Saya memperhatikan dengan seksama anak muda belasan tahun di depan saya yang tekun mencuci motor saya yang kumalnya sudah berlebihan. Beginilah enaknya hidup di Indonesia, seseorang yang tidak kaya sekalipun bisa memerintahkan orang lain untuk mencucikan motornya hanya dengan delapan rubu rupiah saja. Tinggal menunggu sambil baca koran, dalam waktu beberapa menit saja motor sudah kembali kinclong. Meski begitu, cerita ini bukanlah tentang motor, apalagi tentang uang. Sama sekali bukan.
Saya perhatikan anak muda ini dengan baik, dia tekun sekali. Disikatnya pelek dan bahkan hampir setiap jari-jari besi dengan sikat gigi. Tentu saja sikat gigi itu rupanya sikat gigi bekas yang sudah tak jelas bentuknya. Telaten sekali dia melakukan pekerjaannya, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Tak sadar rupanya dia, beberapa meter darinya ada sepasang mata memperhatikan penuh selidik. Saya memandang dengan kesungguhan kerja anak muda itu. Orang-orang pintar menyebut ni sebagai ‘etos kerja yang baik’.
Sudah agak lama saya tidak menyuruh orang untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Kini saya meresa perlu untuk memperhatikannya. Saat tahap pekerjaan mendekati selesai, saya mendekatinya dan mengajaknya bercakap-cakap.
“Dari mana Dik” saya tanya dengan keyakinan bahwa dia lebih muda dari saya.
“Dari Karawang, Pak.” jawabnya sopan sambil tersenyum tanpa sedikitpun menghentikan pekerjaannya. Dia tetap tekun mengeringkan sisa-sisa air di sayap dan sadel motor saya.
“Nggak sekolah ya?” demikian saya tanya karena saat itu baru jam 10 pagi.
“Nggak Pak, lulus SMP doang. Gak bisa sekolah lagi.”
“Kenapa?” saya bertanya dan sepertinya jawabannya sudah cukup jelas.
“Ekonomi Pak. Kasihan orang tua. Saya sih minat, tapi sepertinya nggak mungkin” Sejujurnya ini bukan cerita baru di tanah air saya. Setiap hari, cerita semacam ini bisa didengar dan dibaca. Tidak sedikit juga orang yang mengeksploitasi kisah muram ini menjadi uang. Tapi kali ini ada perasaan lain karena saya mendengarnya sendiri dari mulut pemuda tanggung ini. Kemiskinan dan kegagalan meraih pendidikan karena alasan uang dipertontonkan dengan jelas di depan hidung saya.
Sambil tetap sigap menyapukan lapnya ke sadel motor saya, wajah anak muda ini terlihat agak murung. Atau mungkin itu hanya perasaan saya saja. Saya tidak melanjutkan bertanya, sampai dia menyelesaikan pekerjaannya. Diapun berjongkok di sebelah motor saya sambil sekali dua kali tangannya mengibas butiran-butiran air yang masih tercecer.
“Gajimu berapa di sini?”
“Tiga ratus sebulan Pak. Saya juga dapat dua ribu tiap motor. Lumayan lah”
“Cukup nggak segitu untuk hidup di sini?”
“Cukup nggak cukup Pak. Dicukup-cukupin aja.”
“Kamu tinggal di sini kan? Jadi nggak usah kos lagi to?”
“Ya Pak. Cuma perlu uang makan aja. Alhamdulillah, selama dua bulan saya kerja, uang makan cukup dari uang harian nyuci motor.”
“Oh ya?”
“Ya, seringnya saya malah bisa nyisakan uang, paling nggak delapan ribu tiap hari dari nyuci. Jadi, gaji alhamdulillah utuh Pak. Lumayan bisa dibawa ke kampung.”
Saya merasa beruntung sebagai manusia. Meskipun dengan gaji PNS yang tidak jauh lebih tinggi dari pemuda itu, rasanya saya sangat prihatin dengan keadaannya. Yang membuat saya tersentuh adalah rasa syukurnya yang sangat besar dan selalu melihat kebaikan dari apa yang dicapainya. Lagi-lagi, kisah ini tidaklah luar biasa di tanah Indonesia. Kebetulan saja saya sedang ingin belajar bersyukur lebih banyak dari hal-hal yang baru saja terjadi pada keluarga kecil saya.
Saya hanyalah seorang pejalan kaki yang tidak punya kuasa. Saya tidak bisa marafalkan mantra-mantra yang mengubah kehidupan pemuda ini. Sayapun bukan pesulap yang dapat membuatnya tiba-tiba bisa bersekolah, meskipun sejujurnya keinginan menjadi pesulap sangatlah besar di saat-saat seperti itu. Saya juga tahu, jika saja saya memberi sejumlah uang kepada pemuda ini, pastilah uang itu tidak akan sanggup mengubah hidupnya. Uang yang mampu saya berikan tentu jauh dari cukup untuknya meraih ijasah SMA. Saya juga tahu bahwa memberikan kail lebih mulia dibandingkan memberi ikan. Singkatnya, saya sadari betul, tidak bisa melakukan hal-hal ideal seperti yang seharusnya dilakukan oleh seorang pahlawan. Saya hanya bisa mengamati dan mencatat saja apa yang terjadi, seraya memetik pelajaran.
“Ini buat kamu.” Saya menyodorkan selembar uang warna biru tua. Pemuda itu terperangah bukan buatan, terkejut karena tidak menyangka.
“Masya Aallah, kebanyakan Pak.” Katanya seraya menyodorkan kembali uang itu.
“Ambillah.” Saya menegaskan sambil menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tidak tahu harus berbuat apa. Sementara saya melaju pergi mengendarai motor yang kini sudah berkilat-kilat. Saya pergi dengan kebersihan hasil karya anak muda yang tekun dan penuh syukur. Meskipun saya tahu lembaran biru itu tidak akan mengantarkannya sampai jauh dalam perjalanan hidupnya, setidaknya saya ingin dia tahu bahwa keajaiban kecil bisa datang jika seseorang mengerjakan tugasnya dengan baik. Seperti Thomas Jefferson pernah berujar, ‘semakin tekun saya bekerja, semakin besar keberuntungan yang berpihak pada saya.’
Nah, beginilah kalau ketua KMHD bertemu soulmate-nya, cerita yang menginspirasipun akan mengalir.
petikan pelajaran dari keadaan yang sangat sderhana tapi menggugah inspirasi dan bisa memberikan motivasi..
Pak,
Saya ampe terharu baca posting ini…