Kaca mata minoritas


https://madeandi.wordpress.com/2009/12/29/kaca-mata-minoritas/

http://i.dailymail.co.uk

Ketika Natal tiba seperti saat ini, saya lebih banyak menonton film Hollywood. Banyak sekali film bertema Natal yang diputar di TV dan tidak sedikit yang bagus meskipun sebagian besar sudah pernah ditonton. Meskipun kisahnya berbeda, ada yang selalu sama: Natal adalah musim dingin dan bersalju. Bagi anak-anak, Natal identik dengan Santa yang berpakaian serba merah dan tertutup layaknya pakaian musim dingin. Pengalaman saya melewati musim di dingin di New York tahun 2007 mengkonfirmasi pemahaman ini.

Setelah berada cukup lama di Australia, saya jadi sadar (bukan sekedar paham) bahwa Natal adalah juga tentang pantai, bikini, dan tentang musim panas yang gerah. Berbeda dengan belahan bumi utara, Australia dan Selandia Baru memperingati Natal ketika summer yang membakar. Saya memang tinggal di sebuah negeri yang minoritas dalam konteks musim sub tropis. Hampir semua negara bermusim sub tropis lain di belahan bumi utara menyaksikan Natal ketika musim dingin dengan salju tebal.

Singkat cerita, kini saya telah mengetahui dan mengalami kedua tradisi Natal yang berbeda dan kini saya tinggal di sisi minoritas. Akibatnya, saya bisa menikmati penampilan Santa yang bagai orang kedinginan, sekaligus mengerti bahwa topi Santa atau tanduk rusa juga biasa dipakai gadis-gadis setengah telanjang yang bercengkrama di pantai di satu siang yang panas. Menjadi kaum minoritas membuat saya lebih bisa menerima keragaman.

Ketika membuat acara reuni di Bali pada bulan Agustus, teman saya menamainya Summer Reunion alias Reuni di Musim Panas. Tentu saja demikian karena kawan saya ini tinggal di Amerika dan sedang berlibur di Bali. Saya yang tinggal di Australia tentu tidak merasa perlu mengubah nama reuni itu menjadi Winter Reunion, meskipun Australia sedang menggigil. Mungkin saja kawan saya, ketika memutuskan nama acara itu, tidak ngeh kalau ada belahan bumi lain sedang bergetar kedinginan. Dengan menjadi minoritas saya menjadi paham mengapa teman saya menyebut acara kami dengan nama Β yang tidak mewakili situasi saya.

Menjadi mayoritas memang bisa saja membuat orang lupa akan kaum minoritas. Sebaliknya, kaum minoritas tidak akan pernah bisa mengabaikan keberadaan mayoritas. Sama seperti Ikal yang justru mendapat lebih banyak hikmah ketika menjadi kaum minoritas di tengah peradaban Eropa, saya juga lebih memahami arti toleransi karena menjadi minoritas.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

3 thoughts on “Kaca mata minoritas”

  1. Saya juga sering berpikir, bagaimana dengan yang di belahan bumi Selatan jika merayakan Natal. Apakah juga sama dengan pohon cemara besar tertutup salju, dan perapian yang menyala-nyala hangat. Nah, bukankah kondisinya sebaliknya.

    Saya jadi teringat saat belajar tentang gerak bumi dala tata surya, mungkin beberapa hal yang kadang saya lewatkan membuat saya berpikir keras.

    Namun mungkin karena kebanyakan Natal bernuansa salju, kita lupa bahwa bumi ini bulat dan tidak semuanya bersalju πŸ™‚

  2. met tahun baru mas…have a good day…btw mungkin bagus jg kalo minoritas yg berkuasa, atau minoritas ‘the have’ jg menyadarinya… πŸ™‚

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: