Ruangan Balai Senat UGM penuh sesak oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Jogja. Mereka telah menunggu tidak kurang dari 1 jam sebelum akhirnya Menteri Luar Negeri RI, Ibu Retno Marsudi, tiba di ruangan. Gemuruh tepuk tangan dan teriakan bernuansa histeris terdengar menyambut Ibu Menteri yang memasuki ruangan dengan tenang dan tersenyum akrab.
Hari itu, Bu Retno mengenakan baju putih sederhana, dipadu dengan celana hitam hingga bawah lutut dan sepatu sporty. Gayanya memang santai dan gaul, cocok dengan kerumunan peserta kuliah umum yang mayoritas milenial. Sementara itu, saya duduk mengamati dengan seksama di deretan bangku paling depan, awas mengamati proses, siap sedia jika terjadi sesuatu yang membutuhkan intervensi. Saya adalah panitia yang dituntut selalu siaga.
Sebelum memasuki ruangan Balai Senat yang sakral, Bu Retno, melakukan courtesy meeting (CM) dengan Wakil Rektor Kerja Sama dan Alumni UGM, Dr. Paripurna Sugarda. CM berlangsung hangat, layaknya dua sahabat lama bertemu. Cerita-cerita tak begitu serius, dihiasi dengan kisah seputar masa muda dan masa kuliah beliau di UGM tiga dekade silam. Bu Menteri memang pulang kembali ke kotanya, Jogja.
Yang menarik, Bu Retno melayani banyak orang yang menemuinya. Sebelum CM, beliau menyempatkan berdiskusi dengan Crew Film Tengkorak sambil berkelakar. Di kesempatan lain beliau nampak berpelukan akrab dengan seorang ibu-ibu yang belakangan saya tahu adalah teman kos beliau di masa kuliah. Beliau juga menyempatkan diri untuk memberikan ‘endorsement’ untuk sebuah acara yang digagas oleh sekelompok alumni dari Fakultas Hukum. Maka demikianlah, beliau mendediksikan waktunya untuk banyak hal yang nampak sederhana. Semua itu mencerminkan kepribadiannya yang memang terbuka dan rendah hati.
Acara di Balai Senat UGM dibuka oleh Bapak Paripurna selaku wakil rektor. Beliau menyampaikan sambutan yang sangat bersahabat namun penuh penghormatan dan professional. Pak Parip dengan sempurna menyeimbangkan antara kehangatan pertemanan almamater dengan kemampuan untuk menjadi professional dalam menghormati tamu dan pejabat negara. Maka terciptalah suasana akrab dan segar tapi hangat di ruangan itu. Pujian, guyon, keseriusan dan muculnya harapan terdengar silih berganti menjadikan sambutan itu terasa sempurna.
Alunan lagu KLA Project “Jogjakarta” terdengar mengalun mengantarkan Ibu Retno menuju panggung. Sontak hadirin bergemuruh dengan tepuk tangan. Terus terang, bagi saya pun yang merasa tahu betul urutan acara hari itu, lagu itu muncul sebagai kejutan yang segar dan menghadirkan perasaan damai positif. Di saat seperti itu, ada rasa berhak untuk bangga menjadi alumni padepokan Gadjah Mada. Ada rasa berbeda ketika mengingat diri sebagai almamater Kota Gudeg ini.
Presentasi Bu Menlu berisi banyak foto dan memang hanya foto. Kalaupun ada teks, sangat minimal dan tidak pernah mendominasi sebuah halaman slide. Ini model presentasi yang saya idolakan. Sungguh. Dalam beberapa slide awal, Bu Retno memberi ilustrasi aktivitas Kemlu yang sekilas tidak terlihat sebagai kegiatan diplomasi. “Apakah ini diplomasi?” kata beliau di setiap foto dan dilanjutkan dengan tegas “Ini diplomasi!” dan diiringi sebuah tagar besar yang mengambil alih tampilan.
Di satu slide, Bu Retno menunjukkan sebuah foto beliau sedang duduk dan bercakap-cakap dengan pekerja perkebunan sawit di pedalaman Malaysia. Rupanya itu adalah sekelompok tenaga kerja Indonesia yang tengah berjuang menyambung hidup. Bu Menlu menegaskan, diplomasi tak selalu berarti mengenakan jas yang licin mengkilat, pidato gagah, salaman dan makan mewah. Diplomasi adalah juga berarti turun ke bawah, masuk ke pedalaman kebun sawit dan bertemu warga negara kita untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi. “Apakah ini diplomasi? Tentu saja ini diplomasi”, kata beliau menegaskan dan disambut tepuk tangan hadirin.
