Serombongan anak kecil usia maksimal lima tahun nampak berbaris rapi di koridor menuju lift. Gedung itu jadi ramai oleh celoteh mereka yang memang cenderung bebas dan tidak mau diatur. Kelakar, jeritan, teriakan dan tawa terdengar riuh rendah. Sementara itu seorang perempuan paruh baya nampak sibuk menenangkan mereka. Perempuan itu memastikan setiap anak masih memegang tali temali panjang yang ‘mengikat’ rombongan makhluk kecil itu. “Please, don’t do that!” kata perempuan itu tiap kali melihat anak kecil yang melepaskan pegangannya. Setiap anak harus ‘terikat’ dan semua harus dipastikan bergerak berasama.
Pagi itu saya menikmati serombongan anak TK mengunjungi kantor. Layaknya rombongan anak TK, mereka datang dengan keluguannya dan tidak khawatir akan apapun. Bagi anak-anak itu, kunjungan pagi itu tak ubahnya kunjungan bulanan lain yang biasa mereka lakukan secara rutin. Mereka juga mungkin tidak belajar banyak hal-hal besar dari kunjungan itu karena merekapun tidak menuliskan catatan apapun. Anak kecil usia 3-5 tahun memang tidak perlu mencatat dan melaporkan hasil kunjungan dalam bentuk laporan tebal berlogo resmi. Semua berjalan biasa saja, tidak serius dan selalu menyenangkan.
Pemandangan itu istimewa karena kantor itu adalah Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City, tepatnya di jantung Kota Manhattan, Amerika Serikat. Berada di gedug mentereng itu mengingatkan saya akan buku bacaan di SD yang memuat ilustrasi gedung PBB lengkung di sebelah gedung tinggi berbentuk kotak yang di depanya terpajang bendera 190an negara di dunia. Ya, anak-anak TK itu sedang melakukan kunjungan ke Gedung PBB di New York. Alangkah mahalnya kunjungan itu dan alangkah luar biasanya ketika anak TK sudah berkunjung ke Markas Besar PBB? Tidak juga, karena sekolah mereka hanya beberapa meter dari Gedung PBB.
Saya memasuki Gedung PBB untuk pertama kalinya pada tahun 2007, ketika usia hampir 30 tahun. Perlu tiga dekade untuk menunggu sebelum saya bisa menikmati bagaimana rasanya memandang jalanan di Manhattan dari lantai 23, tempat para delegasi dunia menuntaskan santap malam diplomatik. Perlu tiga dekade untuk melihat sendiri Bendera Merah Putih berkibar di depan Gedung PBB, gagah di antara bendera-bendera negara lain di dunia. Sementara anak-anak kecil itu bahkan tidak merasa sensasi yang berlebihan ketika belum genap lima tahun usianya sudah menikmati apa yang saya tunggu tiga dekade. Mereka bahkan mungkin tidak perlu bermimpi dengan harap-harap cemas untuk bisa menyaksikan presiden berbagai negara berlalu lalang di sebuah ruang besar di sebelum hall konferensi. Presiden dan perdana menteri itu sibuk sendiri dan dan kadang tidak disapa berlebihan. Wajar, karena orang-orang di sekitar seorang presiden atau perdana menteri di ruangan itu adalah juga presiden dan perdana menteri.
Bagi anak-anak kecil itu, bisa bekerja di Gedung PBB atau menjadi ketua delegasi kenegaraan untuk mendiskusikan isu tertentu bisa jadi hal biasa. Tentu saja biasa karena mereka bahkan sudah bermain bebas di Gedung PBB sebelum berusia lima tauhun. Apakah anak-anak ini pasti lebih pintar dibandingkan anak-anak TK Tunas Mekar di Desa Tegaljadi, Tabanan? Belum tentu. Namun jika pertanyaan adalah siapa di antara mereka yang lebih fasih memasuki berbagai ruangan di Gedung PBB atau siapa yang lebih lihai menemukan lokasi toilet di dekat Chase Bank di Gedung PBB? Itu jelas jawabannya. Siapakah di antara mereka yang lebih grogi ketika kelak harus bertemu Sekjen PBB atau Dutas Besar Rusia untuk PBB? Itu jelas jawabannya. Apakah kesiapan mental sedemikian itu akan berpengaruh pada profesionalisme dan gaya diplomasi mereka ketika bekerja di Markas PBB kelak di kemudian hari? Sangat bisa jadi.
Keterpaparan itu penting. Bagaimana seorang lulusan UGM bisa fasih berdiskusi soal society empowerment di sebuah desa terpencil di Vietnam Utara dengan koleganya di 10 negara ASEAN di tahun 2018 nanti jika hingga tahun 2017 pun belum pernah bertemu kolega mahasiswa dari negara-negara ASEAN? Bagaimana seorang pemuda dari Bantul bisa dengan tenang dan percaya diri menyampaikan gagasannya soal mikro hidro untuk pembangkit listrik di sebuah desa terkebelakang di Myanmar dalam suatu forum ASEAN di sebuah hotel di Bangkok, jika untuk naik lift hotel saja dia belum pernah mencoba? Bisa jadi kesiapan itu bersandar pada satu hal sederhana: keterpaparan. Exposure, kata orang-orang pintar.
joss deh
keterpaparan erat kaitan nya dengan kertbukaan akses atau kesempatan, kesempatan yang sama untuk setiap anak, tidak peduli dia tinggal di desa atau di kota, anak orang kaya atau moskin, tinggal di pulau jawa atau pula papua.
🙂
kesimpulannya : belajar hidup senang, jangan belajar hidup menderita.
*kesimpulan ngawur.