Tempo hari saya ngobrol dengan seorang sahabat yang putra-putrinya sudah dewasa. Keduanya sudah kuliah dan masing-masing memiliki perangai berbeda. Keduanya tidak begitu menenteramkan bapaknya. Setidaknya itu yang saya tangkap.
Yang pertama nampak begitu tidak peduli. Miskin kata-kata. Ditanya lebih banyak diam. Tidak protes, tidak juga menunjukkan persetujuan. Ini membuat bapaknya setengah putus asa. Yang kedua lain lagi. Sosoknya ‘liar’, cenderung memberontak. Tidak sungkan untuk menunjukkan penentangan dan perlawanan pada ayahnya.

Saya bisa rasakan keresahan sahabat saya ini. Pasalnya, ini bukqn hal aneh. Saya pun tak jauh dari itu. Keresahan bapak-bapak memang berputar-putar di urusan yang sama.
Dalih kami adalah khawatir akan masa depan anak. Aslinya, mungkin kami hanya egois saja. Klaim kami, anak-anak tidak peduli masa depannya sendiri. Aslinya, mungkin karena kami tidak paham saja dengan cara mereka menghadapi hidup. Bisa jadi kami terjebak di masa lalu dan memaksakan nilai kami untuk dianut di masa kini. Bisa jadi.
Maka ketika saya pikir ulang, mungkin perkaranya sederhana saja. Ada keterputusan dalam pemahaman. Ada komunikasi yang tidak bersambung antara anak dan bapaknya. Terdengar klise memang tapi saya kian menyakininya.
Maka ketika ditanya, apa mimpi terbesar saya tentang anak, saya bilang keutuhan hubungan, ketersambungan komunikasi. Itu saja. Hal buruk apa sih yang bisa terjadi jika bapak dan anak bisa tetap bertukar cerita? Hati saya mungkin tak akan pernah bisa menerima semua pandangan dan perilaku anak saya karena jurang generasi yang begitu lebar. Setidaknya, ketika cerita bisa mengalir di antara kami, ada jembatan yang setia menghubungkan.
Pada kenyataannya, masa-masa terbaik dalam hidup bukanlah ketika anak berprestasi tinggi. Masa terbaik adalah ketika kami bisa bercerita tanpa tema dan bertahan tidak saling mengabaikan kala jam telah berganti. Duduk berdua di sebuah warung kopi meskipun hanya saya yang makan dan minum karena selera kami bergitu berbeda, adalah salah satu kemewahan terakhir yang masih tersisa.
Tulisan ini saya persembahkan untuk bapack-bapack yang resah hidupnya. Yang tak kuasa menyatakan rasa cintanya pada putera-puterinya. Di sisa waktu yang tidak banyak ini, semoga bisa menemukan cara membangun jembatan di antara dua jiwa yang kadang asing. Semoga.
Terimakasih ceritanya, aku akan berusaha lagi belajar Materi UTBK dengan baik.