Menyimak Kembali Gerakan Mahasiswa Indonesia


Catatan tentang KIPI dan Kongress PPIA 2010

I Made Andi Arsana*

Dalam pembicaraan diselingi kelakar di sebuah warung sederhana di Jogja tahun 1998, seorang kawan mengatakan “kelak kita akan membuka buku sejarah, dan mendapati salah satu bab-nya berjudul ‘Kerusuhan di Gejayan’. Dalam bagian lain, akan ada satu pembahasan penting tentang Angkatan ’98, disejajarkan namanya dengan Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. Namaku akan terpampang di sana, sebagai salah satu pemimpin Long March dari Grha Sabha Pramana ke Alun-Alun lalu bergerak di sepanjang Jalan Malioboro. Nama-nama kita akan tercatat sebagai generasi yang menumbangkan orde baru.” Sementara itu, saya dan beberapa kawan lain tersenyum kecil menganggap itu sebuah kelucuan biasa sambil menenggak teh manis, menyeka keringat bercucuran setelah seharian melakukan demonstrasi.

Demikianlah potret gerakan mahasiswa di penghujung dekade ‘90an yang akhirnya menumbangkan sebuah rejim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun. Dalam keseriusan itu ada kelakar dan dalam semangat gerakan, ada kisah-kisah kecil yang tak selalu serius. Saya merasa menjadi mahasiswa yang lengkap seutuhnya karena telah menjalankan apa yang yang menjadi idealisasi sebagai seorang mahasiswa: demonstrasi, melawan kesewenang-wenangan penguasa. Demikianlah setidaknya ketika darah muda bergelora begitu rupa, meskipun para orang tua mungkin mempertanyakan banyak hal yang kami lakukan.

Pertengahan Juli 2010 di Melbourne, saya seperti dilambungkan kembali pada masa-masa ‘kejayaan’ sebagai mahasiswa sekitar 12 tahun silam. Waktu itu, kami bahkan dengan percaya diri meneriakkan bahwa mahasiswa bisa saja takut pada dosen, dosen takut pada ketua jurusan, ketua jurusan takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada mentri dan mentri takut pada presiden tapi presiden sangatlah takut pada mahasiswa. Oleh karena itulah kami merasa sedemikian hebatnya. Hal ini bisa jadi nampak arogan. Meski demikian, dalam perspektif yang positif keyakinan akan kehebatan tentu diperlukan karena denganya seseorang bisa menempatkan beban dan tanggung jawab yang tepat kadarnya di pundak masing-masing. Adalah salah jika seseorang hanya menjinjung beberapa butir kerikil sementara sesungguhnya dia adalah seorang yang layak memanggul batu besar. Menyadari kekuatan adalah sebuah identifikasi diri untuk kemudian mengambil tanggung jawab yang tepat dan bermakna. Demikianlah saya maknai ‘kesombongan’ mahasiswa di masa itu, saat reformasi bergelora 12 tahun lalu.

Saya bertemu dengan anak-anak muda bersemangat di Melbourne dalam acara Konferensi Iinternasional Pelajar Indonesia (KIPI) dan Kongress Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia 2010. Satu yang menjadi catatan penting bagi saya pribadi adalah terjadinya kolaborasi yang sangat manis antara mereka yang muda dengan mereka yang sudah bisa dibilang tidak muda lagi. Antara mereka yang sedang belajar S1 dengan mereka yang menempuh pendidikan pascasarjana. Sudah cukup lama saya melihat kenyataan bahwa mereka yang belajar di Australia dengan dana sendiri, berada di lingkaran dan kelas yang berbeda dengan mereka yang belajar dengan beasiswa, misalnya. Di banyak tempat, dua kelompok ini sangat sulit berkolaborasi, meskipun keduanya adalah kelompok yang baik. Tidak jarang ada pra-penghakiman dalam pergaulan dua kelompok ini sehingga secara sadar ataupun tidak, jarak terbentuk dan jurang perbedaan menganga lebar. Meskipun tidak bermusuhan, kehangatan interaksi tidak mudah dijumpai. Setelah mengamati agak lama, saya hampir percaya bahwa itu adalah sebuah keniscayaan yang memang demikian adanya. Tak ada niat untuk menyalahkan siapapun, sekaligus tidak tergerak untuk melakukan sesuatu yang radikal untuk perubahan.

