Saya tertegun setelah berbicara di telepon dengan Pak Suyastra, mantan Kepala SMA 3 Denpasar, almamater saya. Meskipun sudah 22 tahun menamatkan sekolah, komunikasi kami masih baik. Pak Suyastra acap kali menghubungi saya untuk berbagai perihal, serius maupun tidak. Kali ini agak serius, beliau mengabarkan kondisi seorang adik kelas kami.
Maetha namanya. Dia baru saja dinyatakan diterima di Fakultas Hukum UGM lewat jalur tanpa tes (SNMPTN). Kegirangan saya menerima kabar itu sontak berubah jadi kesedihan karena konon dia dan orang tuanya tidak punya uang sama sekali. Mimpinya terancam kandas. Maetha mungkin tidak bisa meraih mimpi yang sebenarnya sudah di depan matanya. “Pokokne bapak ngidih urip ken Andi [Bapak meminta nyawa sama kamu]” kata Pak Suyastra setengah memohon. Beliau dengan tulus ingin membantu tetapi tidak tahu caranya. Beban itu kini ada pada saya. Sebuah beban mulia.
Saya tidak kenal Maetha. Tidak ada hubungan darah dan kerabat. Sebetulnya dengan mudah saya bisa mengatakan “maaf saya tidak bisa membantu”. Kalaupun saya ‘memaksakan’ diri untuk menyisihkan sebagian uang, pendidikan tentu tidaklah murah. Masa studinya antara tiga sampai empat tahun tentu melahirkan konsekuensi panjang. Saya belum siap untuk itu. Godaan untuk menyerah datang dengan serius.
Memikirkan Maetha, ingatan saya melayang ke suatu masa 22 tahun lalu ketika saya datang ke Jogja sebagai calon mahasiswa. Mirip dengan Maetha, saya diterima di UGM lewat jalur tanpa tes yang waktu itu dikenal dengan PBUD. Saya tidak kenal siapa-siapa di Jogja. Orang tua saya pun tidak bisa membantu banyak. Ibu saya yang hanya lulus SD dan bapak yang bahkan tidak lulus SD tidak memberi banyak harapan. Ketika itu, saya memenuhi banyak persyaratan untuk tidak melanjutkan sekolah di UGM. Tapi toh saya tidak urung.
Dua puluh dua tahun lalu, ada seorang lelaki bernama Pak Pande yang menjadi salah satu titik terang. Dari seorang kawan, saya tahu beliau seorang dosen di UGM. Beliaulah yang menjemput saya di Terminal Umbulharjo pada pertengahan tahun 1996 silam. Saya belum kenal dengan Pak Pande dan tentu beliau pun belum tahu saya. Hanya gara-gara teman saya yang kenal beliau, saya mendapat perlakuan ‘istimewa’ itu.
Di rumah beliau yang sangat ramah di Blunyah, saya tinggal lebih dari dua minggu. Tanpa membayar dan dengan fasilitas yang sangat baik. Yang paling penting, beliau mengenalkan banyak nilai baik pada saya. Bagi saya, beliau adalah profil khas insan UGM. Bahwa investas paling ideal adalah kebaikan dan untuk menanamnya, tidak harus saling kenal. Tiba-tiba saya seperti ditampar. Tidak harus jadi kerabat untuk berbuat baik. Situasi Maetha saat ini jauh lebih serius dibandingkan saya dulu. Dia memerlukan bantuan tanpa harus ditanya latar belakang dan kekerabatannya. Jika saya ingin membalas kebaikan Pak Pande di masa lalu, mungkin saya harus melakukannya dengan pay forward, berbuat baik pada Maetha.
Saya menelpon Maetha yang saat itu masih di Bali. Percakapan singkat itu meyakinkan saya bahwa ada seorang anak muda Indonesia di Bali yang cemerlang dan punya potensi memperbaiki hidupnya atau mungkin bahkan nasib bangsa ini. Semua harapan itu bisa saja sirna dan terkubur jika orang-orang seperti saya memilih untuk tidak peduli. Maka dengan segera saya memutar otak. Saya mencoba mengingat-ingat nama orang dan kejadian.
