Saya tidak sering bercerita soal kakak saya. Kali ini saya kisahkan tentangnya karena dia baru saja dilantik menjadi kepala sekolah di SMP Negeri 4 Tabanan. Yang ingin saya kisahkan bukan keberhasilannya menjadi kepala sekolah di usia 46 tahun tetapi perjalanannya menjadi guru.
Kakak saya, Putu Erinawati namanya, lulus kuliah di Universitas Warmadewa di Bali pada tahun 1999. Sebelum wisuda, dia sudah diterima bekerja di sektor pariwisata yang salah satu bisnis utamanya adalah penukaran uang (money changer). Dia yang belum lulus Sastra Inggris dianggap memiliki kecakapan untuk berinteraksi dengan tamu mancanegara yang membanjiri Bali ketika itu. Selepas wisuda, pekerjaan itu diteruskannya.
Hidup pun berjalan, kakak saya menikah dan punya anak pertamanya. Pekerjaan juga lancar dan nampaknya hidup keluarga mereka baik-baik saja karena Bli Wayan Wibawa Semara, suaminya, juga bekerja di hotel. Dua orang di sebuah keluarga bekerja di sektor pariwisata adalah kondisi yang nyaman untuk hidup dan bertumbuh di Bali di masa-masa itu.
Kondisi berubah ketika bom Bali meledak dan memporak-porandakan ekonomi Bali tahun 2002. Ini adalah ‘penguat’ gangguan yang terjadi setahun sebelumnya ketika menara kembar WTC ambruk karena serangan teroris di kota New York. Pariwisata Bali goncang dan puncaknya terjadi di tahun 2005 ketika bom kedua meledak. Habis sudah! Pariwisata mati, hotel-hotel sepi, karyawan sektor pariwisata dirumahkan, dan ekonomi bali merayap tiarap.
Kondisi pariwisata yang sekarat dan kian melemah serta alasan lain yang bersinggungan dengan idealisme membuat kakak saya memutuskan berhenti bekerja. Sebuah keputusan yang tidak mudah dan tidak populer ketika anak sudah dua dan suami pun bekerja di sektor yang sedang melemah. Mereka tinggal di Denpasar dengan biaya hidup yang tidak murah. Perjuangan berdarah-darah pun dilalui dengan hati yang kerap gundah.
Saya cukup mengenal kakak saya. Di keluarga, dialah yang paling tekun dan rajin. Kakak saya menjadi teladan (role model) kami dalam belajar. Di tahun 1980an ketika Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diperkenalkan, dialah yang memelopori belajar berkelompok di rumah. Saya yang belum sekolah pun jadi terseret dalam dunia pembelajaran yang begitu seru. Dialah yang menyebabkan saya bisa ‘membaca’ (sebenarnya menghafal) bacaan Pahlawan Kecil yang ada di buku bacaan terbitan P dan K di masa itu. Saya hafal di luar kepala bacaan itu karena setiap hari mendengarnya dari kakak saya yang membaca lantang bersama teman-temannya di rumah kami setiap sore.
Mengingat sifat dan sikapnya, saya tahu, kakak saya bukanlah orang yang terbiasa berdiam diri. Dia pasti merindukan bekerja dan berperan. Hanya saja kami semua tidak tahu caranya. Apa yang bisa dia lakukan di masa yang sulit seperti itu? Tidak ada yang tahu.
Di tahun 2005, saya sedang sekolah S2 di UNSW, Sydney, Australia. Seorang sahabat saya, orang Australia, melakukan penelitian soal bom Bali dan dia perlu melakukan penelitian lapangan. Susan, namanya. Tanpa banyak pertimbangan saya pun menawarkan dia untuk tinggal di rumah kami di Desa Tegaljadi selama kurang lebih dua bulan. Adik saya, Komang Andika Permana, menjadi andalan utama. Dia masih kelas 1 SMA ketika itu. Selain Komang, tidak ada yang mengerti bahasa Inggris di rumah kami di Tegaljadi. Sementara itu, kakak saya tinggal di Denpasar. Maka demikianlah. Hidup harus bergerak terus, bahasa isyarat pun kerap berperan. Susan juga tidak fasih berbahasa Indonesia, kalaupun bisa.
Dalam masa itulah, kakak saya kerap membantu Susan, terutama ketika dia pulang kampung ke Tabanan. Sekali waktu, Susan diajaknya ke Denpasar, menjenguk keluarganya dengan dua orang anak kecil. Di titik inilah segala perihal berawal.
Sekali dua kali Susan diajak mampir ke rumahnya di Denpasar, orang-orang perumahan mulai memperhatikan. Anak-anak di perumahan tahu hal itu, ibu-ibu juga tak ketinggalan. Mereka mulai bertanya, siapakah gadis bule yang diajak oleh kakak saya. Yang terpenting, mereka mulai sadar bahwa mungkin kakak saya bisa berbahasa Inggris. Maklum saja, selama ini mereka mengenal kakak saya sebagai ibu rumah tangga yang rempong dengan dua anak kecil.
Maka berdatanganlah satu per satu tetangga ke rumah kakak saya untuk bertanya dan mengkonfirmasi. Pelan-pelan obrolan itu berubah menjadi permintaan untuk mengajari anak-anak tetangga pelajaran Bahasa Inggris. Di masa itu, anak-anak SD di kota sudah mulai mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris meskipun nampaknya masih di tahap awal. Sebagian besar dari anak-anak itu mengalami kesulitan dengan PR mereka dan kakak saya menjadi harapan baru.
Kakak saya punya jiwa pengajar sejak lama. Saya tahu itu. Maka dengan senang hati diajarinya anak-anak tetangga itu dalam memahami Bahasa Inggris dan terutama dalam menyelesaikan PR mereka. Anak-anak senang, orang tua juga nampak happy. Ada guru dan harapan baru di kompleks perumahan.
Suatu ketika, anak-anak murid kakak saya berkata “Tante ngajar di sekolah kami aja”. Ternyata guru Bahasa Inggris mereka sering tidak hadir, entah apa alasannya. Itulah momen pertama ketika kakak saya mulai berpikir tentang profesi menjadi guru. Ucapan anak-anak murid yang diajarinya di rumah kecilnya di Denpasar itu yang menjadi pemantik. Tentu saja ketika itu dia ragu. Apa iya akan menjadi guru?
Rupanya anak-anak ini melapor kepada kepala sekolahnya. Saya bayangkan, isi laporannya adalah bahwa di kompleks perumahan mereka ada seorang ibu rumah tangga yang bisa mengajar Bahasa Inggris dan mereka ingin diajar oleh ibu itu. Anak-anak mungkin mengusulkan kepada kepala sekolah agar kakak saya dijadikan guru Bahasa Inggris di sekolah mereka, SD Negeri 10 Padang Sambian.
Entah bagaimana ceritanya, kakak saya telah mendapati dirinya menghadap kepala sekolah. Setelah bercerita beberapa menit, sang kepala sekolah memutuskan untuk menjadikan kakak saya guru honorer, pengajar Bahasa Inggris yang mulai mengajar minggu depannya. Sangat cepat dan tak disangka. Honornya 450 ribu rupiah. Angka yang patut disyukuri untuk memastikan roda keluarga tetap menggelinding dengan anak yang ketika itu sudah menjadi tiga.
Beberapa minggu mengajar, kakak saya dipanggil kepala sekolah. “Putu harus ikut Akta IV” kata beliau menyarankan kakak saya untuk mengikuti sejenis program pendidikan sertifikasi guru. Akta IV ini perlu dimiliki oleh seseorang yang berasal dari bidang ilmu non keguruan untuk menjadi guru. Kakak saya sarjana Sastra Inggris maka dia perlu Akta IV itu untuk bisa menjadi guru secara formal. “Siapa tahu nanti ada kesempatan untuk menjadi guru. Putu akan siap dengan persyaratannya”. Demikian ibu kepala sekolah menambahkan.
Di tahun 2005, ketika usianya sudah 30 tahun dengan dua anak, kakak saya baru saja melihat sebuah titik cahaya redup akan kemungkinan karirnya untuk masa depan. Bagi banyak orang, ini mungkin terlambat. Ada juga yang mungkin merasa galau ketika di usia 23 merasa belum menemukan pekerjaan yang diminati. Kakak saya memilih untuk menjalani itu. Tidak ada kata terlambat karena sebelum itu adalah kehampaan. Apapun, jika dibandingkan dengan kehampaan, adalah sesuatu yang berisi dan layak disyukuri.
