Tipuan-Tipuan di Media Sosial


Saya bertemu seorang kawan yang begitu hebat. Sudah lebih dari lima tahun saya mengenalnya dan kekaguman saya tidak berhenti. Hal lain yang juga saya kagumi dari dia adalah keluarganya yang begitu istimewa. Istrinya sangat mendukung dan bijaksana dan kedua anaknya yang pintar dan ceria. Tentu saja semua itu saya ketahui dari ungahan-ungahannya di Facebook. Kami memang terpisah benua.

Pertemuan saya di suatu tempat di Indonesia beberapa waktu lalu mengejutkan. “Anak-anak saya malas betul belajarnya” kata kawan ini setengah berkelakar. “Kalau anaknya Bli Andi, sih luar biasa ya” katanya lagi lebih mengejutkan. Saya merenung. Anak-anaknya yang saya lihat begitu cerdas dan istimewa itu ternyata dikeluhkannya. Sementara itu, saya memang merasa Lita cukup baik, tetapi terus terang saja, saya juga sangat sering merasakan dan melihat hal-hal yang tidak menyenangkan. Istilah “luar biasa” sangat berlebihan, jika saja kawan saya ini tahu apa yang terjadi dalam keseharian hidup kami.

Saya mengenal seseorang yang tinggal di sebuah negara maju. Jika melihat postingannya di IG saja, saya akan salah memahami kehidupan keluarganya. Di IG, semuanya serba glamor, serba hebat, serba rukun dan tak ada duka lara. Di kehidupan sehari-harinya, saya melihat mereka sering bertengkar karena hal-hal sepele.

Apakah kita semua berbohong di media sosial? Apakah kita semua menebar tipuan di internet? Tiba-tiba saja saya ingat apa yang disampaikan oleh seorang penulis dan aktivis dari Chili, Isabel Allende. Dia mengutip sebuah ungkapan “apakah yang lebih benar dari kebenaran?” “what is truer than truth” katanya dalam sebuah sesi TED Talk. Dia melanjutkan dengan jawabannya, “cerita”, katanya. “Answer: the story” ungkapnya meyakinkan. Mendengar itu, saya berpikir sebentar, tidak menemukan hubungan yang mudah dipahami dalam pernyataan itu.

Pemahaman saya kemudian terbangun setelah Isabel melanjutkan. Kita ternyata hampir tidak pernah mengetahui sebuah kebenaran sejati. Jika tidak mengalami sendiri, kita sebenarnya tidak pernah tahu suatu hal secara utuh seratus persen. Kita mendapatkan kebenaran dari cerita. Cerita itulah kebenaran di mata kita dan itu tentu lebih benar dibandingkan kebenaran itu sendiri yang sebenarnya tidak pernah kita ketahui. Setiap orang punya pendapat masing-masing tentang pandangan ini tetapi saya memilih untuk menyetujuinya.

Di media sosial pun demikian. Semua itu adalah cerita yang di mata pembaca menjadi kebenaran yang ‘lebih benar’ dibandingkan kenyataan. A story about a truth is truer that the truth itself. Apakah itu berarti ada usaha sengaja untuk menipu? Saya tidak melihatnya demikian. Itu terjadi karena kemampuan seseorang untuk menyajikan kebenaran dalam bentuk cerita memang terbatas. Secara alami, kita tidak pernah bisa menyampaikan kenyataan secara utuh 100%. Pasti ada yang tidak tersampaikan, entah sengaja entah tidak. Inilah yang menyebabkan kenyataan akan berbeda dengan cerita. Dan menurut si pendengar atau pembaca, cerita itu adalah yang menjadi kenyataan atau kebenaran itu sendiri.

Faktor lain adalah asumsi pembaca sendiri. Kesalahan paling fatal adalah ketika menganggap sebuah posting di media sosial adalah gambaran keseluruhan dari si pemilik posting. Asumsi, seperti ungkapan para bule, adalah sumber malapetaka. Kata meraka “assumption is the mother of all the f*ck ups”.

Menariknya, menurut saya, malapetaka lebih sering terjadi bukan karena kesengajaan berbohong oleh si pemilik cerita tetapi karena asumsi dari pembaca cerita. Si penulis cerita bisa jadi tidak berbohong sama sekali tetapi dia hanya menampilkan potongan-potongan kebenaran atau kejadian yang dianggapnya menarik untuk diceritakan. Tentu saja seorang ayah akan memposting cerita tetang anaknya yang suatu hari berprestasi di sekolah. Ayahnya tidak menipu dan tidak berbohong karean itulah faktanya. Masalahnya, si pembaca kemudian berasumsi bahwa anak itu tidak pernah nangis, tidak pernah malas bangun pagi, kalau makan tidak ada drama, kalau mandi selalu menimba air di sumur sendiri, tidak pernah ada masalah dengan kecanduan gawai, kalau ngaji selalu rajin tidak pernah disuruh, merapikan kamarnya sendiri setiap pagi, tidak penang meninggalkan handuk basah di atas tempt tidur, pokoknya suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Semua itu asumsi.

Jadi adakah yang menipu? Mungkin ada tetapi yang pasti, sangat banyak yang tertipu di dunia maya. Mereka tidak tertipu oleh orang lain, tetapi oleh asumsinya sendiri. Ini yang mungkin lebih tepat disebut menipu diri sendiri.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Tipuan-Tipuan di Media Sosial”

    1. Komen Ini adalah contoh nyata dari tulisan di atas. Pembaca punya hak untuk mempersepsikan apa saja. Dan itu menunjukkan kualitas dan isi pikiran si pembaca.

  1. Aduh bli, aku sampe mendadak blank. Lupa mau komen apa, hehehe. Intinya sih aku setuju ama postingan bli. Klo boleh menambahkan: jadilah pembaca yg biasa2 saja dlm menyikapi paparan kehidupan orang lain di sosial media. Tidak perlu mengartikan apa yg bukan kode apalagi termakan asumsinya sendiri.

  2. Kalau pendapat saya pak Andi. Yang ditampilkan di media sosial itu ibaratnya penampilan di panggung yang memang sudah diseleksi untuk ditampilkan. Saya tidak pernah tahu perjuangan sebenarnya di belakang panggung. Dan itu sah-sah saja. Saya pribadi pun juga menampilkan apa2 yang sekiranya emang saya suka di medsos. Terserah orang mau mikir apa. Hahaha.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: