Matahari menikam namun tak sanggup membuat murid-murid padepokan beranjak pergin. Sinarnya tak cukup tajam untuk mengganggu apalagi membuhuh gairah para muda yang bersenda gurau. Mereka duduk-duduk penuh kelakar, seakan tak peduli pada matahari yang berusaha sekuat tenaga hingga setengah putus asa. Mereka menikmati.
Aku duduk tanpa alas, tepat di atas rumput tipis yang hijau menghampar. Kupilih bagian yang dilindungi bayangan pohon peneduh di pinggir lapangan. Aku tak semuda mereka. Aku seorang lelaki dari bumi tropis yang memang tak perlu berpeluh di terik matahari untuk alasan kesenangan, apalagi life style. Tidak perlu.
Kupandangan gedung tinggi di depanku dan mataku terantuk pada tulisan besar empat hurup yang menjadi ciri khas bangunan ini. Gedung ini bahkan telah menjadi ciri khas perguruan ini dan telah kukenal sejak dua puluh tahun silam. Pada brosur-brosur yang gencar disebar, aku melihat empat huruf itu memesona: UNSW.
Empat belas tahun kemudian, aku duduk di rumput ini lagi. Aku memandang gedung yang sama. Terpesona pada empat huruf yang sama. Tiba-tiba aku melihat diriku berjalan bergegas, mengikuti kakak perguruan yang sibuk menjelaskan berbagai gedung sekitar. Aku lihat diriku versi 14 tahun lebih muda berjingkat khawatir membuka sebuah rekening di Commonwealth Bank di belakang perpustakaan. Kulihat diriku pucat pasi kurang tidur, tenggelam di serakan jurnal akademik yang mendebarkan. Kulihat diriku resah berkeringat dingin di depan komputer saat bertempur dengan kode-kode bahasa pemrograman Matlab, berkelebat dari satu m-file ke m-file lainnya yang acak namun konon terstruktur. Kulihat diriku dalam perhelatan berburu ilmu yang melelahkan namun penuh gairah.
Tiba-tiba kulihat Asti, datang tersenyum mendorong stroller yang di dalamnya tergolek seorang bayi perempuan: Lita. Ganteng untuk ukuran perempuan, bayi mungil ini lahir di saat perjuangan menuju titik akhir, ketika thesis harus diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari enam bulan. Maka energi yang dicurahkan untuk proyek akademik ini adalah sisa begadang karena tangisan Lita yang kerap tak nyenyak tidurnya. Energi itu adalah sisa dari kelelahan yang lahir dari keluh kesah Asti yang meringis karena mastitis. Atau dari keresahan karena satu kamar di apartemen yang kosong tak laku disewakan. Tak satupun mahasiswa internasional yang mau bersebelahan kamar dengan seorang bayi yang bahkan tak tahu bedanya senyap dan kegaduhan. Semua mendadak sirna karena kulihat senyum Lita yang terbaring penuh gairah di dalam stroller. Tak hanya senyum, ada tawa tak tertahan saat kugoda dengan guyon receh Bapak-anak atau kelakar satir ala Wayang Cenk Blonk.
Dering alarm dari HP menyadarkanku dari lamunan. Di layar nampak sebuah catatan “mengajar di Faculty of Law, UNSW @ 2.30 pm”. Masih dengan paduan perasaan yang ganjil, aku raih tas, jaket dan HP, berjalan menuju Quadrangle lalu bergegas ke lower campus. Di sebuah ruangan, seorang professor perempuan menyambutku dengan senyum lebar “everybody is waiting for you” katanya berkelakar.
Tiba-tiba kulihat diriku duduk ke kelasnya, di antara para mahasiswa bule tingkat pasca sarjana di sebuah ruangan di NSW State Libray di Sydney CBD. Dari perempuan inilah, 14 tahun yang lalu aku belajar apa yang sebagian orang sebut sebagai keahlianku hari ini. Waktu memang cepat berlalu.