
Tanggal 3 November lalu ada sebuah pesan masuk dari seorang kawan yang tadinya bekerja di Shout China Morning Post. Sudah agak lama, kami pernah berinteraksi soal pemberitaan dan tulisan. Beliau masih menyimpan nomor saya rupannya. Intinya, saat ini beliau bekerja sebagai konsultan TVRI World dan sedang memerlukan narasumber.
Tidak lama, saya dikontak seseorang dari TVRI World dan menanyakan kesediaan saya menjadi narasumber. Menurut pesan itu, “topik yang akan dibahas yakni G20 possible stance regarding territorial disputes involving its member such as the South China Sea”. Saya mempelajari isu perbatasan dan cukup sering menulis tentang Laut Cina Selatan, maka saya sanggupi. Ini momen yang tepat untuk belajar lagi.
Awalnya saya mau didatangkan ke Bali namun akhirnya tidak bisa saya sanggupi karena tidak tersedia tiket pesawat untuk Kembali ke Jogja pada waktu yang saya inginkan. Acaranya tanggal 13 November 2022 dan saya harus sudah ada di Jogja tanggal 14 November pagi karena harus mengajar di Teknik Geodesi UGM. Minggu sebelumnya saya sudah meninggalkan kelas selama seminggu dan memberi kuliah online karena bertugas di Singapura. Sudah kangen ngajar offline.
Saya sanggupi hadir lewat zoom. TVRI kemudian mengirimkan daftar pertanyaan seperti yang dijanjikan. Ternyata ada 15 pertanyaan yang menurut saya dahsyat. Tidak hanya soal perbatasan tetapi soal G20, ASEAN Summit, APEC dan juga COP27. Saya mengikuti isunya tetapi tentu saya bukan ahlinya. Perlu belajar sangat keras untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Maka kemudian saya menghabiskan waktu sehari penuh untuk melakukan penelitian, membaca paper, membaca berita, menonton video dan menyimak pernyataan pemerintah. Ada banyak hal yang perlu saya konfirmasi agar jawaban saya nanti cukup baik.
Tepat di hari H, saya masih bersiap-siap hingga 30 menit sebelum waktu wawancara. Masih komat-kamit berlatih, masih membaca beberapa berita, dan masih juga menonton video dari CSIS Indonesia terkait G20. Persiapan memang harus prima, apalagi saya memang merasa bahwa tidak semua hal yang ditanyakan nanti adalah keahlian saya. Jika pun harus berkomentar sebagai non-ahli, saya tentu harus bisa memberikan komentar ilmiah sebelum kemudian menambahi dengan “I did not focus my research on this matter”. Atau, masa’ saya harus sering mengatakan “I take the liberty NOT to say anything” kan nggak seru.
Jam 12 siang saya sudah online di zoom dan saya diberitahu bahwa wawancara akan dimulai sekitar pujul 12.20 WIB. Saya menuggu dengan sabar, tentu saja dengan pakaian yang diusahakan serapi mungkin. Jas hitam, kemeja putih dan dasi merah. Saya tidak perlu ceritakan bawahannya karena memang hanya celana pendek. Ini adalah ‘seragam’ khas acara online di masa Covid.
Pertanyaan pertama diajukan kepada Prof Aleksius, nara sumber selain saya. Dengan pertanyaan yang sama, saya pun diminta berkomentar. Di situlah bencana pertama terjadi. Suara saya bergema dan studio tidak bisa mendengar suara saya. Rupanya ada sedikit kendala. Saya agak panik tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Untunglah Mas Arif dan Mbak Stephanie, pewawancaranya, segera sigap mengalihkan pertanyaan ke Prof. Prof Aleksius. Beliau berdua cekatan.
Beberapa detik kemudian telepon saya berdering dan terlihat nomor Bali di situ. Saya mengangkat dengan terlebih dahulu mematikan video dan microphone Zoom. Ternyata itu memang dari TVRI World dan ada suara yang menjelaskan bahwa ada kendala teknis. Sebagai jalan keluar, kami akan berkomunikasi audio dengan telepon dan video dengan zoom. Okay saja lah. Saya ngikut saja. Akhirnya wawancara bisa dimulai dengan lancar, meskipun saya jadi lebih grogi. Ada dua hal yang saya pikirkan: keakuratan informasi yang saya sampaikan dan kemungkinan kendala teknis yang bisa terjadi. Cukup menegangkan!
Wawancara berlangsung baik dan pelan-pelan saya menjadi jauh lebih tenang. Ketika disampaikan sebuah pertanyaan penting untuk saya, tiba-tiba saya lihat video di studio tidak bergerak, sementara suara melalui telepon masih terdengar. Saya duka ada masalah internet di studio. Beberapa detik kemudian gambar di zoom lenyap dan muncul animasi berputar, tanda koneksi internet putus. Ternyata, mati lampu, saudara-saudara. Di rumah saya mati lampu. Itu saya pastikan ketika mencoba menyalakan lampu kamar.
Sementara itu, saya mendengar lewat telepon, nama saya dipanggil-panggil. Panik nggak? Panik lah, masa nggak! Saya coba untuk switch internet dengan tethering lewat HP namun gagal. Saya baru sadar, saluran telepon saya sedang dipakai untuk komunikasi dengan land-line studio TVRI World sehingga fungsi data internet tidak berjalan. Saya lari ke luar kamar dan berteriak bertanya “mati lampu ya?” sehingga anak dan ponakan ikut panik. Ternyata memang mati lampu. Begitu keyakinan kami semua. Dan nampaknya sudah tidak ada harapan. Saya harus mita maaf kepada TVRI World soal ini.
Sebentar! Saya ingat sesuatu. Tadi pagi, beberapa kali listrik di rumah saya mati karena meterannya yang off, bukan karena ada pemadaman oleh PLN. Saya berharap, masalahnya sama. Lalu saya lari ke meteran listrik dan di situ saya melihat lampu hijau menyala. Benar kecurigaan saya dan akhirnya saya pun langsung menyalakan meteran. Listrik hidup lagi dan saya berlari ke kamar untuk melanjutkan wawancara. Saya tahu, studio TVRI World mungkin juga agak panik karena saya hilang.
Sesampai di kamar, saya mencoba mengaktifkan zoom lagi dan tentu menunggu beberapa saat karena Wi-Fi perlu waktu untuk aktif Kembali. Itulah satu menit terlama dalam hidup saya. Namun akhirnya semua kembali normal. Zoom menyala, saya sudah bisa masuk dan melanjutkan wawancara Kembali. Saya siap menunggu sambil membaca bebrapa pesan di WA dari TVRI yang meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Mereka terlalu baik. Masalahnya ada di saya, bukan di TVRI.
Wawancara berlangsung lancar hingga akhir. Saya tidak bisa memastikan saya tambil baik atau tidak tetapi saya bersyukur telah menyelesaikan tugas dengan tuntas di tengah berbagai kendala. Saya tidak menyesal telah bersiap bergitu serius meskipun kendala tetap saja terjadi dari berbagai sisi. Sudah bersiap serius saja, masih banyak kendala, apalagi tidak bersiap-siap. Ya, nggak?!