Ngaben


Entah siapa yang mengabarkan pertama kali, rumah duka sesak oleh kerabat yang berdatangan entah dari mana. Begitulah selalu di kampungku yang sepi dan bahkan di peta Bakosurtanal tak nampak jelas posisinya, orang berkumpul dengan mudah karena alasan duka, maupun suka. Mangku Kompyang telah berpulang dan segenap kerabat berdesakan melepas kepergian terakhirnya. Mangku yang sedikit di atas paruh baya dan masih diperlukan kepiawaiannya di kampung, pergi menyisakan tanya. Apa gerangan yang menjadi penyebabnya?

Ambulance yang melenggang sepi pagi itu menjawab sedikit rasa penasaran warga. Mangku sempat dirawat oleh mereka yang memiliki keahlian. Apa daya, Ida Bethara berkehendak lain, Mangku Kompyang disayangi dan diminta menghadapNya lebih cepat. Kepergiannya harus diikhlaskan. Tidak ada yang menangis, tidak ada yang terpuruk dalam duka yang berlama-lama, setiap wajah nampak sibuk menyiapkan pelepasan sang meninggal untuk terakhir kalinya. Lupa sudah semuanya mempertanyakan penyakit yang dideritanya, bahwa jika diperhatikan dengan lebih baik, bisa saja sangan Mangku tidak berakhir tragis seperti ini. Tetapi sudahlan, itu kini menjadi tidak penting.

Keluarga yang jauh dari kaya raya tidak mempunyai keinginan besar. Biarlah saudara dekat yang menyelesaikan perkaranya. Begitu tradisi yang sudah berjalan, saudara dekat bisa menjadi tiang bagi bangunan sosial tempat rampungnya berbagai yadnya. Saudara dekat bisa menjadi pelaku, pelaksana sekaligus penyangdang dana, ketika kebuntuan dan kemiskinan berpihak pada sang memiliki kewajiban. Itulah yang terjadi dengan Mangku Kompyang dan sanak kerabatnya pagi ini. Mereka bersepakat untuk melewatkan semuanya dengan uluran tangan para saudara dekat.

Tubuh berbalut kain putih itu diturunkan, diarak oleh sekelompok lelaki kekar berwibawa menuju halaman tengah untuk dimandikan. Ini adalah pemandian terakhir. Wajah pucat Mangku nampak jelas di tengah kelebatan tangan dan lengkingan kidung yang didendangkan mengantarkan kepergiannya. Satu persatu tangan-tangan itu membasuh dan membersihkan tubuh dinginnya dari ujung rambut hingga kelingking kaki tua keriputnya. Seperti tadi, tidak ada yang menangis. Di beberapa tempat bahkan terlihat mereka yang berkelakar. Aku tak melihat duka ini bisa menghentikan kodrat manusia dan kewajibannya di kampung tua ini. Semua biasa saja.

Berbarislah mereka yang adalah keturunan dan kerabat dekat, generasi baru penerus Mangku Kompyang. Satu persatu tangan mereka menggenggam lembaran kain putih yang dibentangkan memanjang dipadu kain kuning hingga belasan meter. Semakin banyak saudara dan kerabat dekat yang melepas, semakin panjanglah kain ini menjulur dari peti mati membentang ke depan layaknya lidah naga tak terbelah. Pande, sang cucu kesayangan bertengger gagah di atas peti mati kakeknya yang terbujur kaku di dalamnya. Pande bukanlah orang pertama yang berguncang-guncang di atas peti mati tetuanya saat diarak ke kuburan. Dia hanya satu saja dari kerutinan tradisi yang entah kapan mulainya.

Dari jaba Pura Padonan, terlihat arak-arakan laksana ular, meliuk ke barat berbelok di depan Pura Dalem yang bertaksu. Pura ini bahkan pernah menjadi tempat paling angker dalam dunia masa kecilku dulu. Lidah naga tak terbelah yang digelayuti para kerabat nampak memanjang ke barat sementara Pande kecil masih terguncang-guncang di atas peti mati kakek tercintanya. Balaganjur, tetabuhan tradisi yang telah menemani rakyat Bali sejak lampau, berkumandang tanpa henti mengantarkan mereka yang berjalan jauh dan Mangku Kompyang yang pergi ke kayangan. Lita kecil, anak Bali yang tubuh dan besar di tanah orang, memeluk tubuh ayahnya dengan waspada. Takut dia mendengar kegaduhan gamelan yang oleh para ahli dikatakan sakral dan menakjubkan. Lita mengikuti ritual ini tanpa tahu apa makna dan tujuannya. Dia hanyalah satu dari banyak yang melewatkan semuanya dengan acuh, tanpa belajar dan tidak peduli.

Dua lelaki tegap telah siap di kuburan. Mereka menunggu dengan kompor pembakar yang akan mengantarkan Mangku Kompyang kembali kepada unsur penyusunnya, Panca Maha Butha. Arak-arakan itu berputar mengelilingi bangunan gedebong pisang dan tiang dapdap yang hijau lumut. Ada beberapa utas benang berwarna tak biasa dan akan menarik perhatian merek yang belum pernah menyaksikan. Prosesi ini berlangsung khidmad hingga saat yang dinanti datang juga.

Dua lelaki tegar mengarahkan senjata andalannya, moncong pembakar, ke tubuh Mangku dan menggasak tubuh tua keriput dan dingin itu dengan api yang tak tertahankan panasnya. Keluarga menyaksikan dengan seksama, mereka tidak takut, tidak juga sedih saat tubuh sang tercinta dilahap geni. “Bukankah itu sama dengan sampah dan Sang Diri sudah menghadap Tuhan?” begitu seorang kerabat berujar ketika ditanyakan perihal ini. Memang tubuh ini, jika jiwa sudah tiada, adalah sampah yang harus dengan cepat dikembalikan ke unsur aslinya. Api adalah energi paling niscaya yang bisa mengembalikan segala yang berasal dari air kembali ke air, yang dari tanah kembali ke tanah dan seterusnya. Itulah makna ngaben, pembakaran jasad Mangku Kompyang sore itu.

Para pelayat yang bercengkrama di tepi arena pembakaran nampak lelah tapi ceria. Jaja pamuwun, penganan khas Bali yang sudah jadi tradisi ngaben sejak berabad-abad, menjadi obat gelisah dan terik matahari di bawah pohon kelapa hijau yang menjulang. Ketan hitam bertabur unti kelapa parut yang berhiaskan gula merah menjadi pelengkap ritual sore itu.

“Ngaben ini adalah yang istimewa”, kata Pak Wayan Karma yang adalah Kelihan Banjar terpandang. “Istimewa dia karena di dalamnya da revolusi. Revolusi terhadap tradisi yang berhubungan dengan dana dan biaya. Jika biasanya adalah ngaben dengan biaya tinggi mencekik leher, kali ini tidak demikian. Keluarga dan pemuka banjar berhasil menyepakati sesuatu yang luar biasa. Ngaben yang menjamin tuntasnya sisi niskala dan damainya sisi sekala baru saja berlangsung.” Pak Wayan menambahkan. “Kini ngaben tak lagi mencekik leher dan tak mengurungkan niat kecil Mang Lecir untuk bersekolah karena alasan biaya. Kalau untuk orang meninggal kita berani mengeluarkan keringat, mengapa tidak untuk orang hidup? Kalau uang boleh dibakar bersama jasad yang sudah ditinggal jiwanya, mengapa tidak boleh digunakan untuk jiwa yang masih bernaung di dalam jasad sehat seorang anak muda yang masih punya masa depan?” Berapi-api sang kelihan banjar menjelaskan revolusi idenya. Benar memang kata kitab suci. Jika pitra yadnya adalah sesuatu yang penting, maka manusia yadnya tidak pernah boleh dikesampingkan. Jika yang mati harus dipuja, maka yang hidup pun harus dipelihara.

Aku tertegun menyaksikan kobaran api melahap tubuh Mangku Kompyang yang berlahan-lahan menjadi abu. Sebagian darinya bahkan telah kembali ke unsur penyusunya dan kembali bersatu ke alam dengan sempurna. Bagian-bagian tubuh Mangku Kompyang telah melayang dan hinggap entah di mana menjadi saksi segala macam peristiwa. Tidak ada jasadnya yang tersekap di dalam kubur, melainkan bebas terbang ke mana saja karma wesana membawanya. Meski begitu, tidak salah kata pepatah bahwa manusia mati meninggalkan nama, seperti harimau yang menyisakan belang.

Sore yang kian tua di bawah pohon kelapa hijau menjadi sepi dan sepi. Kobaran api yang sedari tadi menghadirkan gemeletak daging dan tulang dimakan api, kini perlahan melemah. Matahari yang tak pernah lelah, perlahan beranjak bersembunyi di angkuhnya awan, membiarkan anak manusia menyaksikan ritual prelina yang menyisakan kesan dan pelajaran. Selamat jalan Mangku Kompyang.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: