Banyak kasus mengindikasikan bahwa pembaca blog ini tidak memerlukan tips cara menulis di koran. Kebingungan mereka bisa jadi hanya satu: ke mana tulisan harus dikirim? Kalau Anda ingin mengirim ke Kompas, kirim tulisan Anda sekitar 700 kata ke opini@kompas.com. Kalau mau terbit di The Jakarta Post, kirim artikel maksimal 1000 kata ke opinion@thejakartapost.com. Tulisan untuk media lain bisa dikirim ke email redaksi atau opini masing-masing yang bisa diperoleh dengan mudah di websitenya.
Jika informasi di atas sudah cukup, Anda tidak usah melanjutkan membaca tulisan ini. Tidak banyak hal teknis yang akan Anda dapatkan. Percayalah!
Belakangan saya sering mendapat pertanyaan langsung maupun lewat email tentang tips menulis di koran. Rasa-rasanya sih saya bukan penulis kawakan di koran dan tidak bisa dikatakan ahli, apalagi pakar. Berlatar belakang surveyor geodesi yang jauh sekali dari dunia jurnalistik, saya merasa canggung untuk memberikan tips, apalagi petunjuk. Namun begitu, pertanyaan beberapa orang ini tentu beralasan, salah satunya karena ada beberapa tulisan saya yang muncul di media massa. Kalau dihitung, mungkin tidak kurang dari 30 tulisan sudah tersebar di koran nasional dan lokal di Indonesia. Harus diakui, saya sendiri senang dan bangga dengan hal ini. Tetapi tetap saja tidak membuat saya pe-de untuk membuat petunjuk menulis di koran. Saya adalah seorang praktisi, bukan pakar, apalagi pengajar dalam hal menulis di koran.
Karena saya bukan pakar, ijinkan saya berbagai perasaan saya tentang menulis. Ini murni perasaan sendiri, tidak dikutip dari pakar hebat, tidak juga hasil bacaan dari buku-buku bermutu. Karenanya, kalau perasaan ini tidak berguna bagi Anda, lupakan saja dan maafkan tentunya.
Saya memiliki orang tua yang kurang beruntung dari segi pendidikan. Ibu saya berhasil menamatkan SD, sedangkan ayah saya tidak lulus SD. Meskipun saya sudah bersekolah jauh lebih tinggi dari mereka, tetap saja saya harus berkomnikasi dengan beliau menggunakan bahasa yang sederhana. Situasi ini rupanya yang secara diam-diam membentuk kebiasaan saya menyampaikan sesuatu dengan cara yang sederhana. Awalnya tidak ada motivasi apa-apa, biar orangtua saya mengerti. itu saja. Pada mulanya, hal ini saya pandang sebagai satu bentuk kompromi. Berkompromi dengan situasi dan “pendengar yang sulit” ketika berkomunikasi. Saat menyampaikan tentang Global Positioning System atau Geographic Information System kepada ibu saya yang hanya lulus SD, kreativitas saya benar-benar ditantang. Menjelaskan citra satelit kepada bapak yang tidak sempat wisuda SD tentu juga tidak mudah. Meski demikian, saya tetap harus melakukannya. Bagi saya, adalah kebanggaan dan bahkan kewajiban untuk meberi tahu orang tua perihal pekerjaan dan ilmu saya. Kami orang desa, terlalu banyak orang yang bertanya kepada mereka “Anaknya kerja di mana, di bidang apa?” Tidak pas rasanya kalau jawabannya “tidak tahu”.
Orang tua saya tidak pamerih apa-apa ketika menyekolahkan saya, tidak juga mengharapkan uang besar dari keberhasilan saya. Satu-satunya hal yang membuat mereka senang dan bangga ada cerita. Cerita tentang pengalaman dan perjalanan anaknya di dunia yang tidak terjangkau oleh mereka.