Di Melbourne, kepercayaan saya ini tumbang. Interaksi yang sangat cantik antara yang generasi yang berbeda, terlihat dalam KIPI, misalnya. Prof. Ainun Na’im, salah seorang pembicara yang merupakan wakil rektor senior UGM bahkan menyampaikan kekagumannya pada kenyataan itu. Seperti halnya saya, beliau menyampaikan apresiasinya pada anak-anak muda yang bahu membahu bekerja sama. Yang muda sigap bekerja menerjemahkan gagasan yang lebih senior dalam aktivitas-aktivitas praktis tanpa menjadi terintimidasi. Sementara yang senior menempatkan diri dengan baik, memberi perintah yang disertai apresiasi tanpa menjadi arogan. Interaksi yang baik ini adalah perpaduan dari terpenuhinya syarat yang perlu dan cukup dari kedua belah pihak.

Saat Kongres PPIA tanggal 19 Juli 2010, saya mengamati munculnya talenta-talenta baru yang memberi harapan. Tidak saja harapan bagi sebuah organisasi yang bernama PPIA tetapi, terlebih adalah harapan bagi sebuah peradaban. Orang boleh mencibir karena untaian kalimat ini terdengar berlebihan tetapi kita bukanlah generasi dengan ingatan pendek. Bahwa saat sebuah rejim otoriter nan digdaya berkuasa, akhir kisahnya disebabkan oleh gelora idealisme kaum muda yang menamakan dirinya mahasiswa. Kita mungkin tidak sedang dihadapkan pada rejim yang harus ditumbangkan, tidak juga represi militer yang mengancam jiwa dengan popor senapan namun tantangan itu rasanya tidak lebih sederhana meski tak sama. Mahasiswa Indonesia dari dulu dan tetap hingga kini dihadapkan pada satu pertanyaan besar: Apa yang bisa saya lakukan untuk peradaban ini?

Saat M. Subhan Zein dan Dirgayuza Setiawan menjadi calon tetap Ketua Umum PPIA 2010-2011, proses politik dan demokrasi nyata terasa dan terlihat. Bagi saya pribadi, dua anak muda ini berbeda, meskipun ada benang merah yang mengaitkan keduanya. Sebagai salah satu pimpinan sidang, saya mengamati dari dekat proses demokrasi itu dan menikmati setiap tahapnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua peserta kongres mengenal kedua calon dengan kadar yang sama. Sementara teman-teman dari Victoria pasti mengenal Yuza dengan baik, mereka mungkin tidak mengetahui banyak hal tentang Subhan. Sebaliknya, teman-teman dari ACT tentu memiliki pengetahuan yang jauh lebih baik terhadap Subhan dibandingkan pemahamannya terhadap Yuza. Di pihak lain, ada peserta kongress yang tidak mengenal keduanya dengan cukup baik. Sebagian dari mereka mengandalkan interaksi dengan keduanya selama KIPI dan ada juga yang bahkan baru melihat keduanya saat kongres berlangsung. Demikianlah kenyataannya, dalam memilih seorang pemimpin sekelas presiden PPIA pun, seringkali tak cukup waktu untuk mengenal lebih dekat. Itulah fenomena demokrasi yang terjadi di banyak tempat.

Untuk menyediakan kesempatan saling mengenal, kampanye pun diadakan. Masing-masing kandidat diminta memaparkan visi dan misinya selama 5 menit yang dipergunakan dengan sangat optimal oleh keduanya. Setelah itu dilakukan tanya jawab, layaknya dalam kampanye pemilihan seorang pemimpin yang penting. Ironisnya, waktu menjadi salah satu faktor penting yang tidak selalu mendukung. Beberapa tahap harus dilakukan agak tergesa karena waktu berlalu begitu cepatnya. Ini menjadi catatan khusus karena sesungguhnya itu terjadi karena ketidakmampuan kongres dalam mematuhi jadwal yang telah ditetapkan di awal. Sebagai salah satu pimpinan sidang, saya turut bertanggung jawab atas kejadian ini.

Saat beberapa pihak menginginkan proses berjalan cepat, ada pihak lain yang merasa proses harus dibiarkan berjalan natural. Bagi kelompok kedua, kealotan diskusi dan debat adalah salah satu bentuk paling nyata dari demokrasi untuk memilih yang terbaik. Tentu bisa dipahami bahwa dengan membiarkan peserta kongres untuk berdiskusi secara bebas dan tidak dibatasi waktu, akan lebih banyak informasi yang tergali terkait kedua kandidat. Harapannya, ada jaminan bahwa calon pemilih akan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang memadai (informed decission). Dalam perkembangan diskusi, keinginan untuk melakukan musyawarah mufakat dalam pemilihan Ketua PPIA sempat terlontar. Hal ini tentu positif sesuai dengan prinsip dasar pengambilan keputusan yang ideal di Indonesia. Meski demikian, kepentingan teknis terkait waktu yang berhubungan erat dengan jadwal penerbangan dan kepulangan peserta tentu adalah hal yang juga penting dipertimbangkan. Pergesekan keinginan ideal dengan kepentingan pragmatis tidaklah mudah dicari jalan keluarnya karena keduanya disertai alasan yang tidak bisa dikesampingkan. Di tengah suasana demokrasi yang kian menghangat, toh keputusan tetap harus diambil. Di saat itulah pimpinan sidang memberikan kontribusi yang semestinya diberikan: memberikan jalan tengah.

