Kok bisa sih?


Tahun 2013, dalam sebuah konferensi saya bertemu dengan seorang kolega junior, sesama alumni UGM. Usianya masih belia ketika itu dan nampak pintar. Dia juga presentasi di konferensi itu, menunjukkan kualitas penelitiannya yang tentu sangat baik sehingga bisa dipaparkan di depan para peneliti dunia di Belanda. Saya dengan segera mengaguminya.

Gaya komunikasi anak muda ini yang menarik perhatian saya. Dalam obrolan, entah mengapa, dia lebih sering menceritakan pengalamannya di Eropa beberapa waktu silam. Sedikit saja ada orang yang bercerita soal sesuatu dia akan menyela sambil menceritakan pengalamannya sendiri. Dia ceritakan pengalamannya berkeliling Eropa dan menjadi bergaya ‘tuan rumah’ bagi kami, orang-orang yang datang dari luar Belanda. Saya menikmati saja, menyimak dengan baik tanpa banyak bicara. Senyum adalah respon terbaik di saat seperti itu.

Suatu ketika kami membahas musim semi. “Di Australia gimana musim seminya Pak?” tanyanya dengan antusias. “Biasa sih, bunga-bunga bermekaran dan orang-orang pada sakit terserang spring fever” kata saya setengah berkelakar. “Ada tulip ngga di sana?” kejarnya lagi. “Ada. Di Canberra ada Floriade, festival musim semi. Ada tulip juga sih” lanjut saya, datar tapi berusaha informatif. “Tapi tetap beda ya Pak, dengan tulip Belanda. Saya sih melihat tulipnya di Belanda. Kalau sudah melihat yang di Belanda, yang lain pasti nggak ada apa-apanya” sambungnya lagi.

Saya bukan duta pariwisata Australia. Saya juga bukan penggemar tulip atau musim semi. Saya juga tidak tertarik membandingkan Australia dan Belanda soal tulip. That is too obvious, Belanda tak terkalahkan. Meski demikian, cara perempuan itu menyampaikan pandangannya membuat hati tak nyaman. Entahlah, mungkin saya sedang sensitif, atau terbawa oleh nuansa percakapan sejak beberapa menit lalu. Merasa tidak perlu membela ataupun mengklarifikasi apapun, saya tersenyum saja sambil menyimak celotehannya soal musim semi, soal hebatnya Eropa dan soal perjalanannya.

Dalam perjalanan menikmati Belanda dengan paket tur yang disediakan panitia, saya dan perempuan muda itu banyak berinteraksi. Layaknya turis, kami banyak mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Saya secara bergantian dengan dia mengambil gambar untuk rombongan itu. Hampir setiap kali saya selesai mengambil gambar, dia akan melihat hasilnya lalu berkomentar seperti “komposisi ini kurang, harusnya bisa diangkat sedikit”, atau “kurang dekat” atau sekedar “kok gak terang ya”, atau “harusnya pakai blitz kalau cahayanya seperti ini”. Dari komentar itu, nampak dia memang paham fotografi, dan terutama punya selera yang baik terkait kualitas foto. Kadang saya tawarkan untuk diulang, karena merasa memang bukan tukang potret yang professional dan biasanya ditolak alias tidak perlu diulang. Jika sudah demikian, saya tersenyum saja, sambil sesekali mengangkat bahu.

Selain berfoto, kami juga bercerita tentang pengalaman masing-masing melakukan perjalanan. “Yang paling unik apa Pak?” tanyanya suatu ketika. Saya berpikir sejenak lalu berkata “hm apa ya, mungkin perjalanan di ASEAN ya. Saya pernah sarapan di Singapura, Lunch di Kuala Lumpur dan Makan malam di Bali.” “Wah kalau itu sih biasa Pak. Saya sering banget kaya gitu salama di Eropa. Kalau kita tinggal di Eropa, breakfast, lunch dan dinner di tiga negara yang berbeda itu tidak aneh. Biasa banget!” katanya menceramahi saya. Atau mungkin tidak menceramahi, sekedar menceritakan kebenaran.

Yang membuat pernyataannya menarik bukan karena kebenaran yang diceritakannya karena memang demikianlah adanya. Hidup di Eropa membuat kita paham sepaham-pahamnya istilah “borderless world” yang dikemukakan oleh Kenichi Ohmae di awal tahun 1990an. Makan di tiga negara berbeda dalam sehari, bukan sebuah cerita baru jika kita tinggal di Eropa. Yang menarik perhatian saya adalah caranya menceritakan dan usahanya untuk menurunkan keistimewaan kisah yang diceritakan lawan bicaranya. Saya menduga, beliau mengalami masalah insecurity dalam dirinya sehingga tidak bisa mendengar orang lain lebih hebat dari dirinya. Atau mungkin hal lain. Analisis saya ini tentu sangat subyektif dan dipengarhui oleh rasa tidak nyaman yang saya alami.

“Eh, acara apa Pak ke Kuala Lumpur dan Singapura?” tiba-tiba dia bertanya lebih lanjut. Mungkin karena suasana percakapan yang kurang menarik minat, saya jawab singkat “ngasih kuliah.” Tiba-tiba dia berkata setengah berteriak “Hah, ngasih kuliah?! Kok bisa sih??!” Saya tersenyum saja, tidak terarik untuk menjelaskan. Di wajahnya ada keheranan, atau mungkin juga ketidakpercayaan. Dalam hati saya jawab “biasa aja keleus”.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

11 thoughts on “Kok bisa sih?”

  1. Yes pak Andi, dalam bersosialisasi kadang kita menemukan tipe yang seperti ini. Saya kadang membatin “kok bisa sih? Mereka tidak bisa mendengar orang lain lebih hebat dari dirinya.”
    Kacian deh…..hehebe

  2. At some point, saya kadang merasa menjadi seperti mbak tadi, Pak. Sekedar ingin membuka keheningan, tapi jadi malah kebablasan. Kontrol untuk tidak cross the line inilah yang sulit, meski tidak berarti nggak bisa dipelajari. Saya masih butuh banyak belajar melihat sikon lawan bicara. Matur nuwun atas ingatannya, Pak 🙂

    1. Mas Pugo, ini komentar terbaik terhadap tulisan saya. Keberanian melihat siatuasi dan kelemahan diri adalah ciri kebesaran hati. Terima kasih Mas. Pembaca lain akan belajar dari komentar ini. Saya yakin.

  3. Koq jadi inget ‘sesuatu’ yang ada di kampus ya dengan case yg hampir sama.. #eh hehehe

    Anyway, thanks Bli atas pencerahan dan pengingatannya.
    Ditunggu kehadirannya Kamis besok di Rich Sahid Hotel 🙂

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: