KKN UGM DI UJUNG UTARA NEGERI


Tujuh belas tahun lalu, saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Hargobinangun, Pakem. Tidak jauh memang dari Kampus UGM tetapi itu berkesan sampai sekarang. Setelah 17 tahun, kami masih reuni dan lebaran ini adalah yang kesekian kalinya. Pun dengan itu, pertanyaan serupa kadang muncul dan terdengar lagi “apa sih perlunya KKN?”

Melonguane, 24 Juni 2017
Bandaranya begitu kecil dan sederhana. Saya mendarat sekitar pukul 11 siang waktu setempat dan disambut dengan udara yang cukup hangat. Rupanya baru saja ada hujan sehingga cuaca yang biasanya panas membara menjadi sedikit lebih jinak. Ini adalah ujung utara negeri, sebuah titik di Kabupaten Talaud yang bahkah jarang didengar namanya oleh penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di bagian barat tanah air.

Talaud1

Setiap kali saya bercerita sedang menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN di Talaud, saya harus mengutip lagu iklan Indomie “dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud”. Menariknya, tidak sedikit yang kemudian heran dan baru sadar bahwa ada kata Talaud dalam lagu itu. Rupanya sangat banyak yang mendengar penggalan akhir lirik lagu itu sebagai “Kota Laut” dan lengkapnya “dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Kota Laut”. Tentu saja maknanya berbeda dan hilang satu titik penting di negeri ini: Talaud, kabupaten paling utara negeri.

Selepas naik becak motor (bentor) dari Bandara, saya sudah tiba di dermaga. Dermaga yang sederhana, tempat berlabuhnya speed boat kecil yang berisi sekitar delapan orang. Saya dijemput oleh dua peserta KKN UGM, Furqan dan Arina. Sebagai DPL saya baru bisa bergabung dengan mereka setelah beberapa hari kemudian karena pada saat keberangkatan mereka saya masih punya tugas lain. Hari ini, sampai juga akhirnya saya di Talaud, Sulawesi Utara.

Talaud4

Kami segera naik speed boat kecil itu dengan nakhoda seorang lelaki muda yang nampak kekar dan paham sekali akan laut. Dua tas besar yang saya bawa dari Jogja langsung dimasukkan dan kami segera menduduki kursi yang sudah disediakan. Boat kecil ini terasa oleng dan penuh goyangan, diterpa ombak pantai yang cukup bertingkah. Saya tidak takut jatuh atau celaka lainnya. Saya hanya takut mabuk. Alangkah tidak kerennya kalau itu sampai terjadi. Dengan berdoa dan menyerahkan diri pada Hyang Widhi, saya naik dan mulai berlayar.

Dari dalam speed boat saya melihat ke belakang ke dermaga yang kian mengecil dan akhirnya lenyap. Yang nampak kini adalah semburan air yang didesak oleh mesin pendorong speed boat yang membawanya melaju kencang. Tertinggal di belakang kami adalah jejak garis lebar seperti membelah air yang memanjang dengan riak yang memutih. Sementara itu, semburan air masih menyembur begitu dasyatnya, berpadu dengan deru mesin speed boat yang mendominasi suasana. Percakapan di antar kami harus dilakukan sambil setengah ‘berciuman’ agar terdengar kata-kata dari masing-masing.

Talaud16

Meski tak mudah, di dalam speed boat kami masih bisa bercakap-cakap tentang banyak hal. Furqan dan Arina menceritakan pengalaman mereka selama beberapa hari di lokasi KKN dan saya menyampaikan beberapa hal terkait dengan urusan LLPM UGM. Sementara itu, abang nakhoda tetap bertugas dengan baik, tekun dalam keheningannya tanpa suara. Di depan saya juga duduk seorang lelaki yang merupakan tuan rumah Arina dan saat ini berperan sebagai penjemput saya. Pak Jackly, demikian namanya, berbaik hati menjemput saya di Bandara Melonguane dan membawa saya ke lokasi KKN di Desa Dalum, Salibabu, Talaud dengan mobilnya. Pak Jackly adalah lelaki pendiam yang penuh senyum. Badannya yang kekar dan kulit yang gelap menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pekerja lapangan yang handal.

Tidak puas hanya dengan duduk di dalam speed boat, saya mulai melihat sekeliling. Saya minta izin abang nakhoda untuk berdiri dan menentang angin saat speed boat melaju kencang. Rasanya dramatis ketika angin menerpa wajah saya bercampur dengan percikan air laut yang meyegarkan. Saya tahu, sebentar lagi wajah saya akan lengket tetapi semua itu akan terbayar dengan pengalaman yang memikat dan dasyat. Kapan lagi bisa mengendarai speed boat di laut lepas dan berdiri menentang angin bercampur percikan air laut yang asin menyegarkan?

Waktu cepat berlaku, speed boat tiba-tiba sudah merapat ke dermaga. Satu per satu dari kami, para penumpang, harus menelusuri titian yang menghubungkan boat dengan pantai berpasir. Ada sebuah titian kecil dari papan berwarna hijau yang kami harus lalui agar tidak basah. Tentu saja titin kecil itu licin dan sedikit saja terpeleset kami bisa basah kuyup. Semua berjalan baik meskipun sedikit tegang. Dalam sekejap kami sudah di daratan dan semua barang sudah diturunkan. Lirung. Kami sudah sampai.

Dari Lirung kami naik mobil Pak Jackly menuju pusat perdagangan. Pak Jackly mengajak saya makan martabak. Meskipun itu hari-hari terakhir puasa, Furqan dengan baik hati mengizinkan kami makan dan dia menemani dengan setia sambil puasa. Untunglah Arina sedang tidak puasa sehingga rasa bersalah menjadi mengecil. Saya berkelakar, “skornya 1 lawan 3, jadi kamu kalah ya Furqan” yang disambut tawa kami semua sambil masuk ke warung martabak yang rasanya cukup juara.

Talaud6

Dari Lirung kami melanjutkan perjalanan yang cukup jauh, sekita 10 kilometer. Secara jarak sebenarnya dekat tetapi karena jalannya yang cukup banyak hambatan, perjalanan itu ditempuh sekitar 30 menit. Di sepanjang jalan saya melihat kebun kelapa yang subur dan pala yang berlimpah buahnya. Ini ujung utara negeri kami, Tuhan menebar kemakmuran di mana-mana. Selain kebun, kami juga melihat banyak sekali makam. Ada yang hanya satu, ada yang beberapa, ada juga yang belasan isinya. Ternyata makam di daerah sini bisa dibuat di mana saja. Ada juga bahkan yang di dekat rumah, bersebelahan dengan rumah keluarga, di sebuah perumahan. Adat dan budaya memang beda, saatnya memahami dengan lebih baik.

Talaud7

Desa Dalum, 24 Juni 2017
Perjalanan jauh itu akhirnya berakhir sudah, saya tiba di Desa Dalum yang menjadi lokasi KKN mahasiswa bimbingan saya. Ada 30 orang dari berbagai fakultas di UGM telah tinggal di sana dan siap-siap berkiprah di masyarakat. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah rumah adat sebagai tempat bagi mahasiswa untuk berkumpul. Rumah adat itu menjadi samacam base-camp bagi mereka sedangkan tempat tinggal mereka terpencar di rumah-rumah penduduk. Untuk 30 mahasiswa itu, ada 11 rumah yang dipakai.

Sangat menyenangkan melihat wajah-wajah mereka. Semuanya semangat meskipun sebagian nampak lelah. Ini adalah hari terakhir puasa bagi yang muslim dan besok mereka akan merayakan Idul Fitri. Ternyata memang hampir semua mahasiswa muslim itu akan merayakan Idul Fitri tidak bersama keluarga untuk pertama kalinya. Ini tentu pengalaman yang tidak mudah bagi mereka. Setelah diskusi untuk saling memutakhirkan informasi, saya diantar ke rumah Sekdes sebagai tempat bagi saya untuk menginap salama beberapa hari di Dalum.

Saya memasuki rumah itu dengan parasaan campur aduk. Seperti ada yang saya kenal dari rumah ini. Rumahnya terbuat dari beton dan lantai keramik tetapi flapon tidak ada. Jika melihat ke atas maka rangka kayu terlihat jelas dan atap yang terbuat dari seng bisa diamati dengan mudah. Saya tidak asing dengan rumah seperti ini. Begitu melangkah ke belakang, dapur menyambut dengan aroma khasnya, terpisah dari bangunan utama. Lantainya dari tanah karena dapur ini memang di halaman belakang. Di dekat situ ada dua kamar mandi yang hanya bisa dicapai dari rumah dengan melewati dapur.

Tidak jauh dari dapur itu ada segerombol pohon pisang yang besar-besatr. Yang juga akrab di telinga dalah suara-suara yang berasal dari sekitar pohon pisang itu. Begitu saya tengok ternyata ada beberapa ekor babi yang ditambatkan di sana. Suara mereka melambungkan saya ke masa kecil saat mendapat tugas memelihara babi di keluarga kami saat saya SD. Suara babi kecil itu khas sekali. Jeritan babi muda yang kelaparan.

Saya kembali ke dapur, melihat tungku api yang penuh sesak dengan kayu bakar. Apinya besar merah menjilat-jilat dengan suara yang khas ketika sang api memakan potongan kayu. Saat memasak tiba, suara dan suasana itu tak pernah absen. Di dekat tungku ada beberapa panci, baskom dan ember untuk mencuci piring. Di situ juga ada tempat sabun colek dengan kain lap yang sudah lusuh dan kumal bercampur minyak jelantah. Pemandangan yang sungguh tidak asing bagi saya. Semua itu membawa saya pada ingatan lama, pada hidup di masa kecil yang penuh pelajaran. Rak piring tak jauh dari tempat cucian nampak sudah tua dengan piring-piring yang bersih terawat.

Sementara itu, di seberang rak piring ada meja untuk mengolah masakan, betuknya panjang dengan tempat duduk berupa kursi panjang, terbuat dari kayu. Jika duduk di kursi itu, saya menghadap tungku dengan api yang menyala-nyala. Derunya beradu dengan jeritan anak babi yang kelaparan dan tertambat di pohon pisang tidak jauh dari sana. Dapur lantai tanah, jerit anak babi, rak piring tua, dan sabun colek dengan kain kusam bercampur minyak jelantah. Semuanya sempurna. Sempurna untuk menghadirkan kembali masa kecil di Desa Tegaljadi.

Malam harinya, saya sempatkan berkeliling ke rumah-rumah induk semang para mahasiswa. Sebagian sederhana tetapi sebagian lainnya nampak sangat berkecukupan. Mereka orang-orang sederhana tetapi begitu tulus. Saya bisa merasakannya. Semua penduduk Dalum memeluk Nasrani tetapi mereka sangat siap dengan kedatangan mahasiswa yang mayoritas muslim di Bulan Ramadhan. Azis dan Dede, dua mahasiswa saya, mengatakan “mereka tidak pernah sakelipun terlambat menyiapkan sahur untuk kami”. Tuan rumah mereka menjadi orang tua yang luar biasa bagi mereka. Saat jauh dari keluarga salama Ramadhan, kebaikan hati induk semang yang bahkan non muslim itu menjadi pengobat rindu.

Cerita ini ternyata sama, terjadi juga di rumah yang lain. Saya berkunjung untuk menitipkan adik-adik mahasiswa itu dan berterima kasih atas kebaikan hati mereka. Selalu saya sampaikan “mereka datang ke sini untuk belajar, bukan untuk mengajari. Mohon bimbing mereka, jadikan mereka anak sendiri.”

Talaud11

Desa Dalum, 25 Juni 2017
Tidak ada kumandang azan atau shalawat penanda Idul Fitri. Desa Dalum tetap setia memperdengarkan lagu Gerejawi seperti hari-hari lainnya. Meski demikian, mereka tahu. di antara mereka ada sekelompok mahasiswa UGM yang menyambut Idul Fitri dengan suka cita. Para induk semang yang ditinggali oleh mahasiswa UGM itu dengan semangat menyiapkan segala sesuatunya. Mereka melepas kepergian para mahasiswa itu untuk Sholat Ied di Lirung, sekitar 30 menit dari Desa Dalum. Di situlah satu-satunya masjid di Talaud dan menjadi pusat aktivitas Islam. Mereka berangkat ke Lirung dengan kendaraan pickup, lengkap dengan busana muslim terbaik yang mereka bawa. Bagi sebagian besar dari mereka, itu Idul Fitri pertama di tanah rantau, tidak ada sanak keluarga untuk berbagi suka cita perayaan.

Siang hari sekitar pukul 11 mereka sudah tiba kembali di Dalum. Rumah Adat sudah rapi dan siap dijadikan lokasi perayaan Idul Fitri. Hidangan khas Padang telah siap, hasil olahan beberapa mahasiswa asal Sumatera Barat yang cekatan. Saat jauh dari keluarga, kreativitas memang bisa muncul begitu rupa. Rendang, gule dan ketupat tersaji mengundang selera. Idul Fitri kali ini berhasil membawa nuansa hari raya yang tak berbeda dari suasana kampung halaman di Jawa. Hidangan khas Lebaran jadi pegobat rindu. Kelakar saling goda jadi pemanis persahabatan saat jauh dari sanak kerabat. Mereka, katanya, punya 29 Saudara baru untuk merayakan Lebaran bersama.

Talaud8

Sesaat sebelumnya kami berfoto di depan rumah adat. Semuanya bernuansa muslim, termasuk mereka yang bukan muslim sekalipun. Saya dipinjami peci, mungkin agar layak jadi bapak saat bapak yang sebenarnya tak nampak. Foto itu bukan segalanya tetapi setidaknya dia membantu mengikat kenangan. Suatu saat kelak, kami akan melihatnya dan mengenang, inilah Lebaran pertama di luar rumah, berlatar lagu Gerejawi dan hamparan masyarakat Nasrani yang menyaksikan dengan senyuman. Kelakar kami di bawah pohon kedondong di depan rumah adat itu akan abadi. Semoga.

Sore di Dermaga Dalum, 25 Juni 2017
Metahari terik membakar. Hamparan laut yang biru membentang sejauh mata memandang. Padanya menyembul pulau-pulau hijau tua, penuh sesak oleh kepala atau pala di kejauhan. Dermaga yang sepertinya baru dibuat ini menjadi tempat berenang bagi anak-anak dan pemuda Dalum. Saya tak sabar merasakan segarnya air laut yang nampak jernih hijau kebiruan. Dua mahasiswa KKN UGM, Fairus dan Dede berjanji mengajari saya snorkelling dengan peralatan lengkap yang mereka bawa dari Jogja.

