentak orang.”
“Kenapa memangnya?”
“Dia seenaknya saja berdiri di lorong sempit menuju toilet itu. Aku tungguin ndak ngeh juga. Aku kan ndak bisa lewat jadinya. Aku teriakin saja. Dianya malah meringis saja sambil bilang maaf-maaf, cengar-cengir.”
“Terus kamu marahin dia?”
“Ndak ada gunanya Wi. Dari tampangnya sih kelihatan ndak berpendidikan. Mana ngerti dia diajak bicara hak dan personal space. Aku tinggal aja, daripada sakit hati.”
“Ya mending gitu sih, daripada kita malah ikut-ikutan kaya’ orang ndak sekolahan.”
“Orang-orang sini ndak peka sama orang lain ya. Heran aku. Ini memang hal kecil tapi ini menunjukkan sikap mental yang rusak. Mental yang tidak peduli pada manusia di sekitarnya yang juga punya hak sama.”
“Ya aku juga sering ketemu yang model begini. Bikin kesel. Kerasa banget bedanya dengan di luar negeri. Di sana orangnya sangat peka terhadap hal-hal begini. Walaupun katanya individualistis, mereka tidak akan melanggar hak orang lain. Kapan ya Indonesia bisa begitu?!”
“Itulah! Aku jadi tambah pengen cepet balik aja ke Melbourne. Hidup lebih tenang.”
Dewi dan Mera hanyut dalam percakapan seru. Waktu berlalu begitu cepat.
Sementara itu di sebuah rumah di Jogja.
“Papa tadi shocked berat di mall”
“Kenapa Pa?”
“Ada orang tiba-tiba membentak papa dari belakang pas lagi nungguin Putri pipis di toilet.”
“Putri pipis di mana memangnya?”
“Di toilet perempuan. Jadi papa ga bisa masuk.”
“Lo, kan biasanya papa ajak ke toilet laki-laki.”
“Pas penuh waktu itu. Dia sudah kebelet. Lagipula biar dia belajar, maksud papa gitu. Pas lagi nunggu di luar dengan harap-harap cemas, ada yang bentak. Kaget banget. Papa langsung reflek menyingkir, rupanya ga sengaja papa menghalangi dia yang mau ke toilet juga.”
“Dia ndak bilang baik-baik?”
“Itulah. Kalau saja dia bilang permisi, pasti papa persilakan. Papa juga salah sih memang, berdiri di lorong sempit gitu.”
“Kok ndak sopan banget sih dia orangnya?”
“Papa cuma senyum saja berusaha minta maaf padahal dalam hati kesel juga. Dia malah pasang tampang kecewa berat lalu melengos pergi. Sebenernya papa juga ndak terima dan mau negur kelakuannya itu, tapi malas ah. Dari sikapnya sih kelihatan tidak berpendidikan. Orang begitu paling ndak bisa diajak bicara baik-baik. Yang ada malah bisa bertengkar di tempat umum. Bisa kacau nanti!”
“Ya lah, rugi Pa melayani orang-orang ndak berwawasan gitu.”
“Papa jadi pengen cepat-cepat balik ke Sydney nih. Sikap orang-orang di sini bikin ndak betah. Kita ajukan tiketnya ya Ma.”
“Ya boleh. Mama juga sudah ndak tahan nih. Kegerahan terus di sini. Mana keringatan lagi.”
“Papa masih kesel sama cewek itu. Di Sydney tidak pernah ada kejadian begitu. Kalau kita menghalangi jalan, orang akan diam atau mengingatkan baik-baik. Begitu kita minta maaf, pasti mereka bilang “you’re all right” sambil senyum. Tapi di sini, ampun dah. Kampungan sekali. Kapan Indonesia bisa membaik ya?!”
“Sudahlah Pa. Kita yang harus ngalah. Orang-orang tak berpendidikan gitu tidak usah diladeni, bikin sakit hati saja.”
“Ya sih. Papa sudah ndak sabar kembali ke Sydney lagi. Hidup lebih damai.
Percakapan mereka masih berlangusung, sementara Jogja masih seperti semula: bergairah dan ramai.
Ha, now this is brilliant! 🙂 See, being ‘good’ isn’t appealing, is it? I’m so happy that you take it to the next level and carve your throne of brilliance. Well done! 🙂
Subhan Zein
Thanks Subhan. You are always full of encouragement. Your writing is better, I guess!
menohok pak 🙂
Begitukah? 🙂
iya. kadang manusia sering tuduh sana sini sama orang lain, padahal bisa jadi itu hanya karena ga ada komunikasi kayak cerita di atas. terlanjur buruk sangka duluan 🙂
Betul demikian mbak. Saya belajar senantiasa untuk tidak demikian. Semoga bisa.
Pada dasarnya, sifat manusia cenderung ‘karepe Mbilung’. Merasa paling benar dan paling pintar. Bersyukurlah bagi orang2 yg bisa menekan si Mbilung di dalam dirinya!
Leres Kang Mas…
sedih, krn banyak banget yg spt itu, padahal hidupnya lebih byk dihabiskan di Indonesia drpd di LN hehe
Betul mbak 🙂
artikel menarik….. saat baru datang dari Aussi kita seringkali mengalami gegar budaya… gegar budaya kita sendiri heheheheheh
Betul 😉
It just made my day my friend 🙂 hahaha…
Am glad, mate 🙂