Meski dipaksa oleh keadaan untuk menyampaikan sesuatu dengan sederhana, saya kadang lelah, terutama ketika masih remaja. Kelelahan ini seringkali saya lampiaskan dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sebaya. Merasa telah terlalu banyak berkompromi, saya sering mengumbar banyak istilah teknis dan sulit dengan teman-teman ketika berkomunikasi. Kalau dipikir, hal ini bisa saja telah menjadikan seorang Andi muda terkesan sok tahu, sok ilmiah, sok teknis dan sok pintar. Tapi sudahlah, kata orang [tak] bijaksana, jangan menyesali apa yang telah terjadi, sesalilah apa yang tidak sempat terjadi.
Kembali ke urusan menulis di koran, situasi keluarga secara tidak langsung menumbuhkan keinginan saya untuk menyampaikan sesuatu dengan bahasa sederhana yang populer. Belakangan, saya sadari ini adalah sebuah keberuntungan, terutama ketika mendapati bahwa saya adalah seorang guru. Kemampuan untuk menyampaikan sesuatu dengan cara yang sederhana menjadi tuntutan dan bahkan kewajiban. Tanpa disadari, kesederhanaan ibu dan ayah saya telah meletakkan fondasi yang kuat untuk profesi saya ini. Meskipun ini tidak direncanakan, saya percaya bukanlah satu kebetulan.
Ketika memulai menulis di koran, saya selalu membayangkan ibu saya akan membacanya atau ayah saya akan secara tidak sengaja melihatnya tergeletak di atas meja di kantor desa. Sederhananya, saya selalu merasa menulis untuk mereka berdua. Setelah menulis, saya akan membacanya berulang kali sambil mencoba menjadi mereka berdua. Cara ini memaksa saya mengeluarkan kemampuan optimal untuk menghasilkan tulisan yang sarat informasi tetapi sederhana dalam penyampaian. Inilah yang akhirnya mewujud menjadi tulisan-tulisan saya di Kompas, The Jakarta Post, Bali Post, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan sebagainya.
Satu hal yang perlu Anda tahu, meski sudah berkali-kali menulis, saya tidak pernah merasa “tulisan ini pasti dimuat” ketika mengirimkan tulisan saya ke media massa. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa jumlah tulisan yang ditolak tidak kalah banyaknya dengan tulisan yang dimuat di media massa. Layakkah saya memberi petunjuk? Saya kira tidak. Makanya yang saya lakukan hari ini adalah berbagi perasaan dengan Anda. Percayalah bahwa apapun yang Anda bicarakan atau apapun keahlian Anda, di luar Anda ada lebih banyak orang awam daripada orang ahli. Jadilah orang awam ketika menulis, maka tulisan Anda akan dibutuhkan lebih banyak orang di dunia ini. Selamat menulis untuk orang awam.
yup benar sekali apa yang pak andi sampaikan.
kmrn saya ngobrol2 dengan seorang wartawan republika, trus saya sharing pengalaman bapak dengan beliau.
menurutnya “kompas tuh antrian artikelnya banyak banget so kalau mau dibaca ama redaksi point pertama adalah jumlah kata = 6000”
Thanks Enda… ya jumlah kata memang harus terbatas. 600-700 biasanya untuk Kompas 🙂
thanks pak andi, saya seoarang mahasiswa yang sering mengirim tulisan ke media massa, tulisan yang saya kirimkan itu tidak kurang dari empat halaman, tetapi sampai saat ini tulisan saya masih belum pernah muncul di media massa
Sarkawi,
Jangan putus asa. Ada beberapa hal yang mungkin jadi pertimbangan.