Dari kursi peserta saya menyimak takzim. Saya paham betul, Bu Retno hendak meluruskan persepsi masyarakat awam tentang diplomasi selama ini. Bahwa diplomasi bisa jadi adalah keseharian kita dalam konteks yang berbeda. Yang pasti, diplomasi bisa dalam bentuk apa saja tetapi pada akhirnya diplomasi harus memberikan kebaikan. Tidak saja kepada bangsa kita tetapi juga pada dunia secara umum. Bu Retno menegaskan, kita adalah bangsa yang gigih memperjuangkan manfaat dan kebaikan bagi bangsa sendiri tetapi kita tidak mengabaikan nasib dan perasaan bangsa lain. Ketika memperjuangkan kepentingannya, Indonesia juga senantiasa memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan secara sengaja.
“Saya tidak tahu lagi ini hari apa dan tanggal berapa” kata Bu Retno tiba-tiba di tengah kuliahnya. Saking sibuk dan padatnya agenda beliau, rupanya kontrol terhadap hari dan tanggal menjadi lebih lemah dari biasanya. “Yang saya tahu adalah saya bekerja dan saya harus berpindah tempat bahkan lintas benua dalam hitungan jam. Pokoknya setiap hari rasanya hari Seniiiiin terus” kata Bu Menlu setengah berkelakar. Ketika berjuang untuk posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, misalnya, konon Bu Retno harus melakukan lobby bertahun-tahun dengan berbagai negara dan di beberapa bulan terakhir harus rela terbang ke sana ke mari dalam hitungan jam. Siang harus ada di sebuah negara lain, sore atau malam harus bersiap-siap di New York untuk melakukan komunikasi dan lobby. Wajar jika Bu Retno merasa lupa hari dan tanggal. Semua itu tentu saja dibayar tuntas ketika Indonesia ditetapkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB melalui voting.
Bu Retno menyoroti dunia yang akrab dengan berbagai persoalan. Indonesia harus menjadi bagian dari solusi terhadap persoalan dunia, bukan menjadi bagian dari persoalan dunia itu sendiri. Secara filosofis beliau menjaskan pandangannya bahwa dalam berbagai situasi kita mengalami kesulitan besar dan kecil. Yang terpenting, kata beliau, kita jangan sampai kehilangan harapan. Never lose hope, demikian tegasnya.
Di tengah keseriusan beliau memberi kuliah, tiba-tiba Bu Retno menyajikan sebuah intermezzo. “Saya juga mau menyapa teman-teman mahasiswa yang saat ini ada di luar ruangan ini. Banyak yang terpaksa nonton acara ini dari layar TV di Balairung karena tidak kebagian kursi.” Sontak sapaan itu disambut teriakan histeris peserta di Balairung yang terdengar jelas dari Balai Senat. Kini giliran peserta di Balai Senat yang histeris karena terbawa semangat teman-temannya yang di luar. Bu Retno menyambut ‘kegirangan’ yang terjadi dengan berkelakar “okay nanti saya tegok ke bawah. Kita selfie ya”. Tentu saja ucapan itu membuat massa di Balairung UGM makin histeris. Lagi-lagi teriakan mereka disambung dengan teriakan massa di Balairung. Dua kumpulan masa itu terhubung oleh kelakar Bu Menteri.
Di kesempatan lain, Bu Retno bercerita serius soal Palestina dan Afganistan. Palestina, kata beliau, ada dalam urat nadi semangat diplomasi Indonesia. Pembelaan kita terhadap Palestina tidak hanya di bibir saja tetapi menjadi landasan bagi banyak tindakan kita di forum negosiasi dunia. Posisi Indonesia jelas dan tegas bahwa Indonesia menunjukkan keberpihakan dan pembelaan terhadap Palestina. Bu Menlu juga bercerita soal dukungan Indonesia dalam berbagai bentuk kepada Palestina, disertai gambar-gambar yang menunjukkan interaksi kedua negara.
Kuliah yang berlangsung sekitar 45 menit itu terasa singkat dan tiba-tiba sudah berakhir dengan berkumandangnya lagu Gebyar-Gebyar milik almarhum Gombloh yang fenomenal itu. Sontak ruangan menjadi riuh oleh semangat dan tepuk tangan membahana mengakhiri pemaparan Bu Retno yang memikat. Sesi tanya jawab tidak saja melibatkan pertanyaan langsung di ruangan tetapi juga pertanyaan yang disampaikan lewat Twitter. Bapak Paripurna yang juga berperan sebagai moderator mengantarkan diskusi dengan sangat baik. Beliau mampu memadukan kelakar dan keseriusan sehingga menjadi satu hiburan yang menawan.