Pemanasan segera dilakukan dengan berbagai gerakan pelemasan otot-otot. Tikaman sinar matahari sore yang membakar kami abaikan. Sepoi angin pantai mengalahkan kegerahan, berganti keringat penasaran dan rasa tidak sabar untuk menyelinap di antara karang-karang, bercengkerama dengan ikan kecil loreng-loreng yang lincah tak bisa diam. Satu per satu dari kami melompat dan menceburkan diri. Instruktur dadakan snorkelling bekerja dengan baik, memberi petunjuk yang bisa saya pahami dengan cepat. Byur, dalam sekejap saya sudah menjelah di antara karang dan tiang-tiang beton dermaga, mengamati dengan seksama ikan-ikan kecil yang berebut lumut laut di tiang dermaga.

Matahari sore kian memerah, warna-warni dunia perlahan menyatu dalam kegelapan. Yang nampak kini hanya siluet berlatar matahari yang menyelinap perlahan. Anak-anak kecil beranjak pulang, para pemuda sigap mengikuti. Jalan setapak menuju perkampungan melewati sebuah bangunan besar yang konon dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai sentra produksi perikanan. Sayang sekali, bangunan besar itu nampaknya belum beroperasi karena kurangnya daya dukung listrik. Selain itu, investor belum tertarik untuk menanamkan modalnya. Ini tentu pekerjaan rumah yang tak sederhana bagi Bu Susi dan jajarannya.

Di tengah jalan setapak kami melewati perumahan yang masih baru. Konon itu rumah bantuan dari PUPera guna mendukung program KKP untuk menyediakan perumahan bagi nelayan. Kerlip lampu yang terpancar dari rumah-rumah kecil itu dan tawa riang anak-anak kecil di dalamnya pertanda rumah ini memang dihuni. Apakah yang menghuni adalah nelayan yang mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudera demi menangkap ikan? Itu adalah cerita lain yang masih harus diungkap kebenarannya. Setidaknya saya melihat niat baik itu telah berwujud menjadi rumah-rumah yang berderet tidak jauh dari dermaga, siap menampung para nelayan yang pulang dari melaut.

Jalanan gelap menuju perkampungan kami lewati dengan menempus ladang dan tegalan. Suara serangga hutan yang menggelegar menghadirkan suasana magis yang cukup mencekam. Dalam perjalanan itu juga terdengar suara dengkuran babi yang tengah meringkuk di kandang-kadang di tepi jalan setapak. Ceritit burung malam, lantunan serangga dan dengkuran babi adalah pelengkap sempurna sebuah perjalanan di jalan setapak gelap yang hanya diterangi sinar HP. Sebuah perpaduan ganjil antara gelap belantara yang alami dengan canggih pendar layar gaway yang jadi penanda kemajuan peradaban. HP di Dalum kehilangan fungsi utamanya. Sinyal telekomunikasi tak bersahabat, HP hanya jadi alat pemotret dan penerang jalan setapak belantara yang gulita.

Malam di Desa Dalum, 25 Juni 2017
Selepas menikmati santap malam yang disediakan oleh induk semang kami, tiba-tiba Arina dan Dinar berkunjung. Mereka menyampaikan undangan untuk menyantap mie Talaud hasil masakan induk semang mereka. Begitulah di Dalum. undangan makan datang silih berganti, tak tentu dari mana arahnya. Yang ada hanya satu kemungkinan: siap makan lagi dan lagi.

Pak Jackly, tuan rumah Arina dan Dinar, membuka lebar-lebar pintu rumah mereka malam itu. Ke-30 anak dan satu orang dosen diundang untuk menikmati mie Talaud. Sementara tuan rumah senyum-senyum duduk di kursi, para mahasiswa dengan sigap menghabiskan hidangan. KKN ini bisa jadi termasuk UPGM, Usaha Perbaikan Gizi Mahasiswa. Teori saya benar, KKN di tempat terpencil justru menjadi peningkatan gaya hidup bagi mahasiswa UGM. Jika biasanya mereka menjadi anak kos di Jogja dengan makanan terbatas dan seadanya, di Dalum mereka dimanjakan dengan berbagai hidangan lezat dan bergizi. KKN adalah UPGM.

Talaud10

Malam kian larut, percakapan kian hangat. Kelakar dan saling goda mahasiswa begitu akrab dan hanyat. Pak Jackly dan keluarga hanya tersenyum-senyum simpul menikmati. Kekonyolan, aib dan rahasia di antara mahasiswa perlahan terungkap dalam kelakar atau celetukan yang mengundang tawa. Godaan dan saling hina menjadi ciri khas persahabatan yang erat dan karib. Malam itu, di rumah Pak Jackly, mie Talaud kian merekatkan kekariban mereka, dengan goda dan cela menjadi bumbunya.