Pertama, isu-nya hangat atau tidak. Kalau tidak hangat, pemula akan sulit membuat isu sendiri. Sebaliknya kalau hangat, mungkin pemula juga sulit bersaing dengan penulis lain. Intinya, kita harus unik 🙂
Hal yang menurut banyak orang juga berpengaruh adalah “seberapa terkenal kita” Lah ini memang tidak cocok untuk pemula seperti kita. Kita kan bukan Emil Salim yang tulisannya pasti dimuat Kompas 😉
Ehhmm..saya Emil mas, tapi bukan Emil Salim =)
Cukup Emil’98 yang pernah di-asisten-i Dasar Pemrograman Komputer oleh Mas Andi (dan masih perlu banyak inspirasi dari tulisan Mas Andi)
regards
Kalo berbicara masalah tulisan yang bisa ditampilkan di koran, saya punya sedikit cerita.
Waktu saya masih ngajar serabutan di surabaya, ada satu temen mengajar saya yang ‘tidak ahli’ menulis, dan saya yakin kemampuannya standar seperti saya..tapi dia menjadi istimewa karena dia ‘tau’ tehnik untuk menembus koridor koran, dan dia berhasil menulis ratusan tulisan yang dimuat tiap harinya. Hebat kan?? Apakah itu??? ..yup,betul sekali….dia jadi wartawan!
Sekarang dia menjadi wartawan sindo jakarta. Yang pasti dia menulis setiap hari dan mengasah kemampuannya. Seperti pisau tumpul, apabila kita asah juga bisa membelah kayu yang super keras sekalipun. Demikian pula kemampuan kita.
Mari kita mengasah kemampuan kita dengan menulis. Smoga berhasil.
Nurul
Trenggalek
makasih bnyk ilmuny
sy ni baru mau coba nulis2, mhn doanya 🙂
tks banyak atas informasinya
help me to write my mind
hai pak andi, sejauh ini trims yah buat semua tulisannya, saya jadi tau gimana harus mulai dan darimana. tapi ada satu hal yg ingin saya tanyakan dan semoga pak andi berkenan memberi sedikit informasi 🙂
kalau kita mau diterima sbg beasiswa awardee, kita harus punya publikasi gak karna saya lihat di cv pak andi, jumlah jurnal yang bapak tulis byk sekali?
Tidak harus. Btw, next time, mohon komentarnya di tulisan yang sesuai ya biar terkumpul rapi dan berguna bagi pembaca lain. Pertanyaan seperti ini lebih cocok ditanyakan di halaman tulisan Scholarship atau ADS 2013 🙂 Good luck!
Pak Andi, Alamat email Jakarta Postnya ada yang kurang hurufnya (POS-T), Kemarin saya langsung kopi lalu paste ke email. Ehh.. tidak terkirim, hehehee… Tulisan ini membuat saya untuk mengirimkan artikel pertama kali ke Jakarta Post. Kalau boleh mengkoreksi mungkin alamatnya opinion@thejakartapost.com. Terima kasih sudah mengispirasi, Pak:)
Terima kasih Rido. Sudah saya koreksi ya 🙂
Salam kenal pak andi, biasanya tulisan kita akan di muat (apabila lolos seleksi) maksimal berapa minggu setelah pengiriman artikel ya? 🙂
Tidak ada standar. Kalau topiknya hangat bisa sehari.
bisa minta beberapa contoh artikel bapak yang terbit, pak ??
kebetulan saya juga lg belajar menembus koridor koran
mohon kirimkan ke email saya pak anisanurizza@gmail.com
terimakasih pak
Coba Google di kompas atau Jakarta Post
Pak andi, kalau mengirim email artikel itu subjeknya sebaiknya apa ya? Apakah Opini-Judul Artikelnya, supaya dilirik? Terutama untuk pemula pak, supaya tidak tertelan jutaan email lainnya. Trims
Biasanya saya menulis “Opini – judul” lalu di body email saya tulis “Redaktur Opini ysh, Berikut ini saya kirimkan sebuah artikel untuk dipertimbangkan pemuatannya di harian xxx. Terima kasih”
mas andi,pak andi saya mau tanya… kira kira tulisan yang tema motivasi bs d trima gk
Bisa saja.