Saya masih ingat ketika mengajak peserta kongres untuk menyadari satu hal bahwa situasi yang terjadi tidak memungkinkan bagi kongres untuk memilih Ketua PPIA dengan cara mufakat/aklamasi. Perbedaan pandangan jelas terlihat dan proses demokrasi berjalan sedemikian nyata sehingga semua orang harus membuka diri terhadap opsi pemungutan suara (voting). Melalui diskusi penting itu, peserta kongres bersepakat bahwa voting adalah jalan yang terbaik dalam situasi itu. Meski demikian, untuk mengakomodasi kepentingan ideal bahwa calon pemilih wajib mengetahui informasi lebih jauh tentang kandidat, waktu tetap diberikan kepada peserta kongres untuk berdiskusi dan bermusyawarah. Beberapa peserta muncul dengan informasi penting terkait masing-masing kandidat yang wajib diketahui calon pemilih. Tentu saja masing-masing pendukung menyampaikan kelebihan masing-masing kandidat, tanpa berkomentar negatif tentang kandidat lainnya. Proses berlangsung cukup lama, meskipun beberapa orang berpendapat bahwa waktu diskusi itu seharusnya lebih panjang. Cukup jelas terlihat salah satu kandidat memiliki basis pendukung yang lebih kentara. Hal ini menunjukkan persiapan yang baik dan konsolidasi yang terencana. Meski demikian, kedewasaan para pendukung ini yang kemudian menyepakati dihentikannya diskusi adalah bentuk penghargaan atas demokrasi yang patut diapresiasi. Meski ada beberapa yang mungkin belum merasa cukup dalam berdiskusi, setiap orang menghargai apa yang ditetapkan bersama dan akhirnya proses dilanjutkan dengan pemungutan suara.

Proses pemungutan suara berlangsung tertib dikawal dengan ketat oleh pimpinan sidang. Ada 28 suara sah yang akan diperebutkan oleh masing-masing kandidat dari tujuh cabang, satu suara pusat dan 20 suara ranting. Penghitungan suara adalah tahap yang paling menegangkan. Proses itu dipandu oleh salah satu pimpinan sidang dan disaksikan oleh dua peserta sidang. Dari awal, kedua kandidat ini memang berimbang dalam perolehan suara. Kejar mengejar jumlah suara terjadi sangat ketat dan tidak pernah sekalipun satu kandidat meninggalkan kandidat lain terlalu jauh. Di detik-detik terakhir penghitungan suara, terjadilah sesuatu yang sangat jarang terjadi: kedua kandidat memperoleh jumlah suara yang sama, masing-masing 14 suara. Entah apa maknanya, hampir semua peserta kongres bertepuk tangan dan berteriak histeris. Teriakan paling keras tentu saja berasal dari teman-teman Victoria yang memang mendominasi secara jumlah.

Kongres memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada kedua kandidat melakukan negosiasi dalam sebuah ruangan terpisah. Sementara itu diputuskan bahwa kongres akan mengikuti keputusan kedua kandidat. Meski demikian, jika keduanya tidak berhasil memperoleh kata sepakat maka akan diadakan pemilihan ulang. Ruangan kongres menjadi tegang untuk beberapa saat. Para pendukung masing-masing melakukan diskusi yang serius dan ada juga beberapa yang melakukan diskusi lintas negara bagian dan nampaknya juga lintas pendukung. Tidak jelas apa yang terjadi karena diskusi terjadi secara tertutup dan memang tidak dikendalikan oleh pimpinan sidang.

Setelah beberapa menit menunggu dalam ketegangan dan ketidakpastian, sidang dibuka kembali karena kandidat nampaknya sudah kembali ke ruang sidang. Yuza mengambil kesempatan pertama untuk menyampaikan pandangannya. Sementara itu, peserta sidang belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan Yuza karena memang belum pernah disampaikan atau didiskusikan dengan siapapun di ruangan itu. Yuza tampil sangat baik dengan berbagai pandangan positif. Energinya sebagai anak muda dan semangatnya untuk berbuat sesuatu bagi PPIA disampaikan dengan tegas dan lugas. Yuza menyampaikan satu hal menarik terkait distribusi perolehan suara. Yuza menyadari bahwa 10 dari 14 suara yang diperolehnya berasal dari Victoria dan berarti hanya 4 suara yang berasal dari negara bagian lain. Sementara itu, Subhan yang berasal dari ACT dengan dukungan hanya 3 orang, berhasil menambah 11 suara dari negara bagian lain. Melihat kenyataan ini, dapat disimpulkan suara pendukung Subhan terdistribusi lebih baik. Dalam hal tertentu, ini bisa diartikan bahwa legitimasi untuk Subhan berasal dari lebih banyak negara bagian. Hal inilah yang mendasari Yuza untuk kemudian mengambil keputusan penting, dia bersedia menjadi wakil ketua PPIA periode 2010-2011. Bergemuruhlah tepuk tangan peserta kongres. Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi keputusan Yuza itu belum diamini oleh semua peserta kongres, terutama pendukungnya, namun sekali lagi kedewasaan semua pihak sangat terasa. Tidak ada gejolak, tidak ada protes yang tidak perlu dan semuanya melewati proses itu dengan tenang. Tidak hanya kandidat yang telah belajar banyak dalam proses demokrasi itu, pimpinan sidang dan peserta juga telah mencatat pelajaran dari proses yang dramatis itu.