Bu Retno tidak selalu menjawab pertanyaan dengan serius dan panjang lebar. Sekali waktu beliau menjawab dengan kalimat singkat namun dalam dan tajam. Ketika ditanya dampak keberhasilan Asian Games, Asian Paragames, dan Sidang Tahunan IMF terhadap hubungan Indonesia dengan negara lain, Bu Retno hanya menjawab “dampaknya horeee” sambil mengepalkan tangannya ke udara. Jawaban singkat itu seperti merangkum banyak hal baik dan disambut oleh meriahnya tepuk tangan hadirin.
Kuliah umum ditutup dengan pernyataan final Bu Retno yang menitipkan Indonesia kepada anak-anak muda. Selepas itu beliau menyerahkan hadiah kepada para penanya dan dilanjutkan dengan foto-foto. Begitu ada satu dua orang peserta yang ingin berfoto dan dilayani oleh Bu Retno, belasan, puluhan dan ratusan orang segera bergerak dan berkerumun. Dalam sekejap Bu Menteri yang memang cukup mungil itu tenggelam di kerumunan anak-anak muda yang begitu bersemangat. Ada yang minta selfie, ada yang minta temannya mengabadikan, ada juga yang mengabadikan video.
Pelan-pelan, atas kesigapan petugas keamanan dan pihak protokol, Ibu Retno, berhasil ‘diselamatkan’ dari kerumunan peserta di Balai Senat UGM dan diajak turun menemui peserta yang telah menunggu dengan tidak sabar di Balairung. Ratusan orang berkumpul dan berteriak histeris begitu melihat Bu Retno muncul di tangga menuju Balairung. Maka massapun sulit dikendalikan dan dalam sekejap Ibu Menlu tenggelam lagi dalam kerumunan anak-anak muda yang penuh apresiasi pada menteri luar negeri mereka.
Di depan Gedung Pusat UGM, di tangga Balairung, akhirnya ratusan peserta kuliah umum itu bisa diatur tertib untuk berfoto bersama Bu Menlu. Tentu saja ketertiban itu berlangsung hanya beberapa menit dan sejurus kemudian beliau untuk kesekian kalinya tenggelam dalam kerumunan anak muda yang penuh energi. Petugas keamanan dan protokoler harus bekerja sangat keras untuk mengeluarkan Ibu Menlu dari kerumunan itu dan mengantarkan beliau ke mobil yang dari tadi menunggu.
Meski dengan susah payah, akhirnya Bu Menlu berhasil masuk mobil dan pintu segera ditutup. Beberapa detik setelahnya, terlihat pintu kaca terbuka. Ketika mobil mulai bergerak meninggalkan halaman depan Balairung UGM, Bu Retno melambaikan tangan sambil tersenyum dan mohon pamit. Kerumunan massa yang masih setia bertahan di depan Balairung dengan antusias melambaikan tangan dan melepas Sang Menteri dengan wajah puas terobati. Satu dua orang masih menyempatkan diri menyentuh atau bahkan menyalami tangan Bu Menlu yang tengah melaju dengan mobilnya yang berwarna hitam.
Dari jarak yang aman, saya tak lepas mengamati semua yang terjadi. Melihat senyum beliau yang lepas dan wajahnya yang bersinar, tidak sulit untuk menyimpulkan betapa senangnya beliau telah berbagi dan mendapat apresiasi dari mahasiswa. Menyaksikan beliau pergi, saya seperti memahami satu hal bahwa ini diplomasi ala Indonesia yang disajikan dengan apik oleh seorang menteri luar negeri: Retno Marsudi.
PS
[1] Sebuah Catatan dari Kuliah Umum “Ini Diplomasi” oleh Menlu Retno Marsudi di Universitas Gadjah Mada tanggal 26 Oktober 2018
[2] Penulis adalah dosen Teknik Geodesi UGM, Kepala Kantor Urusan Internasional UGM, Anggota Eminent Persons Group Indonesia-India 2015-2016. Ini adalah pendapat pribadi.
Awesome Pak Andi. Saya terinspirasi dari Bapak untuk mengabadikan setiap event-event yang saya hadiri dalam bentuk tulisan seperti ini. Namun memang diperlukan kedisiplinan dan kemauan yang kuat untuk menjalaninya. Terima kasih Pak Andi.
Terimakasih sudah berbagi ilmu. Salam kenal
Sayang sekali pas kemarin bapak sharing di singapadu saya tidak bisa ikut,
Ngih semoga lain kali bisa ketemu 🙂