Para Sahabat


Noisy Mynah – Newcastle

Bocah itu berlari sekencang-kencangnya, keringatnya bercucuran membasahi baju seragam SD putih merah yang sudah lusuh. Di kepalanya bertengger sehelai topi berlambang Tut Wuri Handayani, lusuh tak terkira. Sepatu hitamnya tak kalah mengenaskan, berdebu dan sedikit camping.

Dia mendapati apit surang rumahnya dan mulai mendesis. Sejurus kemudian melompatlah seekor tupai mungil dari balik rerimbunan kembang kertas. Mahkluk kecil itu berlari dan memanjat kaki sang bocah, mencengkramkan kuku-kukunya di kaos kaki, lalu ke lutut, ke celana merah hatinya dan akhirnya bertengger di bahu. Tupai itu mengendus-endus seakan hendak mencium.

Belum puas melepas rindu dengan si tupai, sang bocah bersiul siul seperti memanggil ke arah pohon kamboja di jaba sanggah tak jauh dari apit surang. Melesatlah dari sebatang dahan, seekor burung tekukur nan jinak. Belum sempat disadari, kakinya sudah bertengger di kepala si bocah yang masih ditutup topi lusuhnya. Dua binatang itu adalah sahabatnya.

Tanpa disadarinya, seekor kucing telah menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki sang bocah dengan dengkuran khas kucing yang jinak dan bahagia. Ditundukkannya tubuh kecilnya dan diangkatnya kucing itu lalu digendongnya. Ada tiga makhluk kecil yang seharusnya tidak hidup bersama kini bertengger di tubuhnya. Begitu diangkatnya kucing itu, seekor anjing berwarna coklat berlari datang mengampiri. Dia menyalak manja dan siap mengajak bermain.

Cerita di atas bukanlah adagan film. bukan juga cerita fiksi. Bocah itu adalah saya di akhir tahun 1980an di Desa Tegaljadi. Orang tahu bahwa tupai yang berkeliaran di desa dan lehernya berkalung gongseng adalah milik saya, begitu juga burung tekukur yang bulunya diwarnai merah pewarna makanan. Kucing yang ekornya patah itupun sudah terkenal, begitu juga anjing coklat itu. Mereka adalah sahabat-sahabat saya.

Saya sering merindukan hal seperti itu. Merindukan persahabatan yang tulus ketika ada makhluk dari spesies lain yang makan dari mulut saya tanpa pernah khawatir akan penyakit. Saya pernah mencobanya lagi ketika kuliah, ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Binatang itu, kalau benar seperti klaim kitab suci yang tidak bisa berubah, tentu tetaplah sama sifatnya. Jika mereka tidak bisa atau tidak mau bersahabat dengan saya saat beranjak dewasa, pastilah karena saya yang telah berubah.

Saya merindukan menjadi anak-anak lugu yang dengan tulus bersahabat, tidak saja dengan mereka yang berbeda agama, suku, ras, dan golongan, tetapi juga beda spesies. Alangkah istimewanya masa-masa itu.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Para Sahabat”

  1. Saat kecil kita memiliki banyak kisah seperti itu. Mungkin kini pun bukannya mustahil, jika kita membuka pintu kesempatan yang sama.

    Saya kira demikian Bli Andi.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: