Ketika Lita Ikut Lomba Dharma Wacana Bahasa Inggris


Saya diminta jadi pembina lomba Dharma Wacana (ceramah keagamaan Hindu) dalam Bahasa Inggris bagi kontingen Kabupaten Sleman. Yang menarik, Lita jadi salah satu peserta kategori remaja. Saya sudah melihat tantangannya. Membina anak sendiri tidak pernah mudah.

Ada beberapa remaja yang terdaftar, sampai akhirnya harus dipilih satu dari dua yang ‘tersisa’. Lita salah satunya. Panitia Kabupaten Sleman menyerahkan sepenuhnya pada saya. Ini tidak mudah karena saya pasti subyektif. Bagaimanapun juga, ada relasi bapak-anak yang terlibat di situ. Pemilihannya tidak akan pernah obyektif 100%.

Maka ketika seleksi final dilakukan, saya minta salah satu panitia terlibat. Saya jelaskan duduk perkaranya dan beliau memahami. Akhirnya kami bersepakat memilih Lita. Saya berusaha obyektif dan ternyata panitia juga punya pandangan yang sama. Saya lega meskipun beban baru muncul setelah itu. Bagaimana kalau Lita tidak tampil maksimal?

Kerja keras dimulai. Materi Dhawa Wacana dibongkar ulang. Naskah final baru siap sehari sebelum lomba. Ada lima halaman 2 spasi dan sekitar 1200 kata. Saya pikir cukup banyak untuk dihafalkan oleh seorang anak kelas 3 SMP. Belum lagi soal pemahaman dan ekspresi. PR-nya banyak.

Saya membantunya menyelesaikan naskah. Ketika saya tanya adakah yang tidak dia pahami, dia bilang tidak ada. Saya mungkin terlalu khawatir, lupa kalau Lita sudah pernah menulis sebuah novel dalam Bahasa Inggris. “I think my vocab is better than yours” katanya berkelakar penuh kesombongan. Mengesalkan tapi memang bener juga sih hehe.

Jam 2 sore H-1 kami selesai menjilid naskah dan Lita belum hafal sama sekali. Naskahnya baru. Saya inginnya Lita langsung fokus latihan begitu sampai di rumah dari tempat penjilidan. Dia perlu konsentrasi dan kerja keras menghafalkan naskah.

Sampai di depan rumah, Lita melihat kucing terlantar dan perhatiannya penuh ke sana. Kucing dibawa pulang dan mau dirawat. Rasanya sangat gemes melihat semua itu. Pengen rasanya marah dan mengatakan “latihan dulu yang paling penting. Jangan ngurusin kucing dulu. Ini lomba soal agama, harus serius” dg nada tinggi. Namun saya urungkan. Melihat tingkah polahnya, saya takut kalau Lita menjawab “menolong makhluk hidup itu lebih agama dibandingkan lomba ceramah agama Yah”. Maka lebih baik diam saja mengikuti ritmenya.

Dia sibuk mau memberi makan kucing malang itu. Tidak ada susu. Tidak ada makanan untuk bayi kucing. Begitu saya sarankan ngasih susu Milo, dia bilang “are you going to kill him?”. Okay saya memang bukan ahli kucing. “If you want to be kind, you can buy him cat milk”. Saya tidak punya pilihan lain dan mengiyakan. “And a milk bottle too, please” katanya tanpa merasa bersalah. Anaknya siapa ini ya Gustiiii.

Saya melesat ke luar rumah membeli pesanan Lita. Sebelum menghilang, saya hanya bilang “I will do your request and you do your job. Please memorize and practice” kata saya dan segera disetujui. Saya tidak begitu optimis sebenarnya tapi memang tidak ada pilihan lain.

Sampai di rumah, Lita sedang membaca naskah. Penuh coretan dan stabilo. Not bad. Namun begitu saya sampai, dia sudah sibuk lagi bikin susu dan segera tenggelam dg urusan kucing. Gustiii berilah hamba kesabaran menghadapi anak semacam ini. Rasanya gemeees tapi mau apa lagi. Saya berusaha tenang dan terlihat sabar.

Melihatnya sibuk merawat kucing, saya makin khawatir. Kerja belum selesai dan Lita masih jauh dari siap. Saya tawarkan “can I help?” dan dia melihat saya dengan ragu “can you do it?” Tentu saja saya bisa. Saya juga penyayang binatang. Di masa kecil saya punya kucing, burung, bebek, menthok, tupai, anjing, you name it. Saya memberi makan bayi burung langsung dari mulut saya sendiri hingga mereka jinak dan dan menjadi sahabat saya, bukan sekedar hewan piaraan. Tentu saja saya tidak katakan semua itu karena itu akan membuat suasana tambah runyam. Saya hanya bilang “yes, I can do it and you go back to your dharma wacana”. Kini giliran saya tenggelam bersama kucing.

Lita hilang tanpa saya sadari. Saya panggil-panggil tidak menyahut. Saya tambah tobat rasanya. Kok bisa-bisanya anak ini menghilang ketika harus berlatih keras. Waktu berjalan cepat. Ketika saya teriak agak kencang, ada teriakan dari kamarnya di atas “Ayah, I am recording my speech”. Oh my God. Saya salah paham. Ternyata dia berusaha keras. “Oh, sorry. Please carry on” teriak saya penuh rasa bersalah. Saya hanya dengar lenguhan tanda mengeluh karena saya telah mengganggu proses rekamannya.

Sejak itu, saya kadang lewat di depan kamarnya yang tertutup dan sayup-sayup mendengar dia berlatih. Okay, not bad. Not bad at all. Sementara itu, setiap beberapa menit saya harus memastikan memberi susu pada si kucing Malang. Kelak, kucing itu diberi nama Comel. Terjadi pembagian tugas yang baik di antara kami. Satunya sibuk berlatih pidato Bahasa Inggris, satunya lagi merawat kucing. Yang janggal adalah bagian “siapa mengerjakan apa”. Ah, sudahlah!

Menjelang malam, kami ke Pura Dero. Malam itu adalah pertemuan terakhir dan gladi bersih. Saya mengajak Lita ke Pura dengan harap-harap cemas. Dia harus tampil di depan orang-orang sebagai tanda bahwa dia siap tampil esok harinya. Lita nampaknya belum begitu siap tapi apa mau dikata. Harus tampil dan harus mau. Perjalanan ke Pura terasa menegangkan.

Berita pertama yang saya terima sesampainya di pura cukup menggelisahkan. Anak yang ‘dikalahkan’ Lita saat seleksi tempo hari ternyata tetap ikut lomba tetapi mewakili Kota Yogyakarta, sedangkan Lita mewakili Sleman. Mengapa gelisah? Tentu saja gelisah. Bagaimana kalau Lita kalah oleh dia? Kalah menang memang tidak apa-apa tetapi akan terasa aneh sekali karena saya telah ‘memenangkan’ Lita di seleksi sebelumnya. Karena Lita adalah anak saya, tentu bukan tidak mungkin saya akan kelihatan tidak obyektif ketika memutuskan untuk memenangkan Lita di seleksi sebelumnya. Galau, tapi berusaha tetap tenang. Saya sampaikan secara jujur kekahawatiran itu dan Lita nampaknya mengerti.

Pada saat Lita tampil gladi, dia masih jauh dari siap. Ini bukan gladi bersih. Ini gladi kotor yang belum disapu, apalagi dipel. Ini gladi berantakan. Namun saya harus tetap positif dan memberi dorongan. Saya bilang secara jujur dalam perjalanan pulang “you have to work hard, Lita. You are still far away from ready” dan dia hanya mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya.

Sampai di rumah, kami memintanya untuk berlatih lagi. Saya dan Asti, yang dari tadi tidak di rumah, kini menonton serta menilai. Mungkin karena Lelah dan juga karena malas ber-acting, Lita tampil tidak begitu meyakinkan. Hanya karena ingin positif, kami mengapresiasinya sambil berusaha mencari cara bagaimana agar dia mau belajar lebih keras lagi. Sementara itu, lombanya kurang dari 12 jam lagi keesokan harinya.

Yang tidak mudah bagi Lita adalah sloka atau ayat kitab suci yang harus dikutipnya. Tidak mudah menghafalkannya dan sayapun memang tidak menguasai. Karena itulah saya tidak punya otoritas untuk banyak omong, apalagi complain atau memarahi. Akhirnya saya sarankan agar Lita menuliskan sloka yang dimaksud dan nanti dibacakan ketika tampil. Dia melakukannya. Saya bayangkan nanti Lita tampil tanpa teks lalu membaca hanya ketika mengutip sloka.

Malam kian larut. Silih berganti antara berlatih dan mengurus kucing, Lita Nampak jauh lebih bersemangat ketika memberi makan si Comel. Namun mungkin dia mendapat energi dari situ maka saya biarkan saja. Malam sebelum tidur Lita mencoba lagi. Kini dengan perasan yang jauh lebih baik sehingga dia nampak tenang. Itulah titik awal saya merasa percaya. Saya yakin Lita telah berusaha maksimal dan kami bisa tidur cukup nyanyak.

Keesokan harinya di lokasi lomba, Lita mendapat nomor undian pertama untuk kategori Dharma Wacana Bahasa Inggris. Saya pikir lebih baik demikian, daripada tampil belakangan dan terintimidasi oleh peserta lain yang tampil baik. Semoga memang demikian kenyataannya.

