Pagi tadi saya menulis sebuah status yang berbunyi seperti ini:
“Dear Pak Andi,
Saya baru saja melihat nilai saya dan ternyata saya dapat A. Saya merasa tidak layak mendapat nilai itu dan ingin diskusi dengan Bapak, apakah bisa nilai saya itu diturunkan. Kapan saya bisa bertemu Bapak ya?”Saya sedang menunggu pesan seperti ini dari mahasiswa saya, belum ada dari tadi
Status itu saya buat karena iseng saja, tidak ada tujuan menyinggung seseorang secara khusus. Status itu juga dimotivasi oleh beberapa pesan yang saya terima dari mahasiswa terkait nilai yang mereka. Mahasiswa itu saya hargai dengan baik karena mereka memang berhak bertanya tentang nilainya.
Dari semua yang bertanya, saya jawab dengan baik dan pada akhirnya terjadi pemahaman yang sangat baik. Tidak ada yang berakhir ricuh sama sekali. Mahasiswa saya sangat dewasa. Mereka bertanya karena mereka berhak bertanya dan mereka ingin kejelasan. Semua itu saya hargai sebagai sikap dewasa dan ksatria.
Tanpa disangka, saya mendapat pesan inbox di FB seperti ini (beberapa bagian saya sunting tanpa mengubah makna).
Selamat siang Pak Andi,
Saya XYZ,mahasiswa Bapak [***] di Teknik Geodesi. Maaf sebelumnya, Bapak. Saya menulis pesan ini bukan karena tersinggung atas status di FB Bapak atau yg lainnya. Hal ini semata2 karena menyadarkan saya atas apa yang telah saya jalani sewaktu mengikuti kuliah dan ujian pada mata kuliah abc yg Bapak ajar di kelas.
Saya akui waktu ujian mid kemarin, saya terburu2 dalam menjawab soal ujian yang Bapak berikan. Saya terlalu percaya diri Pak (karena open book) sehingga saya waktu itu tidak membaca soal dengan teliti. Setelah ujian mid tersebut saya baru merasa, jawaban yang saya tulis kurang nyambung dengan soal yang bapak berikan. Malah saya lebih yakin dengan ujian akhir semester ini bila dibandingkan ujian mid.
Saya merasa bersalah waktu itu Pak. Malu sama Pak Andi apabila membaca hasil ujian mid saya. Bercampur antara terburu2, terlalu percaya diri dan panik karena waktu yg singkat. Ini berbeda dengan ujian akhir semester kemarin Pak. Saya lebih berhati-hati dan teliti dalam mengerjakan soal yang Bapak berikan.
Saya terkejut, nilai yang saya peroleh adalah A Pak. Bahkan sebelumnya saya memprediksikan untuk mata kuliah ini saya akan mendapat nilai B. Saya bersedia Pak, apabila Bapak meninjau kembali nilai yang saya peroleh tersebut. Saya benar2 sadar Pak dari hati saya. Saya tidak bermaksud apa2. Bapak sudah benar2 sangat baik dalam mengajar dan juga bersahabat. Saya sangat senang diajar oleh bapak. Terima kasih sebelumnya Pak Andi.
Setelah berpikir serius, ini jawaban saya:
XYZ yang baik,
Terima kasih atas pesan ini. Saya tersentuh amat sangat dengan pesan jenengan. Menurut saya, ini adalah ekspresi dari kebaikan. Saya kagum dengan itu.
Meskipun XYZ tidak menuduh dan tidak juga curiga, saya pastikan bahwa saya sama sekali tidak mengingat jenengan ketika menulis status itu. Itu adalah ekspresi umum dan hasil perenungan saya karena menerima beberapa pesan yang ‘mempertanyakan’ nilai. Bagi saya itu sangat sah dan merupakan hak mahasiswa.
Saya hanya berefleksi saja, seandainya semua orang jujur akan hak dan kewajibannya, mungkin saya juga akan menerima pesan seperti status itu. Bukan karena saya merasa salah memberi nilai tetapi karena soal kemampuan sesungguhnya, kita masing-masing yang tahu. Pasti ada di antara kita yang merasa mendapat nilai bagus karena keberuntungan atau kebetulan. Apakah kita punya keberanian yang cukup untuk menyatakan itu?
Saya tidak akan mengubah nilai saya untuk jenengan. Pertama karena memang tidak ada yang perlu diubah dan nilai jenengan adalah cerminan kemampuan jenengan dalam menjawab soal. Kedua, secara aturan memang tidak boleh mengubah nilai karena hal-hal yang tidak bisa dibuktikan secara jelas/legal/ilmiah. Ketiga, yang menurut saya penting, kejujuran dan ekspresi jenengan ini perlu mendapat apresiasi saya. Nilai itu layak untuk jenengan. Semoga selalu mengingatkan untuk tetap belajar
Salam hangat
Andi
Hari ini saya belajar banyak dari percakapan ini. Memang demikianlah pendidikan, keberhasilannya nampak dalam bentuk keterbukaan pemikiran.
Pengalaman saya berbeda dari Bapak Andi.. saya lebih sering mendapat keluhan dari mahasiswa Yang mendapat nilai kecil.Saya ini sebenarnya sangat toleran dalam penilaian.Bahkan mahasiswa terlambat pun saya bolehkan masuk.Tapi kalau di ujian semua soal tidak ada yang dijawab dengan benar,masa saya beri A? Saya sering beri nilai D,atau C ke mahasiswa.Mereka protes & saya jelaskan masalahnya baik-baik.Saya menyarankan mereka belajar lagi,lebih serius.Biasanya mereka yg suka protes itu bahkan buku kuliah pun tidak punya..Handphone bagus,dandanan ok,motor mereka bagus2,mobil orang tua mereka yg dibawa ke kampus cukup keren,tapi baca buku malasnya minta ampun..
Tanggung jawab kita memang berat ya…
Amanah kita adalah mendidik generasi yang demikian. Tidak mudah. Semoga kita diberi energi senantiasa.
Salam kenal Pak Andi,
saya mahasiswi Ilmu Kelautan yg kebetulan ambil fokus tentang remote sensing. Saya pernah lihat video penjelasan bapak tentang “batas maritim dalam konteks IUU fishing”. Penjelasan bapak sangat jelas dgn bahasa yang mudah dimengerti. Jujur kalau saya mendengar penjelasan dosen saya tentang maksud illegal fishing saya sulit memahami, tapi dengan melihat video bapak yang hanya 10 menit saja saya jadi lebih mudah paham. Hehe.. mungkin wajar ya ketika ada mahasiswa bapak mengirimkan pesan bahwa bapak mengajar dengan sangat baik..
mungkin jika bapak berkenan, boleh pak kapan2 bapak share tentang perkembangan ekplorasi remote sensing di australi..
terimakasih Pak Andi..
Terima kasih Ummu. Silakan undang saya ke kampus Anda.. saya akan datang jika waktunya pas 🙂
Saya terharu. Semoga Bapak Made Andi selalu sehat.