Biaya untuk pendidikan Akta IV selama satu semester adalah 2,5 juta rupiah ketika itu. Kakak saya tidak memiliki uang sebanyak itu dan ibu saya, (Meme’ Nyoman Mariani) dengan berani mengambil tanggung jawab itu. Meme’ yang membiayai semuanya. Dalam kebiasaan tradisional di Bali, tidak umum terjadi bahwa seorang ibu membiayai kebutuhan anak perempuannya yang sudah menikah. Meme’ saya memutuskan hal yang berbeda karena di atas tradisi dan dresta ada cinta. Meme’ saya hanya lulus SD dan bapak saya bahkan tidak lulus SD namun beliau punya keyakinan penuh pada pendidikan.
Singkat cerita, pendidikan Akta IV berakhir dengan baik. Saya tidak ragu akan kemampuan kayak saya. Dia menyelesaikannya dengan baik. Di titik itulah, muncul peluang lainnya. Ada lowongan PNS guru yang diumumkan secara terbuka. Inilah saat yang tepat jika kakak saya memang benar-benar ingin menjadi guru. Maka dia bersemangat mendaftar.
Ada satu isu kecil, ijazah Akta IV belum keluar karena belum wisuda. Sementara itu, tenggat waktu pendaftaran PNS adalah sebelum hari wisuda tiba. Apa yang harus dilakukan? Saya menelpon kakak saya dari Sydney untuk diskusi hal ini. Di masa itu, komunikasi internasional masih cukup mahal, menggunakan kartu VoIP yang sesungguhnya sudah jauh lebih murah dibandingkan telepon biasa.
Saya ingat, waktu itu saya sarankan kakak saya untuk menghadap dosennya dan menceritakan duduk perkaranya. Intinya, dia perlu meminta surat keterangan lulus (SKL) sebagai pengganti ijazah agar tetap bisa mendaftar PNS. Dia pun melakukannya dan ternyata SKL berhasil diperoleh. Maka berkas lamaran guru pun telah siap. Sayangnya, setelah mencoba, ternyata SKL tidak bisa diterima oleh panitia.
Kakak saya berjuang untuk yang kesekian kalinya. Tidak mudah tentunya. Alam berpihak padanya, akhirnya ijazah bisa dikeluarkan sebelum wisuda. Maka dengan kebaikan orang-orang itu, kakak saya bisa mengajukan lamaran di hari terakhir. Semua sudah diperjuangkan dengan baik, semua sudah diusahakan dengan maksimal. Maka selanjutnya adalah mengikuti proses dengan baik dan mensyukuri apapun hasilnya.
Kakak saya dinyatakan diterima sebagai guru dan ditempatkan di Smp Negeri 1 Tabanan. Ini adalah sebuah sekolah yang paling diminati oleh para guru di Tabanan. Kakak saya bisa masuk ke tempat itu dengan cara yang sangat mulus, lancar tanpa hal misterius apapun. Saya memantau setiap hari perkembangan itu dari jauh. Dengan doa saja, tidak mampu dengan hal lainnya.
Ketika itu terjadi, tidak sedikit orang bertanya soal koneksi, soal orang dalam, soal sogok menyogok dan sebagainya. Saya faham kakak saya, saya tahu keluarga saya dan saya tahu ibu bapak saya. Saya berani menegaskan tanpa keraguan, semua itu terjadi dengan alami. Semua terjadi karena kemampuan kakak saya sendiri yang diberkati oleh Hyang Widhi. Tidak ada orang dalam, tidak ada uang sogokan, tidak ada juga intervensi dari koneksi atau relasi. Kami bukan siapa-siapa.
Saya tahu, kakak saya adalah seorang pekerja yang baik. Ingatan saya melayang ke tahun 1980an awal ketika kami sudah dilatih untuk membantu pekerjaan di rumah. Kakak sayalah yang menjadi teladan dalam menyapu, menyiram tanaman, ngepel dan memasak. Sementara saya adalah pelengkap saja. Tidak begitu rajin, kurang tekun tapi sedikit beruntung. Jika harus memilih, kakak saya tidak akan mengkategorikan saya sebagai anak yang rajin. Di matanya, saya mungkin adalah anak pemalas yang barangkali sedikit cerdas.