Siang di Teluk Dalum, 26 Juni 2017
Air laut mulai surut. Saya bergerak dari perkampungan menuju teluk dengan melewati beberapa kandang babi yang limbahnya bermuara di laut. Pasir laut yang bercampur tanah dan kotoran babi menghasilkan dataran basah yang lengket. Kami menjelajahinya menuju ke tengah teluk, melihat beberapa mahasiswa yang sedang memetakan terumbu karang. Dari jauh saya lihat Bandi, Ridho, dan Asrar sedang berjibaku mengamati karang lalu memindahkan hasil pengamatan mereka ke sebuah citra satelit yang dilapisi plastik transparan. Mereka melakukan delineasi di atas plastik transparan yang berlatar sebuah cintra satelit hasil unduhan dari Google Earth. Kenangan masa lalu hadir secara tiba-tiba. Mata kuliah penginderaan jauh asuhan Bu Christine dan Almarhum Pak Rachmad tiba-tiba hadir lagi di depan mata.

Kerapatan terumbu karang dan padang lamun merka identifikasi lalu visualisasikan di atas plastik itu. Hasilnya kelak adalah peta sebaran terumbu karang dan padang lamun serta kerapatannya. Dengan melihat peta itu, pengunjug akan tahu di mana ada apa dan di mana sebaiknya melakukan atau tidak melakukan apa. Sementara itu, Dede sibuk mengabadikan kegiatan itu, termasuk tingkah polah kami yang tak lepas dari rekamannya.

Saya bergerak terus kian ke tengah bersam Kristof, Ester, Netta, Arina, Rofiq, dan Furqan. Duduk menikmati suasana di pinggir pantai, Bayu nampak termenung dengan pandangan mata redup. Dia tidak ikut ke tengah. Mungkin lebih nyaman menikmati garis air di kejauhan, pertemuan antara laut dan awan yang membentuk kaki langit. Sementara itu di sepanjang perjalanan menembus laut yang surut, berupa-rupa hewan terlihat. Jenis-jenis ikan kecil yang bermain di sela terumbu karang, bintang laut bermunculan, bahkan ular laut yang konon berbahaya. Ada satu jenis hewan yang bahkan belum dapat kami jelaskan. Mungkin dia teripang, tetapi sepertinya bukan. Ada terlalu banyak rahasia di laut kita. Konon, manusia lebih kenal Planet Mars dibandingkan samudera dalam. Bisa jadi.

Talaud12

Dalam perjalanan pulang kami mampir ke peternakan babi. Jenisnya berbeda dengan yang saya pelihara di masa kecil dulu. Telinganya sama lebar tetapi warnanya cokelat, bukan pink seperti yang saya ingat. Ada beberapa induk babi yang sedang punya anak yang nampak lucu. “Satu juta satu ekor” kata bapak pemilik yang menjelaskan ternaknya. Makhluk lucu geyal geyol itu bernilai sejuta. Mungkin dia sendiri bahkan tidak menyadarinya. Sementara itu imajinasi saya melambung ke tahun 1990 ketika harus bertanggung jawab membantu persalinan belasan induk babi. Saya masih hafal harus membersihkan lender dan selaput di kepala anak babi yang baru lahir. Saya juga masih ingat jelas caranya memotong tali pusar bayi-bayi itu lalu membuhuhi lukanya dengan obat merah. Waktu cepat berlalu. Kenangan 27 tahun yang lalu kini hadir lagi di Dalum.

Talaud14

Dapur Pondokan, 26 Juni 2017
Saya pulang dari rumah adat membawa satu tas plastik kedondong. Sampai di rumah saya bergegas ke dapur dan mulai mengupas kedondong muda itu. Ibu Sekdes sedang memasak untuk kami, saya sekaligus menemani. Deru api di tungku, renyah suara minyak yang mematangkan ikan serta kokok ayam di kebun belakang menjadi latar percakapan kami. Ibu Sekdes berdiri dan tak henti bergerak. Sekali waktu tangannya merapikan kayu bakar yang sudah hampir habis termakan api, di kesempatan lain dia membalik ikan di penggorengan. Ceritanya tidak terputus dan saya pancing dengan berbagai pertanyaan. Sementara itu, jeritan anak babi yang tertambat di pohon pisang di belakang rumah setia melatari percakapan.

Tiba-tiba seorang tante datang membawa kangkung. Dia menjual dan menawarkan kangkug pada Bu Sekdes. Konon itu kangkung darat yang disemai di dekat rumahnya. Warnanya hijau segar dan batangnya juga besar-benar nampak subur. Dua ribu lima ratus rupiah satu ikat, Bu Sekdes membeli dua ikat. Lima ribu rupiah telah tandas demi kangkung untuk makan malam kami hari itu. Selepas dibayar, tante segera bergegas dan tak henti berteriak. Dia menjajakan kangkungnya pada semua tetangga yang dilewatinya. Sementara itu, Bu Sekdes melanjutkan dengan membakar ikan. Sembari menunggu, ditumbuknya tomat dan cabai untuk sambal ikan bakar yang akan kami nikmati sebentar lagi.

Pak Sekdes datang bertandang, demi melihat saya asyik menikmati rujak kedondong dicampur garam, gula dan cabai. Dia duduk di dekat saya dan mulai bercerita tanpa diminta. “Bisnis kecil-kecilan” katanya memulai. Rupanya dia baru saja dari sebuah tempat tak jauh dari rumahnya. Dia ceritakan bahwa dia punya stasiun penyiaran untuk masyarakat desa Dalum. Saya penasaran, apa sesungguhnya yang terjadi. Rupanya dia berlangganan TV cabble dan itu kemudian dia bagi di desa untuk beberapa keluarga. Semua orang di desa itu menikmati 16 saluran TV nasional atau yang berbayar karena ‘kreativitas’ Pak Sekdes. “Mereka bayar 25 ribu sebulan” katanya yakin.

Tanpa saya tanya soal legalitas, dia menceritakannya dengan rela. “Kalau ketahuan, tentu tidak boleh” katanya sambil terkekeh. Saya memilih untuk tidak berkomentar sama sekali. Setidaknya, tidak berkomentar tentang legal tidaknya usaha itu. Kita semua tahu. Kami sama-sama tahu. Pak Sekdes asyik bercerita, mengisahkan perjuangannya sejak tahun 2005 ketika dia memulai bisnis itu. Di tangannya, segala situasi bisa menjadi peluang. Soal legalitas? Kita tidak akan bahas di sini.

“Saya dengar tidak ada yang menjual LPG melon di sini Pak?” tanya saya di tengah percakapan kami. Saya ingat itu karena sedang memandang dua tabung gas melon di depan saya yang sudah mulai usang. “Ya, seluruh Talaud pun tidak ada” katanya yakin. Saya sebenarnya bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi. Penduduk Talaud yang begitu banyak dan membutuhkan gas melon untuk memasak ternyata tidak mendapatkan pasokan yang semestinya. Dengar punya dengar, katanya belum ada pengusaha yang berani mengambil risiko untuk mendatangkan gas itu dari Manado ke Talaud. Apakah benar demikian? Atau ada perihal lain yang lebih rumit. Tiba-tiba muncul berbagai pertanyaan. Ada sesuatu di antara binar-binar mata yang melihat peluang bisnis dan gejolak nasionalisme untuk melakukan sesuatu bagi saudara sebangsa di ujung utara negeri.

Malam di Desa Dalum, 26 Juni 2017
Ini adalah malam terakhir saya berada di Desa Dalum. Kunjungan sebagai DPL tahap pertama akan berakhir esok hari ketika saya harus terbang kembali ke Jogja. Malam ini saatnya ngobrol, berbicara dari hati ke hati. Saya mengumpulkan 30 mahasiswa itu dan saya ingin mendengarkan mereka.

Secara bergantian, Treng, Netta, Agil, Bayu, Silvy, Tio, Tifa, Clara, Maria, Asrar, Husni, Dinar, Furqon, Arina, Azis, Fian, Hanung, Dila, Lisa, Ester, Lani, Dede, Fairus, Rayi, Kristof, Rofiq, Ridho, Cahyadi, Bandi, dan Gama menyampaikan ceritanya. Tentu saja ada guyon dan usaha menggoda satu sama lain. Apalagi kalau bukan soal perjodohan dan cinta lokasi. Memang demikianlah pemanis berKKN di tanah rantau ketika jauh dari rumah. Tapi meski terlihat seperti kelakar, tidak sedikit pasangan suami istri yang berawal dari KKN. Entahlah apa yang akan terjadi dengan KKN Dalum ini. Adakah cinta mereka akan sedalam Dalum? Tak satupun ingin membahasnya secara terbuka. Oh ya, Gama, seperti tebakan saya, ternyata memang lahir dari pasangan alumni UGM. Ketika ditanya apakah orang tuanya bertemu saat KKN, Gama membantahnya.

Saling lempari isu mewarnai sesi berbagi malam ini. Saling goda menjadi penyemangat yang menghangatkan. Saya menikmati dinamika anak-anak muda itu. Dinamika generasi yang konon mudah galau karena alasan sederhana. Malam ini saya tidak melihat itu. Mereka adalah para pembelajar yang tekun menyimak pelejaran dari setiap jeda waktu yang lewat di depan mereka. Di sini, di Desa Dalum mereka menunjukkan karakter yang kuat.

Toleransi adalah tema umum yang menjadi pusat diskusi malam itu. Hampir tidak ada yang tidak merasakan betapa toleransi antariman itu nyata adanya di Dalum. Desa yang tidak dihuni seorang muslimpun ternyata bisa menerima dengan baik mahasiswa UGM yang mayoritas muslim dan sedang berpuasa. Sangat sering saya mendengar kata-kata seperti Pancasila dan Bhinaka Tunggal Ika diucapkan. Kini diucapkan dengan energi yang berbeda, bukan sekedar latah atau sekedar demi kekinian di media sosial.

