“Sekitar 60 porsi dari jam 5 sampai jam 9 malam, Pak” katanya ketika saya tanya berapa porsi nasi goreng terjual dalam semalam. Dari logatnya, lelaki itu nampaknya bukan orang Jawa, berbeda dengan pedagang makanan keliling yang biasa mampir di depan rumah. “Saya baru saja masuk kompleks sini Pak” katanya menjelaskan. Percakapan pun berlanjut.
“Saya dulu jualan di Jakarta dan sudah laris Pak tapi karena harus mengikuti istri, saya pindah ke Jogja. Istri gak mau pisah sama orang tuanya. Jadi saya mengalah saja” lelaki itu bercerita lancar. “Langsung jualan nasi goreng ketika sampai di Jogja?” tanya saya. “Ya, langsung Pak. Saya sudah yakin, rejeki saya ada di sini. Di Jakarta dulu jualan saya laris banget” katanya semangat.
“Oh, pantes, langsung laris juga ya di Jogja” tanya saya penasaran. “Wah nggak, Pak. Nasi goreng saya tidak laku. Saya juga bingung kenapa bisa begitu” katanya dengan nada mengingat masa lalu. “Oh ya? Lalu gimana?” saya kian penasaran. “Saya berhenti sebulan Pak. Saya keliling Jogja, mendatangi semua tempat makan yang laris. Saya makan di hampir semua pedagang keliling. Setiap hari saya lakukan.” “Untuk apa?” “Saya mau mencuri ilmu Pak. Saya curiga, masakan saya mungkin tidak cocok bagi orang Jogja, meskipun saya sudah jago di Jakarta.”
“Lalu?” tanya saya penuh selidik. “Kesimpulannya satu Pak.” “Apa itu?” “Makanan di Jogja manis. Sejak itu saya belajar menu baru. Saya buat nasi saya lebih manis. Pelan-pelan jualan saya laris sampai sekarang.” Saya hanya mengangguk-angguk pelan menyimak keberaniannya untuk berubah. “Berapa persen keuntungan jualan makan seperti itu?” tanya saya lagi. “Paling tidak 50 persen Pak” jawabnya mantap.
Entah siapa yang memerintahkan tiba-tiba di kepala saya muncul kalkulator, menghitung Rp 10.000 kali 60 bungkus lalu kali 30 hari dan menghitung 50 persennya. Pikiran memang nakal, tiba-tiba saya bandingkan itu dengan gaji sendiri, PNS Golongan III. Hasil perenungan saya tidak terlalu menggembirakan.
*Diilhami percakapan dengan pedagang nasi goreng keliling, suatu malam di Kembang, Maguwoharjo.
Luar biasa Pak, berani berubah. Perkenalkan Pak, saya Zilal asal Payakumbuh, Sumbar. Saya sudah mengikuti tulisan bapak sejak tahun lalu, hasil searching di dunia maya tentang tips menulis dan tidak sengaja ketemu blog Bapak. Sejak itulah saya tertarik dengan tulisan Bapak dan selalu membaca update-an tulisan terbaru Bapak di blog ini. Setelah sekian lama, baru kali ini saya berani menitipkan komentar disini. Terima kasih pak pencerahannya. Semoga terus menginspirasi.
Terima kasih Zilal… Anda orang baik. Teruslah jadi baik.
Wah pak Andi malah membandingkan dengan wiraswasta. Jelas pak kalo dibandingkan dengan berwirausaha, pasti gaji pekerja jauh beda. Dan kalo menurut saya, selama pekerjaan kita itu baik, dilakukan dengan cara yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik, semua pekerjaan itu honorabe kok pak. Kalo semua jualan nasi goreng, ntar yang jadi dosen siapa dong? Hehehe.
Komentar ini terkait dg paragraf mana ya? Lalu yang mau jualan nasi goreng siapa? Kenapa tiba2 ada pertanyaan “ntar yang jadi dosen siapa?”
Apakah Anda menangkap penyesalan penulis pada tulisan ini? Yakin?
Sebelumnya saya mohon maaf pak kalo saya salah tangkap maksud. Karena kadang kalimat punya banyak tafsir.
Di kalimat terakhir paragraf ke lima pak. “Hasil perenungan saya tidak terlalu menggembirakan.”
Saya bukan menangkap aroma penyesalan pak. Tapi aroma sedih ketika membandingkan income yang satu dengan yang lain. Dan saya bangga loh pak punya dosen kaya bapak. Menjelaskan materi dengan cara yang mudah dipahami mahasiswa.
🙂