Ketekunan dan kesungguhannya dalam bekerja yang kemudian mengantarnya menjadi guru yang baik. Saya dengar dia disukai murid-muridnya. Dia juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri melalui berbagai pelatihan. Beberapa kali dia datang ke Jogja atau Solo untuk mengikuti pelatihan dan saya pun menjamunya. Rupanya itu tanda-tanda dia dianggap mampu dan diberi peran lebih.
Selain belajar, dia juga gemar mengajar, termasuk berbagi kepada teman sejawatnya. Oleh karena itulah dia bersemangat untuk menjadi guru yang bisa berbagi ilmu kepada guru lainnya. Itu juga yang kemudian mengantarkannya menjadi guru penggerak. Sebagai guru, dia sibuk dan jarang di rumah. Salut dan kagum saya pada ketiga anak-anaknya yang tidak menyusahkan hidup orang tuanya. Diah, Wulan dan Wibi sejatinya adalah pahlawan bagi ibunya. Itu menjadi salah satu faktor penting bagi perjalanan karier kakak saya yang melesat cukup cepat.
Salut saya juga kepada Bli Wayan, suaminya, yang mendedikasikan hidupnya untuk keluarga. Bli Wayan selalu ada ketika kakak saya tak sempat menjalankan kewajiban rumah tangga. Bli Wayan yang selalu hadir ketika kakak saya harus meninggalkan mobilnya di tengah jalan karena suatu perkara, sebab dia harus segera melakukan tugas lain. Bli Wayan yang selalu ada untuk menampung keluh kesah dan emosi yang tumpah ruah di rumah karena kakak saya terlalu banyak menjaga emosi di luar rumah. Di balik seseorang yang nampak cemerlang, ada pasangan yang sabar dan tegar menjadi fondasi keluarga. Itulah Bli Wayan.
Maka ketika saya dikabari bahwa dia punya peluang jadi kepala sekolah, saya bersyukur sekaligus yakin. Pekerjaan ini memang tepat untuk dia. Dari detik pertama saya mendengar hingga detik terakhir ketika dia dilantik, saya hanya berdoa. Sekali waktu kami berdiskusi ringan. Tidak ada bantuan dari saya sama sekali. Dia tidak membutuhkan bantuan apapun. Saya pun dengan sadar tidak melakukan apapun. Saya tidak memanfaatkan sama sekali persahabatan saya dengan orang-orang dikbud atau anggota dewan, sekalipun. Saya bahkan tidak bercerita sebelum kepastian datang bahwa kakak saya telah resmi menjadi kepala sekolah. Ini penting saya ceritakan karena satu atau dua selentingan mulai muncul bahwa konon saya ikut andil dalam menjadikan kakak saya sebagai kepala sekolah. Tidak semudah itu Ferguso. Saya tidak ‘sehebat’ itu.
Tadi pagi kami bercerita bertiga. Saya, kakak dan Meme’. Saya gembira mendengar celoteh kakak saya yang begitu semangat dalam menjalankan tugas barunya. Seperti biasa, Meme’ saya muncul dengan naluri seorang ibu yang menasihatkan “jangan terburu-buru, amati dengan baik dulu, jangan sampai kehadiran kita di awal pun sudah jadi ancaman bagi semua”. Sebuah nasihat yang sederhana namun mendasar. Saya tidak punya nasihat. Saya hanya percaya bahwa segala sesuatu akan jadi lebih baik jika seorang pemimpin tidak memiliki kepentingan pribadi. Saya tahu, kakak saya juga percaya itu.
Menjadi kepala sekolah memang adalah jabatan. Jabatan berarti kekuasaan. Tidak salah jika orang bilang bahwa kekuasaan harus diberi imbalan uang dan keuntungan. Meski demikian, saya ingat nasihat Uncle Ben di film Spiderman bahwa bersama dengan kekuasaan yang besar itu lahir tanggung jawab yang juga sangat besar. With great power comes great responsibility. Seperti MJ yang menyemangati Peter Parker, Sang Spiderman, ketika akan menyelamatkan dunia dari kejahatan, saya juga ingin mengucapkan hal yang sama kepada kakak saya “go get ‘em Tiger!”
Seorang adik