Namanya Cherli, dari Timor Leste. Dia bimbingan skripsi saya tentang batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste. Jika boleh jujur, menjadi pembimbing Cherli adalah proses yang sangat menarik. Kata menarik yang saya pakai, tidak selalu bermakna menggembirakan. Yang pasti, penuh pelajaran.
Hari pertama pertemuan untuk persiapan skripsi, saya sudah merasakan, ini akan menjadi perjalanan yang cukup terjal. Cherli sudah menempuh pendidikan selama lima tahun dan artinya orang-orang bisa menganggapnya cukup terlambat. Saya tadinya ragu. Bukan hanya ragu kepada dia tetapi ragu pada diri sendiri. Bisakah saya bersabar menemaninya menyelesaikan perjalanan ini?
“Kita harus membuat cerita ini menjadi kisah inspiratif” demikian salah satu kalimat saya dalam satu proses bimbingan. “Satu-satunya cara untuk membuatnya inspiratif adalah dengan menuntaskannya. Suatu hari orang mungkin bertanya tentang perjuanganmu menyelesaikan skripsi dan perjuangan itu bisa saja sangat berat tapi cerita itu tidak akan pernah inspiratif jika skripsimu tidak selesai. Tugas saya hanya satu saja: mengantarkanmu hingga lulus.” Cherli nampak sumringah lagi setelah sempat mengalami berbagai kendala yang menyurutkan semangatnya.
Seperti layaknya mahasiswa lain yang sedang menyelesaikan skripsi, Cherli mengalami hal-hal yang umum terjadi. Sekali waktu dia diam tidak berkabar, di kesempatan lain dia mengejar-ngejar. Sekali waktu dia susah dikontak, di kesempatan lain dia seperti ‘menghantui’ pembimbingnya. Saya yakin dia juga merasakan hal yang sama bahwa saya sangat sulit dihubungi di satu waktu dan di kesempatan lain seperti membuntutinya ke manapun dia pergi.
Bimbingan skripsi terjadi di berbagai tempat, dari kampus hingga Kantor Urusan Internasional UGM, dari rumah saya hingga bandara. Media komunikasipun beragam, dari WA hingga telepon, dari pertemuan langsung hingga email. Di setiap kesempatan saya sampaikan “kamu harus mengejar saya karena jika tidak bisa jadi saya lupa sama kamu.” Saya tidak mengada-ada.
Saya percaya, kita hidup di era kolaborasi, bukan kompetisi. Saya ajarkan pada Cherli bahwa minta tolong itu tidak salah. Tidak semua orang ditakdirkan memiliki kemampuan yang sama tingginya. Di situlah kita perlu teman untuk membantu, termasuk untuk skripsi. Beberapa orang temannya saya minta mendukung dia, setidaknya untuk berdiskusi dan sekali waktu ‘menggantikan’ saya sebagai pembimbing. Semua cara baik harus dicoba dan ditempuh.
Suatu hari saya mendapat telepon dari Cherli tentang tenggat waktu pengumpulan skripsi yang sudah di ujung mata. Saya yang cukup sibuk ketika itu, merasa terkejut tetapi harus bertanggung jawab. Dalam hati saya yakin, semua ini bisa terselesaikan jika dan hanya jika saya bekerja keras dalam waktu singkat. Ada perang batin dalam diri yang seperti membenarkan bahwa saya bisa saja menolak untuk bekerja ekstra keras karena toh semuanya sudah saya lakukan dengan wajar selama ini. Perenunggan panjang akan berbagai perihal akhirnya membuat saya ‘menyerah’ secara positif. Saya harus bekerja ekstra keras dalam waktu beberapa hari.
Perjuangan berikutnya tidak hanya melibatkan proses begadang untuk membaca dan mengoreksi tetapi juga menelpon ke sana ke mari untuk memastikan banyak hal terkait administrasi. Beruntung saya dikelilingi orang-orang yang memahami situasi yang tidak mudah. Akhirnya, di suatu pagi, Cherli terlihat berdiri dan presentasi untuk mempertanggungjawabkan skripsi. Komentar dari salah satu penguji melegakan saya. “Saya kira tadinya kamu terlambat menyelesaikan skripsi karena kemampuanmu dalam menulis atau meneliti. Setelah saya baca, sepertinya tidak demikian kasusnya. Tulisanmu bagus!” kata beliau memberi semangat. Cherli lulus dan diwisuda sebulan kemudian.
Dili, Mei 2016
Saya bercakap-cakap dengan Menteri Luar Negeri Timor Leste selepas memberi materi di sebuah seminar di Dili. Pak Menlu yang lulusan Malang, sangat fasih berbahasa Indonesia. “Saya rasa, Bapak perlu punya orang Timor Leste asli yang menangani perihal perbatasan. Saya lihat, orang-orang yang bekerja di Maritime Boundary Office saat ini hampir semuanya orang luar.” Saya paham MBO tidak berada di bawah Kementerian Luar Negeri tapi langsung dipimpin oleh Xanana Gusmao. Saya rasa, setidaknya dskusi dengan Pak Menlu bisa jadi jalan masuk bagi gagasan saya. “Saya setuju”, kata beliau “tapi kami belum ada orang yang paham soal perbatasan” katanya semangat sekaligus ragu. Di situlah ide saya muncul. “Saya punya orang Pak!” kata saya semangat dan menjelaskan gagasan saya.
Yogyakarta, 25 Juli 2017
Pesan saya melalui Whatsapp ke Cherli, “kamu masih di MBO?” “masih Pak, di Dili. Di kantor yang sama Pak. Dan Jumat ini saya dapat kesempatan internship seminggu di Marine Hydrographic Institute di Portugal.” Saya melihat jauh ke atas. Menerawang pandangan saya melintasi Samudera Hindia lalu terbang di atas Benua Afrika lalu menukik turun menuju sebuah kedai kopi di Lisbon.
Bali, 4 Juli 2019
Saya takzim menyimak sambutan dari President Xanana Gusmao yang secara langsung memimpin delegasi Timor Leste. Sementara itu saya ada di meja seberangnya, bertidak sebagai salah satu anggota Delegasi Indonesia. Tak jauh dari Presiden Gusmao, saya melihat seorang perempuan yang wajahnya akrab di mata. Dia duduk dengan tenang sebagai anggota delegasi Timor Leste. Di depannya ada sebuah tanda nama bertuliskan “Cherli Estefania Soares”
Catatat: Cherli berproses di MBO sebagaimana layaknya orang yang melamar kerja. Saya juga sudah mengenalkan Cherli kepada orang-orang MBO sebelum bertemu Menteri Luar Negeri. Saya yakin, tidak ada kolusi dalam hal ini dan peran saya hanya sebatas mengenalkan kesempatan. Cherli bekerja di sana murni karena kemampuannya.
Mba Sherli ❤❤ pribadi yang asik untuk diskusi, walaupun saya sbg adik tingkatnya :))
Senang pernah mengenal beliau di kampus 😊
Andai semua dosen seperti pak Andi. Terimakasih untuk selalu menginspirasi pak. 🙂
Keren Pak Made
wahhhh…keren 👍 bisaan deh punya banyak koleksi kisah-kisah yg flashback gini Bli