Yang pertama muncul dalam ingatan saya adalah beasiswa. Saya tahu, anak yang punya kemampuan akademik baik tapi tidak mampu secara ekonomi berhak atas Beasiswa Bidikmisi. Ada satu nama yang setidaknya muncul di benak saya waktu itu: Kadek Sudi. Kadek adalah mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang mendapat dukungan penuh Beasiswa Bidikmisi. Kadek Sudi berasal dari keluarga yang kurang mampu. Dia ditinggal oleh ayahnya saaat umur tiga bulan dan ditinggal ibunya menikah lagi saat dia kelas 1 SD. Di masa kecil, Kadek diasuh oleh kakek nenek dan seorang paman di sebuah desa terpencil. Kini Kadek menjadi salah satu mahasiswa cemerlang di FH UGM dengan dukungan Beasiswa Bidikmisi.
Dengan antusias Kadek menyatakan siap membantu ketika saya ceritakan soal Maetha. “Peluangnya sangat besar Pak” katanya meyakinkan saya bahwa Maetha bisa mendapatkan beasiswa itu. “Kalaupun tidak dapat Bidikmisi, di UGM ada ratusan beasiswa Pak. Pasti dapat, kok!” katanya meyakinkan saya. Hal yang sama juga ditegaskan seorang dosen muda di FH yang saya kenal baik. Semua optimis dan positif. Saya merasakan setitik harapan. Sayapun mulai berkomunikasi dan memberi berbagai saran untuk dijalankan Maetha. Dia ternyata sudah mendaftar Bidikmisi.
Saya tidak berhenti di situ. Selama kepastian tentang beasiswa belum ada, saya wajib memastikan Maetha bisa memulai pendidikannya di UGM. Dana yang dibutuhkan di awal masuk ternyata hanya 5 juta rupiah. Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 2,5 juta per semester, uang transportasi dari Bali ke Jogja sebesar 500 ribu dan biaya hidup di bulan pertama sekitar 1,5 juta. Saya sudah membulatkan tekad untuk mengusahakan dana sebesar itu.
Tiba-tiba saya teringat kawan-kawan saya, alumni SMA 3 Denpasar yang sebagiannya juga alumni UGM. Di sebuah grup saya bercerita dan dalam waktu kurang dari seminggu, kami sudah mengumpulkan 8 juta rupiah. Dengan ini, Maetha akan bisa memulai perjalanannya meraih mimpi di Padepokan Gadjah Mada. Saya kian sadar, dunia memang bergerak maju karena niat baik dan persahabatan. Bahwa mereka yang telah diangkat derajat hidupnya oleh pendidikan sesungguhnya punya kewajiban moral untuk mengangkat derajat hidup generasi berikutnya dengan memastikan mereka memperoleh pendidikan.
Yogyakarta, 25 April 2018
Mata saya nanar menatap layar HP. Di situ tersembul sebuah pesan dari Maetha. Dia baru saja mengabarkan bahwa dia mendapatkan Beasiswa Bidikmisi dan berhak kuliah di UGM dengan tidak membayar sepeserpun. Dia bahkan mendapatkan bantuan biaya hidup selama kuliahnya. Saya bersorak girang dalam hati. Tak terasa bola mata saya terasa menghangat dan ada yang pecah menetes bersama haru. Di negeri ini, keadilan sosial tak hanya slogan. Negara hadir untuk anak-anak cemerlang seperti Maetha melalui Beasiswa Bidikmisi. Mulai kini, Gadjah Mada akan memeluk Maetha bersama ribuan kawannya untuk membidik misi dan merawat mimpi-mimpi mereka.
I Made Andi Arsana
Dosen Teknik Geodesi, FT, UGM
Menetes air mata membaca tulisan ini. Saya yakin masih banyak orang-orang di luar sana seperti Maetha. Saya juga yakin ada banyak orang-orang baik juga yang siap membantu mereka. Semoga saya bisa menjadi salah satu dari orang-orang tersebut. Sehat selalu Pak Andi.
Kisah yang sangat inspiratif Dr Andi.