Tadi pagi, saya dan Ktut Asti naik motor berdua ke Stadion Maguwoharjo untuk olahraga. Sesuatu yang cukup jarang dilakukan beberapa bulan terakhir. Rencananya sudah jelas: memutari stadion tiga kali, dilanjutkan dengan makan soto di warung tenda di depan stadion. Satu kripik tempe dan satu tusuk sate telur puyuh adalah gagasan yang tiada duanya.
Benar saja, rencana berjalan mulus dan tiba-tiba saja kami berdua sudah menyantap soto di warung tenda biru di depan stadion. Di sebelah kami ada pasangan lain yang juga menikmati soto. Sejenak senyum basa-basi dengan mengucapkan satu kata magis “monggo” dan beres perkara.
Tiba-tiba datang seorang lelaki yang menggendong keranjang plastik berisi tumpukan kaos kaki berbagai warna dan ukuran. Saya lihat Asti mulai melirik. Dengan kombinasi naluri ibu-ibu dan belas kasihan yang mudah tumpah, saya mulai curiga. “Kasian Yah” katanya lalu berteriak “Mas… Mas Kaos Kaki…” Masnya tidak mendengar dan bapak yang sedang asyik makan soto di dekat saya ikut menolong “Mas, ini ibunya mau beli”. Maka terjadilah transaksi itu. Dengan 50K ada sepuluh pasang kaos kaki masuk tas plastik.
Hujan tiba-tiba mengguyur deras. Di saat itu, pasangan di sebelah kami sudah berganti dengan dua orang perempuan. Nampaknya mereka terganggu dengan hujan. Tidak tega, kami pun berdiri, memberi kesempatan kepada dua perempuan itu untuk menggeser posisinya agak ke dalam sehingga agak terhindar dari terjangan hujan. Suasana jadi riuh. Para penikmat soto yang tadinya duduk di tikar di bawah pohon atau di trotorar menghambur ke lokasi beratap. Penuh sesak tapi penuh senyum dan gelak tawa.
Kami berdesakan di ruang sempit itu. Sementara hujan kian deras. Setengah dari meja saya tadi diguyur hujan. Gelas es jeruk dari salah satu perempuan di dekat saya itu terguyur air hujan yang meluncur dari atap terpal biru yang bocor. Gelas yang tadinya berisi setengah, kini penuh lagi. Hujan memberi tambahan minuman tanpa dipesan dan tidak perlu dibayar. Perempuan itu tergelak bersama temannya, menertawakan kenaasannya sendiri. Mereka memilih bahagia.
Tak bayak yang bisa dilakukan, kami bergegas meninggalkan warung tenda meskipun hujan belum tuntas. Kami berlari ke parkiran motor dengan membawa beberapa bungkus soto untuk oleh-oleh. Cukup 63K untuk lima soto, dua kripik tempe, satu es jeruk, satu jeruk panas dan satu tusuk sate telur puyuh. Jogja memang istimewa dalam urusan harga.
Berharap di motor ada jas hujan, ternyata tidak. Maka kami berkendara di tengah hujan sambil menertawakan kekonyolan sendiri. Di jalan kami melewati gerobak menembus hujan yang ditarik dua ekor sapi. Sementara di dalam gerobak nampak seorang anak lelaki yang dipangku bapaknya. Dia tersenyum gembira menikmati hujan di sekitarnya. Tak ada risau, tak ada wajah panik akan krisis yang konon menerpa dunia. Santai seperti di pantai. Dia tidak ada urusan dengan LKD, BKD, Sister, MySAPK, apalagi IBK. Tidak ada.
Kami tetap melaju dan basah sudah seluruh badan. “HP mana Yah?” tanya Asti dan begitu saya sentuh saku ternyata tidak ada. “Oh, ketinggalan kayanya!” teriak saya panik dan diikuti Asti yang tak kalah panik. “Nggak ah, ini ada” kata Asti yang meraba lebih teliti. Ternyata HP tergelayut agak ke bawah di dalam saku celana yang longgar. Dengan sigap Asti mengambil HP saya dari saku celana dan menyelamatkannya dari guyuran hujan. Percayalah, caranya mengambil sesuatu di saku celana saya berbeda dengan ketika kami naik Astrea Grand stiker hijau dg shock breaker spiral merah tahun 90an silam. Sungguh.
Tiba di rumah, kami disambut anak-anak. Ada satu yang baru kami sadari: sepuluh pasang kaos kakinya ternyata ketinggalan. Sudahlah!