Untuk kepentingan pribadi, saya berkeyakinan bahwa kita boleh bercanda dengan topik agama. Saya dengan sangat ringan bisa mengatakan “saya Hindu KW” sambil berkelakar, ketika tidak bisa menjelaskan suatu perkara dalam sudut pandang Hindu. Teman saya biasanya tertawa mendengar itu. Tidak ada yang marah, tidak ada yang menghina dan rasanya juga tidak ada yang memandang saya jauh lebih rendah dari sebelumnya. Bagi saya, ini adalah bercanda dengan topik agama. Saya melakukannya dengan kesadaran dan tidak ada maksud menghina siapapun, kecuali diri sendiri. Itupun kalau mengaku sebagai Hindu KW itu bisa membuat saya hina.
Ketika kegiatan berlangsung di kampus atau tempat lain dan waktu sholat tiba, saya kadang berkelakar “titip absen ya Bro” kepada teman saya yang akan sholat. Tidak jarang teman saya ini berkata “kok titip absen melulu sih? Hadir dong sekali-sekali” dan yang lain pun menyambut dengan gelak tawa. Bagi saya, ini adalah bercanda dengan topik agama. Sejauh ini tidak ada masalah, tidak ada yang merasa tersinggung dan tidak ada yang mengajukan saya ke pengadilan dengan tuduhan menista agama. Saya paham teman-teman saya, merekapun paham apa yang ada di benak saya. Kesepakatan dan saling pemahaman itulah yang menjadi dasar kokoh sehingga kelakar itu hadir sebagai kelucuan, tidak lebih tidak kurang.
Dengan beberapa teman dekat lainnya, saya bahkan berkelakar lebih jauh dan mungkin lebih sensitif soal agama. Saya berkelakar tentang topik yang jika didengar oleh orang lain yang tidak mengenal saya, bisa jadi dianggap ofensif. Saya berani melakukan itu karena saya tahu bahwa saya dan teman saya ini memiliki pandangan yang sama akan sesuatu dan sudut pandang kami tidak jauh berbeda. Saya belajar soal kemuliaan agama-agama di luar Hindu, justru dari kelakar dan interaksi penuh guyon dengan para karib saya dari berbagai agama.
Satu hal yang pasti, seberapapun baik dan sabarnya seseorang, tidak ada yang bahagia jika agamanya dihina atau dilecehkan. Perihal benar atau tidak, itu cerita lain. Karena reaksi teman-teman saya adalah tertawa dan bahagia, saya yakin tidak ada yang merasa agamanya dihinda dalam percakapan dan interaksi kami. Saya tetap yakin bahwa kelakar perihal agama boleh dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat bisa menerima itu sebagai kelakar.
Bagaimana dengan candaan soal agama di ruang publik? Saya kira prinsip tadi tetap berlaku, bahwa kesepakatan dan sudut pandang pihak yang terlibat adalah yang terpenting. Jika di ruang publik itu ada orang yang berbeda sudut pandang dan pemahamannya, bisa jadi kelakar ini menjadi kesalahan yang berakibat fatal. Hal ini juga berlaku saat agama dijadikan bahan bercanda di standup comedy, misalnya.
Saya setuju dengan Pandji Pragiwaksono, standup comedy bukan soal cerdas atau tidak tetapi soal referensi. Jika comic dan penontonnya menggunakan referensi informasi yang sama atau mirip maka mereka akan bersenang-senang dengan topik yang disajikan. Lucu atau tidak, dalam konteks standup comedy, adalah soal referensi dan, kalau boleh saya tambahkan, juga soal frekuensi. Jika comic dan pendengarnya ada di frekuensi yang sama atau mirip soal suatu isu maka materi itu bisa jadi lucu.
Yang pasti, saya menikmati topik agama dalam berbagai standup comedy, tentu saja termasuk ketika Hindu yang dijadikan bahan candaan itu. Sependek pengetahuan saya, Tuhan itu maha besar dan tinggi. Beliau tidak akan pernah terhina dan nista dengan kelakar manusia. Meski demikian, saya juga paham bahwa setiap orang memiliki pandangan sendiri. Maka saya pun paham jika ada orang yang merasa tidak nyaman dengan kelakar soal agama. Saya juga mengerti jika ada orang yang marah dan emosi ketika mendengar kelakar soal agama, terutama agama orang itu. Kenyataannya, sudut pandang orang memang tidak bisa dipaksakan. Jika ada yang boleh tertawa karena suatu materi standup comedy, tentu kita harus hormati mereka yang marah karena materi yang sama.
Pertanyaan selanjutnya, apakah bahan bercanda tentang agama harus diteruskan atau dihentikan? Di sini mekanisme seleksi alam akan terjadi. Reaksi pasar akan membuat seorang standup comedian mengambil keputusan. Sebagai sebuah karya seni berekspresi, seorang standup comedian bisa saja idealis dan teguh pada pendiriannya untuk, milsanya, tetap menjadikan agama sebagai bahan kelakar. Namun sebagai industry hiburan, perilaku pasar tentu ikut menentukan keputusan seorang standup comedian.
Yang pasti, kualitas seorang standup comedian, atau siapapun yang dengan sadar menjadikan agama segai topik dalam berkelakar, tidak hanya ditentukan dari kualitas leluconnya tetapi, yang lebih penting, dari sikap dan reaksinya kepada pihak yang tidak menyukai materinya. Kualitas sejati seorang standup comedian akan nampak dari cara dia merespon orang-orang yang tidak suka atau tersinggung dengan materinya. Kita akan bisa melihat dengan mudah apakah seorang standup comedian termasuk yang cemen dan KW atau yang hebat dan bijaksana. Maka ruang informasi publik, termasuk media sosial, adalah bilik pengadilan dan kita semua adalah hakimnya. Selamat menjadi hakim yang adil dan bijaksana.