“Seharusnya dia tidak bersikap picik seperti itu. Sebagai pejabat negara, dia harus mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Jangan hanya gara-gara tidak suka dengan seseorang, atau gara-gara orang itu tidak berasal dari partainya, maka dia tidak mau bekerja sama. Jika pejabat negara bersikap seperti itu, kapan negara ini maju?!”
Sambil telaten menyetir kendaraan, Genjo menyimak celoteh tuannya, sang akademisi, yang berbicara bersemangat. Sungguh cemerlang pandangan beliau soal mengutamakan kepenting bangsa. Di tengah percakapan searah itu, tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. Sang tuan menjawabnya dengan sigap.
“Ya Pak” lalu diam lama. Genjo tentu tidak paham apa yang terjadi. Dia hanya mendengar sang tuan kemudian berbicara agak panjang.
“Gini Pak. Saya tentu mau melaksanakan penelitian itu. Itu memang bidang ilmu saya, apalagi ini penting untuk kebijakan nasional. Kalau boleh, saya ingin membentuk tim sendiri. Saya akan masukkan orang-orang yang saya percaya kemampuannya.” Lalu diam agak lama sebelum kemudian melanjutkan.
“Wah maaf Pak, kalau diminta memasukkan Prof Kondang ke tim penelitian ini, saya keberatan. Dia memang ahli tapi sikapnya kurang baik. Lagipula, dia bukan bagian dari kelompok penelitian saya selama ini. Dia akan mengganggu kerja tim. Saya yakin itu. Jika Bapak tetap bersikeras memakai dia sebagai ahli, maaf saya tidak mau terlibat dalam penelitian ini.”
Genjo tidak paham apa yang terjadi. Isi ruang kepalanya terlalu sempit untuk memahami bahasa tinggi.
Kontradik ya Pak. Hehehe