Dalam sebuah seminar tentang beasiswa luar negeri di Jogja, seorang perempuan yang nampak sudah cukup senior bertanya. Melihat usianya yang tidak muda lagi, saya duga perempuan itu adalah seorang pejuang yang hebat. Betapa tidak, usianya sudah senior, masih bersemangat mengikuti seminar beasiswa luar negeri dan aktif bertanya saat seminar itu. Mengagumkan semangatanya. Usia memang semestinya tidak mendikte kita dalam belajar dan mengejar ilmu.
“Saya ada di sini karena anak saya Pak. Saya mengikuti seminar ini untuk anak saya, bukan untuk saya”, demikian dia memulai. Pemahaman saya mulai berubah. Kini ada rasa kagum yang berbeda, betapa ibu ini sangat peduli pada anaknya. Meskipun anaknya tidak bisa hadir di seminar, beliau menggantikannya untuk datang dan menyerap sebanyak mungkin ilmu untuk anaknya. “Anak saya sudah kuliah saat ini dan saya mendukungnya untuk mendapatkan beasiswa luar negeri kelak. Anak saya memang cenderung pemalu kalau mengikuti acara-acara seperti ini Pak.” Kata-kata perempuan itu membuat suasana ruangan hening. Memang tidak biasa, dalam seminar seperti itu, seorang ibu mewakili anaknya untuk berjuang mencari informasi. Perhatian beliau sangat besar. Suasana ruangan dipenuhi rasa haru.
“Anak saya memang kurang berani untuk bertanya dan mencari informasi soal beasiswa. Sifatnya memang demikian” kata ibu itu melanjutkan. Dia rupanya tahu betul sifat anaknya dan oleh karena itu dia paham benar bagaimana membantunya. Anaknya yang pemalu dan tidak mau hadir di sebuah seminar tidak membuatnya putus asa. Sebagai jalan keluar, dialah yang hadir sebagai peserta seminar. Ini pengabdian seorang ibu.
Dalam keheningan dan keharuan suasana, perempuan itu melanjutkan “ini anak saya yang duduk di depan saya, Pak.” Suara itu diucapkan dengan lirih tetapi terdengar seperti halilintar di siang bolong. Kelas yang tadi penuh haru berubah seketika menjadi gelisah dan agak berisik. Setiap orang di ruangan itu mencari-cari wajah yang diklaim perempuan itu sebagai anaknya. Sementara dari bagian depan ruang seminar saya melihat wajah seorang pemuda (ya, dia laki-laki) nan manis, tersenyum nanggung dengan tatapan mata setengah kosong.
Saya bisa rasakan pandangannya gelisah dan mungkin merasa tidak nyaman dengan situasi di sekitarnya. Sekali waktu dia tertunduk atau melihat langit-langit ruangan. Di tengah suasana yang demikian, sang ibu tidak berhenti menceritakan betapa anaknya kurang bersemangat dan kurang punya inisiatif sehingga dia lah yang harus berjuang. Tiba-tiba, kalimat itu tidak lagi bermakna heroik seperti yang saya dengar sebelumnya.
Saat harus menjawab pertanyaan sang ibu, saya tertegun lama. Tidak mudah memberi jawaban atas pertanyaan seorang ibu, tentang anaknya yang tidak mau berjuang, terutama ketika jawaban itu harus diberikan di depan anaknya yang tengah menatap saya dengan pandangan mata kosong. Akhirnya saya memulai dengan sebuah cerita. Cerita itu tentang seorang anak kecil bernama Lita yang ketika nyaris tujuh tahun usianya sudah dibiarkan oleh orangtuanya yang tega untuk berangkat sendiri ke Bali dari Jogja.
Entah kenapa saya jadi menebak situasi apa saja yg terjadi antara anak dan ibu tsb selama hidup si anak. Sepertinya rasanya ga nyaman berada di posisi sang anak melihat karakter sang ibu 😥
Bisa dibayangkan 🙂
Sy jd kasihan sama anak tsb 😦
Saya jadi kasihan sama Pak Andi… hehehe.. sulit menjawabnya.
Haha.. rumit memang Mas 🙂