Saat tampil dan siap di depan microphone, juri memotong. “Since you have not submitted your text, please let us know the topic first” kata seorang Juri. Saya yang menonton jadi agak panik. Saya sudah menyerahkan naskahnya kemarin sesuai dengan instruksi panitia Kabupaten Sleman. Apa terselip atau panitia lupa memberikan kepada dewan juri? Saya tidak tahu dan di situ tidak ada satu panitiapun dari Sleman. Saya berusaha menelpon orang yang saya kenal, tidak diangkat. Di tengah kepanikan itulah kemudian saya mendengar ucapan “I have already submitted the documents”. Ternyata Lita merespon jurinya dengan baik dan dilanjutkan dengan percakapan dan penjelasan yang agak panjang. Singkat cerita, juri kemudian menemukan naskah Lita yang tertumpuk oleh dokumen lain. Ini adalah permulaan yang tidak begitu baik. Saya hanya berharap Lita menguasai diri dengan baik.

Lita tampil baik. Lebih tenang dari yang saya bayangkan. Penuturannya lancar, pronunciation-nya bagus dan intonasi juga dapat. Bagi saya, bisa tampi baik seperti saat berlatih adalah yang terbaik. Menjadi juara adalah bonus dari kerja serius. Tidak lebih dari itu. Tapi sejujurnya, tentu semua orang tua akan senang jika anaknya mendapatkan juara dalam kompetisi. Ini alami dan manusiawi. Setidaknya bisa disombongkan di arisan keluarga dan kantor.

Saya juga sempat melihat perserta lain meskipun tidak semua. Saat lomba itu berlangsung, saya juga harus menyelesaikan sebuah naskah untuk seorang petinggi UGM yang akan tampil sebagai chair sebuah acara di Tiongkok. Sebenarnya itu bukan kewajiban saya tetapi beliau mempercayakan hal itu kepada saya karena dianggap sesuai bidangnya. Sebuah kehormatan. Temanya terkait Belt and Road Initiative (BRI) yang fenomenal itu. Maka sayapun tenggelam membaca, menerenung dan menulis tidak kurang dari 6 halaman (1600an kata) sehingga tidak bisa menyaksikan keseluruhan lomba yang Lita ikuti.

Ketika Lita keluar dari ruangan, saya pun telah menyelesaikan naskah yang dimaksud dan sudah saya serahkan kepada beliau yang akan menggunakannya. Selanjutnya saya habiskan waktu untuk bercakap-cakap membahas pelaksanaan lomba. Lita cukup yakin bahwa dia tampil bagus. “In terms of grammar and pronunciation, I think I am better than the others” katanya yakin. Saya pun tidak meragukan itu. “Who is your most potential competitor?” tanya saya lagi suatu ketika. Dia menyebut sebuah nama, seorang anak SMA yang katanya tampil begitu bersemangat, dan expresif. “But her grammar and pronunciation is not perfect” katanya menambahkan. Saya bisa memahami. Anak yang sedang bicara ini adalah seorang penulis novel berbahasa Inggris dan menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya.

Lita mendapatkan juara dua ketika para hasil lomba diumumkan. Kami semua senang. Saya bangga tidak saja karena hasilnya tetapi yang terpenting adalah karena prosesnya. Saya bilang ke Lita, “I love these two days” dan dia tanya “why?” “Because I spent my almost entire two days with you. Something that I have not done in a very long time”. Lita hanya mengagguk. Ketika pengumuman sudah dilakukan, kami berkelakar soal banyak hal seperti kucing, latihan, makanan dan teman-temannya yang ikut lomba. Saat pengumuman itu, kami full team. Saya, Asti dan Lita bersenang-senang dan merayakan sebuah kerja keras dan kebersamaan keluarga.

Siapa yang juara 1? Anak SMA yang diduga Lita menjadi kompetitor utamanya. Saya tidak terkejut dan Lita pun menerima dengan baik. Dia layak mendapatkan juara. Satu pelajaran positif dari semua ini adalah bahwa Bahasa verbal bukan satu-satunya faktor dalam komunikasi. Saya selalu menekankan ini. Hanya karena Lita paling bagus grammar dan pronunciation-nya, bukan berarti dia dianggap yang terbaik dalam menyajikan pesan. Dalam komunikasi, yang keluar dari mulut kita hanya 10% perannya, demikian kata Alexander Hitchin di film Hitch (2006). Jika itu benar maka grammar yang baik serta pelafalan yang sempurna hanya berperan 10%. Selebihnya adalah nada, intonasi, gestur, bahasa tubuh dan sebagainya. Rupanya, ini yang menjadikan Citra, anak SMA yang diceritakan Lita itu, menjadi juara 1. Saya yakin juri telah melakukan tugas dengan semestinya dan memilih yang terbaik.

Tiba-tiba saya ingat ucapan Lita ketika berlatih “somehow, I don’t want to win, Yah.” “Why?” tanya saya penasaran. “I would have to prepare for the national competition. It is not in Jogja but in Ambon. And it will be next year when I will have to prepare my Ujian Nasional. It will be so hard.” Meskipun waktu itu saya berusaha meyakinkan dia untuk tetap menampilkan yang terbaik, saya bisa mengerti kerepotan yang akan ditimbulkannya. Maka, hasil malam ini adalah yang terbaik. Selamat Lita!

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Ketika Lita Ikut Lomba Dharma Wacana Bahasa Inggris”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?