Bola


Made Kondang ragu-ragu mengangkat tangannya dan berteriak. Ada yang tidak pas karena tidak biasanya dia begini, bersemangat dan berdebar-debar menyaksikan bola tergelincir di lapangan hijau dan mengungsi dari kaki ke kaki. Ini jelas bukan dirinya. Bukan Kondang yang dikenal banyak orang kalau lelaki itu lalu menjadi orang biasa yang berteriak, histeris dan berdebar karena sebutir bola.

Namun bola itu kini istimewa. Istimewa karena dia menjadi satu-satunya pusaka kebersamaan desa pekraman yang lama ditinggalkan Kondang. Saat kelihan banjar, nak lingsir, tukang angon dan penyiang gulma sudah kehilangan dan tidak bisa menjadi teladan, bola itu seperti malaikat, datang tiba-tiba dan menyatukan.

Desa pekraman Kondang kehilangan prasasti yang mengikat perasaan karena kelompok Shanti, regu nyuluh lindung dan bahkan sekaa mangku yang semestinya sakral kini kasak kusuk berebut kemasyuran. Rakyat paling jelata seperti Kondangpun kehilangan pijakan. Tak ada guru yang bisa digugu dan ditiru karena lembar-lembar uang telah mengganti kehormatan untuk bertukar dengan kenikmatan yang najis. Celakanya, najis pun kini menjadi suci. Tak mudah lagi membedakan yang maya dan yang niscaya. Itulah sebabnya mengapa Kondang mengkultuskan bola, menaruh harap terlalu tinggi dan tak sadar dengan kenyataan bahwa bola adalah bulatan tak bernyawa.

Kaki-kaki itu, tanpa Kondang sadari, telah dijadikan tumpuan ditengah krisis pujaan dan charisma pemersatu. Lesatan badan-badan yang bercengkrama di lapangan hijau seakan menjadi bintang penerang nestapa yang telah terlalu lama sirna. Gerimis hujan yang bersenyawa dengan keringat itu seperti air suci yang menyejahterakan. Peluit panjang dan pendek yang membahana itu seperi ayat-ayat hukum yang memang telah lama terhinakan di Desa Pekramannya. Kondang, sang jelata yang terseret arus kecenderungan, tak luput dari goda ini. Kondang dan kerabatnya terlanjur mematri beban pada kaki, tangan dan badan yang menari di lapangan hijau itu. Secara berlebihan telah berharap bahwa sebutir bola itu akan mengangkat martabat Desa Pekramannya. Kondang telah berharap pada benda yang bahkan tak mampu mengenal dirinya di sebuah cermin yang paling berkilat sekalipun.

Mestinya Kondang tahu, Desa Pekramannya tak pernah berserah diri pada sebutir bola. Tak juga mengemis kehormatan pada kaki-kaki dan lesatan badan di tengah gerimis itu. Sejarah tak pernah mengajarkan bahwa kewibawaannya hanya ditentukan oleh tubuh-tubuh yang berdansa itu. Kehampaan suri tauladan dan kegamangan para pamong yang tak lagi ngemong lah yang telah menjadikan Kondang dan teman-temannya bahkan berharap secara berlebih pada sebutir bola. Mestinya Kondang masih ingat, tarian di lapangan itu adalah demi tarian itu sendiri, demi kemerdekaan diri pribadi pemilik kaki dan badan itu. Seperti kata seorang kawan, keutamaan perhelatan itu adalah keceriaan para pelakunya. Bola, kata kawan ini, tak pernah sesungguhnya menjadi keutamaan dan penentu kewibawaan sebuah Desa Pekraman. Kondang dan teman-temannya semestinya tahu, para pelaku itu, baik atau buruk, menari untuk kemerdekaan dan keceriaannya sendiri yang padanya tidak semestinya ditumpahkan caci dan maki. Jika permainan itu membawa kemenangan maka dia adalah pengihas keceriaan untuk menjadikan tarian semakin padu. Kehormatan sebuah negeri, terlalu sakral jika dibebankan hanya pada sebelas pasang kaki yang bercumbu dengan angin, apalagi ketika di pinggir lapangan hijau berkerumun orang-orang seperti Kondang yang mudah memaki karena sebuah harapan ringkih yang miris tergerus gerimis.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

One thought on “Bola”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: