Cerita Biasa di Hari Pemilihan Rektor UGM
Saya tidak terlibat di dalam pemilihan Rektor UGM. Saya bukan anggota panitia seleksi, bukan tim sukses, apalagi calon. Sama sekali bukan. Kalaupun terlibat, itu hanya sebagai rakyat UGM yang turut merasakan gegap gempitanya pergantian kepemimpinan di kampus rakyat ini.
Di hari H pemilihan final rektor, saya ada tugas mendampingi direktur, Bu Puji, untuk menemui tamu dari Irlandia. Tempatnya di Gedung Pusat UGM. Tidak banyak hal istimewa yang terjadi namun setidaknya saya ada di kampus dan merasakan suasana kerja luring. Tamu memang mulai berdatangan secara fisik ke UGM dan penyambutan tamu melalui tatap muka tidak bisa dihindari.
Selepas makan siang, saya bersiap-siap mengajar secara online di UPN. Ada mata kuliah Hukum Laut yang saya ampu di Teknik Geomatika UPN dan sore itu adalah kelas kedua sebelum terakhir. Saya harus masuk, meski suasana pemilu menghadirkan nuansa yang berbeda. Menunggu saat kuliah jam 1.30pm, saya ‘berkeliaran’ di Gedung Pusat UGM, sekedar untuk merasakan suasana yang agak tegang. Inilah sisi lain Kampus Rakyat yang sedang berdemokrasi.
Di ruang makan rektorat, konon telah berkumpul beberapa menteri. Pak Pratikno, Pak Basuki, Pak Budi Karya, dan Bu Retno. Meski demikian, acara pemilihan rektor memang belum dimulai. Semua masih menunggu Mas Menteri Nadiem sebagai Mendikbudristek. Acara tidak akan dimulai sebelum Mas Nadiem datang. Beliau berwenang memberikan suara dalam pemilihan rektor. Proporsi suaranya pun signifikan.
Orang umumnya paham bahwa Mas Nadiem pasti terlibat dalam pemilihan Rektor UGM karena UGM berada di bawah kementerian beliau. Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya pemilihan rektor UGM dengan menteri lain? Mengapa banyak menteri yang berkumpul di UGM? Jangan lupa, para Menteri itu adalah anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UGM. Mereka semua memang Menteri dan alumni UGM tetapi sebagian mewakili unsur tokoh masyarakat, sebagian lain unsur alumni dan sebagian lagi mewakili unsur lainnya. Begitulah, masing-masing orang kerap memiliki status dan peran berbeda.
Di Gedung Pusat UGM, tidak ada menteri yang terlihat tetapi ada banyak ajudan yang lalu lalang. Sebagian sibuk di telepon, sebagian berdiri tegang siap menerima perintah, sebagian lagi gelisah. Yang terakhir mungkin adalah yang boss-nya belum datang. Sebenarnya UGM sering didatangi menteri tetapi tentu tidak sering didatangi lima Menteri sekaligus. Saya menikmati saja suasana itu, sambil duduk di pojok ruang kantor rektor, menunggu saatnya memberi kuliah.
Pukul 1.30pm saya mulai memberi kuliah. Saya menempati sebuah lokasi di pojok ruang rapat rektor. Hari itu, kuliahnya berupa kombinasi. Sebagian saya bawakan dalam bentuk live zoom alias singkronus, sisanya dalam bentuk video yang sudah disiapkan sebelumnya. Maka kelas berjalan cepat, tidak sampai 30 menit. Selepas menyapa dan diskusi ringan, kelas saya bebaskan untuk menonton video yang sudah saya rekam sebelumnya. Video ini sejatinya adalah bahan diskusi ketika saya diminta memberi materi seputar Laut China Selatan di forum Indo-Pacific Youth Dialogue. Materinya cocok, bahasanya pun Inggris. Bagus untuk membiasakan mahasiswa menikmati interaksi internasional.
Menjelang pukul 2pm, saya bersiap-siap di luar ruang kantor rektor. Sore itu saya bertugas menyambut tamu dari Western Sydney University (WSU), Australia. Sebenarnya yang akan menyambut adalah Prof Parip, Wakil Rektor Kerja Sama dan Alumni karena delegasi mereka dipimpin oleh wakil rektor tetapi Prof. Parip masih sibuk menemani menteri di ruang makan. Saya harus pastikan tamu tersambut dengan baik.
