
Di sebuah kamar kecil berukuran tak lebih dari 2,5 meter kali 2,5 meter, saya melihat seorang kawan sedang tertegun melihat setumpukan kertas di atas meja. Saya tidak melihat wajahnya terpesona apalagi terkesima. Dari air mukanya dan mimiknya yang hambar, saya bisa meyakini bahwa dia tidak bergitu kagum pada apa yang dilihatnya.
“Mung koyo ngene iki kok bisa menang, Ndi!” demikian katanya yang kira-kira berarti tulisan jelek begini kok bisa menang! Dia baru saja menyelesaikan membaca tulisan saya yang berjudul “Menggugat Korea” yang dinyatakan sebagai salah satu pemenang lomba Essay tentang Korea bulan Oktober tahun 2000. Kawan saya ini tidak salah, tulisan saya memang tidak istimewa. Dia tidak lebih dari sekedar gumaman seorang manusia biasa yang melihat kenyataan dan kemudian menuliskannya. Tulisan itu bukanlah analisis seorang pakar, tak juga terlihat pintar dengan berbagai istilah yang sulit. Tulisan itu adalah ungkapan jujur yang sederhana, tidak lebih tidak kurang.
Setahun sebelum itu, saya membuat tulisan yang juga dilombakan. Kawan saya lainnya, ketika membacanya, sama sekali tidak tertarik, apalagi terkagum-kagum. Tulisan itu juga biasa saja, tak lebih dari sekedar catatan hasil membaca satu dua artikel. Bedanya, tulisan itu dalam Bahasa Inggris. Itu mungkin adalah tulisan Bahasa Inggris serius pertama yang perhah saya buat. Tulisan yang tidak bagus itupun akhirnya membawa saya ke Korea Utara. Juri rupanya sedang malas atau sedang sakit, sehingga tulisan yang kata kawan saya jelek tersebut bisa dimenangkan.
Setelah sekitar 10 tahun peristiwa itu terjadi, saya menulis lagi untuk sebuah lomba. Ketika akan mengirimkannya, saya sempat teringat dua tulisan saya sepuluh tahun lalu dan sempat menuduh bahwa tulisan itu pastilah juga tidak bagus. Tulisan itu adalah barang biasa yang bagi sebagian orang seperti ‘sikat gigi’, keseharian yang terlewat bahkan tanpa sempat dipikirkan. Memang tidak ada kawan yang mencibir atau mencela seperti sepuluh tahun lalu, tapi saya yakin, akan ada banyak orang yang ketika membacanya akan berkomentar “biasa aja!”
Tulisan itu menerbangkan saya ke Paris dan memberi saya kebanggaan yang tak peranh terbayangkan. Saya sering sekali diuntungkan oleh karya yang tidak istimewa, karya yang tidak luar biasa. Entahlah apa yang terjadi sesungguhnya. Saya pun tidak tahu kekuatan apa yang bermain di balik semua itu.
Saya jadi ingat dengan kisah Telur Colombus yang terkenal itu. Di suatu perjamuan, seseorang melecehkan peran Colombus yang didaulat telah menemukan Benua Amerika. Menurut orang ini, menemukan Benua Amerika dan itu bukan pekerjaan sulit, siapapun bisa melakukannya. Colombus kemudian memberi satu teki-teki untuk mendirikan telur tanpa memegangnya dan tanpa alat bantu lain. Tentu saja semua orang mengatakan itu hal mustahil. Columbus kemudian mengambil telur itu dan menunjukkan ke semua orang. Dengan cepat dia memukulkan ujung runcing telur tersebut ke meja sehinngga retak dan jadi datar. Telur pun berdiri. Kontan orang itu berkhilah “Kalau begitu, siapapun bisa” dan Columbus menjawab “Itulah yang saya lakukan ketika menemukan Benua Amerika. Saya melakukan sesuatu yang orang lain tidak lakukan, meskipun semua orang sebenarnya bisa melakukannya”. Orang-orang terdiam.
Mungkin apa yang saya lakukan tidak jauh berbeda dengan Columbus. Kawan saya yang mencibir di tahun 2000 memang pasti bisa menulis lebih baik dari saya. Sayang dia tidak melakukannya dan tidak mengikuti perlombaan sehingga tidak mungkin menang. Beda orang yang menang dengan yang tidak menang, kadang sangat tipis. Bisa jadi bedanya hanya soal “mau” atau “tidak” saja.
Pak Andi, terinspirasi chatting beberapa hari yang lalu, saya menulis yang hampir sama dengan tulisan ini, dengan narasi yang berbeda.
http://faridyuniar.wordpress.com/2009/10/27/tanggung-jawab/
dan di posting kemarin juga. 🙂
a good posting!
makasih untuk diingatkan agar tidak menjadi orang yang “mencibir” dan melecehkan. justru orang atau karya yang dianggap remeh malah suatu hari akan dianggap “besar” :).
Ya, benar juga demikian Bli.
mungkin itu bedanya orang besar dan tidak. orang sok hebat kayak aku ini sering merasa bahwa tulisannya bagus. eh, ternyata pas diikutkan lomba ga pernah dapat apa2.
tp ya sebaliknya. tulisan orang yg menurutku biasa saja malah menang.
itulah mungkin gunanya orang lain yg menilai, bukan diri sendiri. sebab kalo kita menilai diri kita sendiri, yg muncul ya perasaan seolah2 itu tadi.
*jadi curhat. hehe..
Thanks Anton.. pemikiran seperti ini sering terjadi pada saya juga 😦
mungkin aku jauh lebih telat memulainya dibanding kamu, Ndi..mungkin karena sikapku yang terlalu pragmatis,sesuai keadaan saja..tapi ketika keadaan memaksaku jadi penulis,pengalaman yang intinya sama pun menghampiriku..semoga aku bisa mengikuti teladan dan prestasimu (dari orang yang jauh lebih tua usia tapi jauh lebih miskin pengalaman)…