Talaud15

Ketika menceritakan kebaikan tuan rumahnya, Fian dan Hanung tercekat tidak bisa melanjutkan. Saya bisa merasakan haru biru perasaan yang menderanya. Kebaikan inangnya yang jauh melebihi apa yang pernah diduganya. Fian yang terbiasa sahur dengan satu tahu isi bakso di Jogja, kini disuguhi hidangan lengkap dan tepat waktu. Induk semang mereka sudah bangun jam 3 pagi untuk memsak. “Kalau saja kami bukan sesame lelaki, saya sama Hanung sudah nangis melihat itu Pak” kata Fian.

Azis tidak berbeda. Dia bahkan berkontemplasi hingga jauh, mengingat masa kecilnya saat berteman dengan orang yang bebeda keyakinan. Interaksi yang begitu indah di masa lalu seakan hadir lagi di Dalum. “Saya berjanji akan terus mempertahankan keyakinan dan kebiasaan ini Pak” katanya bersemangat. Hal senada disampaikan oleh Ridho. Lebih jauh dia menegaskan kesadarannya akan luasnya Indonesia. “Bahwa Indonesia bukanlah hanya tentang sekelompok orang saja. Indonesia itu luas. Luas sekali dan saya bersyukur bisa menginjakkan kaki di sini. Jika ada kesempatan saya juga ingin keliling dunia Pak” katanya mantap.

Beberapa orang berefleksi tentang pilihannya untuk ber-KKN di Talaud. Mereka memaknai arti kemandirian dengan sangat baik. Konon beberapa dari mereka tidak menceritakan secara rinci di awal kepada orang tua mereka karena takut tidak diizinkan namun akhirnya semua mendapat restu orang tua saat berangkat. Clara dengan semangat menceritakan betapa keputusannya untuk terjun ke laut untuk berenang adalah keputusan besar. Dengan melakukan itu dia merasa telah melewati satu fase keraguan dan membuatnya seperti terbebas dan lebih percaya diri. Tifa menyampaikan hal yang sama. Sebagai anak yang lahir dan besar di kota, Tifa merasakan pengalaman ini mengubah pandangannya akan banyak hal. Neta dan Gama tidak jauh beda karena mereka lahir dan besar di Jogja. Gama bahkan menceritakan bahwa dia baru pertama kali naik pesawat untuk melakukan KKN ini.

Sebagian menyoroti soal bahasa yang berbeda. Menurut mereka, tidak mudah memahami ketika bahasanya berbeda. Meskipun mereka bisa berbahasa Indonesia, secara spontan orang-orang Dalum akan menggunakan bahasa daerah mereka sendiri karena mungkin merasa nyaman. Itu sering sekali menjadi kendala dalam komunikasi. “Jadi, teman-teman dari Jawa sekarang paham kan rasanya menjadi mahasiswa baru UGM dari luar Jawa?” kata saya memotong cerita itu, “sungguh tidak mudah ketika semua orang berbahasa Jawa di kampus termasuk dosen dan asisten saat mengajar?” lanjut saya dan disambut gelak tawa mereka. “Ya bener Pak” kata beberapa orang dari Padang, serempak.

Dari semuanya, Rofiq agak berbeda karena dia menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah dan UGM. “Dari kecil, hidup dan sekolah saya dibiayai oleh pemerintah Pak” katanya, “dan saya bisa sampai di sini juga karena pemerintah. Saya berterima kasih pada negara dan kini saatnya saya berusaha untuk melakukan sesuatu untuk membalasnya.” Saya bisa merasakan ketulusan itu.

Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari 30 orang mahasiswa itu. Tidak semuanya saya catat tetapi semuanya saya rekam dalam memori dengan baik. Ketika saya mendapat giliran berbicara, saya mulai dengan terima kasih. Bukan mereka yang belajar dari saya tapi sayalah yang belajar banyak lewat mereka. Saya juga ingin menyemangati mereka, terutama tentang program KKN yang masih belum nampak realisasinya.

“Teman-teman”, kata saya, “kalian mungkin khawatir soal program yang masih belum jelas bentuknya. Jangan lupa, ini adalah Kuliah Kerja Nyata dan kalian adalah peserta kuliah. Kalian bukan pemberi kuliah. Tugas kalian yang utama di tempat ini adalah belajar sebanyak-banyaknya. Boleh ada ambisi untuk memberi dan membantu tetapi yang utama adalah belajar agar kalian menjadi orang yang terbuka dan tercerahkan. Jangan sampai kalian murung hanya gara-gara tidak merasa berbuat banyak. Kuliah adalah soal menerima, bukan memberi. Dalam ketekunan kalian menuai pelajaran, tanpa sadar kalian juga sudah memberi. Kehadiran kita di sini yang hanya dua bulan tidak untuk menyelesaikan semua persoalan tetapi untuk mengingatkan saudara kita bahwa mereka punya saudara sebangsa yang peduli.”