Dengan demikian M. Subhan Zein terpilih menjadi Ketua PPIA Periode 2010-2011 dengan proses pemilihan yang demokratis dan penuh pembelajaran. Saya pribadi menyimak interaksi keduanya setelah proses pemilihan dan merasa lega dengan kedewasaan masing-masing. Yuza yang ’mengalah’ menunjukkan semangat yang tetap sama untuk berbuat bagi PPIA. Sementara Subhan yang diberi kesempatan, menunjukkan respek dan niat baik untuk bekerja sama. Dalam proses demokrasi yang alot, tidak ada yang lebih baik dari kebesaran hati menerima perbedaan dan keteguhan untuk mendukung mereka yang terpilih. Melihat proses dan hasil pemilihan ketua PPIA itu, rasanya saya boleh meyakini kembali besarnya nama yang disandang oleh Mahasiswa Indonesia. Bahwa kelakar teman saya yang melihat namanya tercetak dalam buku sejarah bukanlah sekedar kelakar. Nama anak-anak muda, mahasiswa Indonesia itu, sekali lagi akan menunjukkan kelayakannya untuk dicatat dengan kehormatan dalam sejarah sebuah bangsa bernama Indonesia.

Siapakah Ketua PPIA selanjutnya?

*Mantan Ketua PPIA Ranting University of Wollongong, Anggota Panitia Pengarah KIPI 2010, salah satu Pimpinan Sidang Kongres PPIA 2010

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

12 thoughts on “Menyimak Kembali Gerakan Mahasiswa Indonesia”

  1. Kompas masa kini pun kalah liputannya (apalagi yang versi online) ….
    Serasa ikut berada di sana…
    Thanks for sharing, Bli.
    Ada gak ya kisah demikian terjadi pada proses pilpres ato pilkada 😉

  2. Demokratis mengedepankan aspirasi, mengajak serta semua anggota/pihak untuk mengutarakan ide dan bersama mengakumulasikan harapan bersama untuk pencapaian bersama serta meminimalkan otorisasi sebagai kedewasaan seorang pemimpin yg baik.

  3. saya sejak dulu membayangkan, bahwa kehidupan mahasiswa2 indonesia di luar negeri adalah potret mini kehidupan Indonesia di masa mendatang. dan proses demokrasi dalam Student Government Systemnya, seperti dlm cerita Pak Andi, adalah potret demokrasi Indonesia masa depan!

    Bravo tuk teman2 PPIA!
    And thanks for this inspiring story^_^

  4. tulisan ini mengingatkan saya pada perjuangan di bandung selama 7 tahun. Membangun gerakan mahasiswa tidak mudah, apalagi di tengah kota yang diisi dengan kehidupan yang sangat hedonis..corak ekonomi yang sangat kapitalis membuat mahasiswa tak dapat merasakan langsung apa yang dirasakan oleh para buruh tani, krn kehidupan sehari-hari mereka sangat tercukupi. tetapi melalui gerakan mahasiswa kita mulai memberikan wacana yang dapat membuka pikiran para mahasiswa atas apa yang sedang terjadi hari ini, tidak hanya berada di dalam kampus saja, tapi turun ke jalan untuk menyuarakan dan menyampaikan apa yang terjadi kepada semua masyarakat dan mengajak untuk bergerak bersama. isu struktural menjadi penting untuk diangkat.

  5. kedewasaan berdemokrasi adalah poin penting, dan kemauan keras untuk berbuat sesuatu bagi organisasi adalah poin penting lainnya. Semoga proses yang teman2 PPIA telah lewati menjadi pembelajaran bagi organisasi lainnya di negeri ini.
    Salute..

  6. Bagus bli tulisannya. Jd kangen bgt masa2 aktif di PPIA dan studi di Australi… Hebat PPIA makin tahun berubah jd makin baik.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?