Tidak lama kemudian, tamu dari Australia hadir. Kepala Kantor Internasional mereka sudah saya kenal sejak lama. Ian namanya. Hadir bersama rombongan adalah kawan baik saya, mas Brahm, yang dulu adalah teman sekolah di UNSW Sydney. Kini beliau menjadi dosen di WSU dan bersama delegasi, ikut menguatkan kerjasama. Demikianlah makna seorang diaspora. Boleh saja mereka bekerja dan tinggal di luar negeri namun sejatinya mereka dalah jembatan atau bahkan pintu masuk bagi kolaborasi internasional.
“Who will be the next rector?” kata salah seorang bertanya ketika saya ceritakan perihal pemilihan rektor yang menyebabkan suasana sedikit genting. Tentu saja saya tidak tahu karena pemilihannya belum berlangsung ketika itu. Saya hanya berkelakar “We don’t know yet but whoever SHE will be, we certainly hope for the best.” Yang paham situasi akan tertawa mendengar jawaban saya. Memang ada satu kandidat perempuan dan dua kandidat laki-laki. Sebagian dari mereka tertawa meskipun bertanya-tanya.
Jam dua lebih sedikit, Pak WR sudah bergabung bersama tamu Australia. Beliau juga konfirmasi bahwa pemilihan sudah dimulai dan semua menteri sudah masuk ke Balai Senat, ruang paling ‘sakral’ di UGM. Begitu Pak WR tiba, saya pamit untuk bersiap-siap bertugas di tempat lain. Pak WR masih sempat meminta saya untuk menemui ‘tamu penting’ lain. Ternyata ada dua orang penting di ruangan beliau. Mas Danang, dekan Geografi dan Mas Kaji Edan yang selalu setia dengan sarung dan sandal Lily-nya. Beberapa saat terakhir nama beliau sempat viral karena satu perihal. Hari itu, di UGM, berkumpul berbagai macam orang dengan kesaktian dan kedigdayaan masing-masing. Saya hanya menikmati saja bertemu dan berguru dari mereka.
Sesaat kemudian saya bergegas ke acara sosialisasi dan perkenalan peneliti Indonesia dan Inggris terkait hibah RISPRO UKICIS. Acaranya daring tetapi saya ditugaskan untuk presentasi sehingga harus benar-benar hadir tanpa bisa nyambi. Pukul 3pm saya mulai bergabung ke acara RISPRO-UKICIS dan kemudian memaparkan informasi rinci terkait hibah tersebut. Senang melihat banyak peneliti Indonesia antusias untuk mengajukan dana hibah penelitian dan bekerja sama dengan peneliti luar negeri terutama UK.
Di tengah acara, saya melihat grup WA dosen UGM dan beberapa menit sebelumnya ada pesan dari Pak Edhie yang menyatakan Prof Ova terpilih sebagai Rektor UGM 2022-2027. Artinya guyon saya tadi tidak meleset. Saya senang, UGM telah melewati sebuah pesta demokrasi dengan lancar. Riak-riak kecil tentu ada karena itu tandanya semua pihak peduli tetapi pada akhirnya semua mengambil sikap untuk kepentingan yang lebih besar.
Seharian kemarin, hidup saya berjalan seperti biasa saja. Menerima tamu, mengajar, rapat, acara online, acara offline. Semua berjalan biasa saja. Di satu sisi, perhelatan besar memang terjadi tetapi hal normal yang rutin tetap berjalan tanpa terganggu dan memang tidak boleh terganggu. Ganti atau tidak ganti rektornya, suka ataupun tidak suka dengan rektornya nanti, tugas saya berjalan seperti biasa.
Setiap orang punya perannya masing-masing. Yang merasa menjagokan Bu Ova tentu boleh gembira. Yang jagoannya tidak berhasil jadi rektor pun boleh bersedih atau kecewa. Yang pasti, rektor baru tak akan serta merta mengangkat beban kita jadi tiada, tidak juga mencuri kebahagian kita sehingga sirna tiba-tiba. Biasa saja. Mari kita bekerja saja dan mendukung selayaknya. Selamat bertugas Prof. Ova.