Saya kemudian untuk kesekian kalinya mengutip lagi cerita Koesnadi Hardjasoemantri yang menjadi pelopor KKN. Bahwa mereka hadir di situ juga untuk menjadi visualisasi mimpi bagi anak-anak muda Dalum sehingga mereka memiliki kesadaran bahwa suatu saat nanti, mereka juga memliki kesempatan yang sama untuk bersekolah di tempat terbaik di negeri ini. Kelak, mereka juga bisa menjadi murid dari perguruan Gadjah Mada, jika mereka berjuang dengan sungguh-sungguh.

Malam itu, ketika saya beranjak tidur, terngiang lagi pertanyaan yang sering muncul “apa sih perlunya KKN bagi mahasiswa UGM?” Kini dengan penuh keyakinan, saya bisa jawab. Memulai, merawat dan mempertahankan KKN adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Universitas Gadjah Mada. Sayapun terlelap sambil merencanakan reuni KKN Pakem setelah 17 tahun berlalu. Satu lagi yang saya percaya, KKN adalah tentang persahabatan.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

10 thoughts on “KKN UGM DI UJUNG UTARA NEGERI”

  1. Mohon Maaf Pak Andi..Saya secara khusus untuk diri sendiri,kurang suka aktivitas KKN jika itu dipaksakan ke seluruh mahasiswa dalam bentuk terjun ke kawasan terpencil. Kenapa saya kurang sepakat,karena hal itu membatasi minat & keinginan mahasiswa untuk mengembangkan diri.Bisa saja jika KKN itu dibebaskan memilih selain ke kawasan terpencil,misalnya dalam bentuk pengabdian ke sebuah institusi,magang atau terjun langsung ke praktek lapangan utk meningkatkan kapasitas diri sebelum lulus kuliah.Beberapa kampus di Jakarta,Bandung,Ada yg menerapkan Pola seperti itu.Kebetulan kampus tempat saya kuliah mengubah polanya dengan mewajibkan semua mahasiswa KKN ke daerah2..Itu sungguh mengecewakan Saya.Saya yakin tidak semua mahasiswa suka pergi jauh2 ke tempat2 asing yg kadang menurut sebagian kalangan memiliki “unforgettable memories”..Dua teman kuliah saya dulu,dapat jodoh dari KKN.Tapi saya secara pribadi kurang suka dengan KKN model seperti itu.Jadi saya menjalani KKN dengan terpaksa,sedih hati saya,sebulan lamanya saya aktif KKN.Tapi karena sadar itu tanggungjawab kampus,tokh saya lulus dengan nilai A dg segudang aktivitas yg bermanfaat.Hati kecil saya masih tetap menganggap KKN saya dulu kurang pas untuk saya, & bahkan tdk mendukung pengembangan kemampuan saya..Begitu selesai KKN,smp skrg,saya tdk prnh berkunjung kembali di daerah tempat KKN itu.
    Maaf..Jika curhatnya terlalu panjang..Hehehe

    1. Semoga curhat Anda didenger kampus Anda ya. UGM punya opsi dr Sabang sampai Marauke, dari Timor sampai ke Talaud. Berbagai topik baerbagai kasus. Mereka yg ke Talaud adalah yang memilih ke sana.

      Semangat ya 🙂

  2. Lumayan menyejukkan membaca nya pak. Saya suka. Jadi seperti mengulang memori KKN dua tahun silam di Manggar, Belitung Timur. Punya induk semang yg baik hati dan bisa kenal ke pemerintah kabupaten lewat koordinasi program2 kami. Sekarang sdh lulus dan kerja. Rasanya ingin juga pergi ke Dalum 😁 Salam kenal dari Bangka Pak Andi

  3. seru banget KKN, sayangnya belum pernah mengalami karena kampus saya dulu kampus luar biasa. tapi selalu salut dengan tulisan Bli yang bisa menggambarkan suasana lewat kata-kata

  4. sepertinya, intisari yang hendak disampaikan pak Andi ada di penggalan kalimat ini: “agar layak jadi bapak saat bapak yang sebenarnya tak nampak”. 😀

  5. Membaca artikel Pak Andi ini mengingatkan KKN saya 2 tahun lalu di kabupaten yang sama. Hanya saja pulau kami lebih kecil dan lebih utara, Pulau Marampit. Sangat berkesan ketika kami yang datang dari mayoritas muslim diperlakukan seperti saudara sendiri oleh warga setempat yang semuanya adalah pemeluk Nasrani. Kami banyak belajar toleransi dari mereka, sehingga rasanya sulit bagi kami untuk menjadi seorang yang intoleran sepulang KKN dari sana.
    Ingin rasanya sedikit bercerita tentang contoh-contoh toleransi mereka. Ah, andai saja saya bisa menggambarkan suasana-suasana KKN saat itu lewat tulisan sebagus tulisan Bapak ini 🙂

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: