Royal Hospital for Women, Sydney, 14 September 2005
Pelan-pelan kudorong kereta bayi itu dari bangsal bayi menuju sebuah ruang besar. Di sepanjang koridor rumah sakit, kulihat tubuh mungil tergolek tenang. Matanya tertutup rapat namun sepertinya tidak tidur. Tubuhnya terbungkus rapi oleh selimut putih bergaris-garis biru dan merah vertikal. Kelopak matanya bergerak-gerak, tanda dia tak tidur. Lita, anakku, baru berumur dua hari sejak kelahirannya dengan operasi sesar Senin lalu. Sementara itu, Asti, ibunya, masih tergeletak di bangsal, menjalani masa pemulihan.
Di luar ruangan, September baru setengah umur dan musim semi mulai menampakkan diri. Bunga-bunga di sepanjang jalan High Street bermekaran, meskipun tidak banyak ragamnya. Burung-burung yang bersembunyi di sepanjang musim dingin kini bermunculan dan bermain berkelebat di sela-sela batang pepohonan. Rombongan burung penghisap sari bunga bercengkrama menikmati manisnya cairan madu yang mereka curi dari bunga-bunga yang bermekaran. Meski cerita, musim semi juga membawa serta wabah demam yang mengintip siapa saja. Spring fever, kata para perawat di rumah sakit, maka kami harus berhati-hati menjaga bayi.
Perlahan namun pasti, aku memasuki sebuah ruangan besar berlantai putih. Di dalamnya telah ada puluhan kereta bayi dan ‘dijaga’ para lelaki. Bayi-bayi itu beranega ragam warnanya. Ada yang sawo matang seperti Lita, ada yang merah bule, ada yang hitam, ada juga yang kuning. Warna mereka berbeda, yang sama adalah tangisnya. Mereka bersepakat untuk yang satu itu sehingga ruangan itu menjadi sedikit riuh rendah oleh satu ‘suara’. Dari sekian banyaknya, aku tidak melihat ibu bayi. Jikapun ada perempuan, wajahnya terlalu dewasa sehingga lebih tepat mengaku sebagai nenek daripada ibu. Rupanya, yang diundang ke ruangan itu memang para ayah yang kadang ditemani para nenek. Aku dan Lita ditemani mbah puteri yang setia menunggu di sebelah.
Seorang perempuan mulai bicara. Suaranya lantang namun tenang saat menjelaskan mengapa kami semua ada di ruangan besar itu. Hari ini, kami akan belajar cara memandikan bayi. Aku menunggu dengan rasa penasaran sekaligus cemas. Melihat tubuh mungil Lita yang rasanya sangat ringkih, begitu mudah bagiku untuk merasa tidak mampu dan tidak tega memandikannya. Jangankan memandikan, untuk menggendongnya saja aku masih ragu-ragu.
“I need a volunteer here”, kata perempuan itu dengan nada suara yang agak tinggi sehingga semua orang memperhatikan. ”Will somebody let his baby be bathed by us?” Ternyata acara kursus itu melibatkan demo. Dalam sekejap ada seorang ayah yang menyerahkan bayinya untuk dijadikan ‘obyek percobaan’. Ayah yang berani, aku pikir. Atau ayah yang tega?
Semua mata tertuju pada bayi itu dan betapa terampilnya tangan perempuan itu memperlakukannya. Mulai ada senyum dari bibir para lelaki di sekitarku. Akupun demikian. Ternyata tidak serumit yang aku bayangkan. Anak itu istimewa dan tidak menangis sama sekali ketika popoknya dibuka dan ‘dibolak balik’ oleh perempuan itu. Aku pikir, Lita mungkin akan beda ceritanya kalau saatnya tiba untuk aku memandikannya nanti. Tapi itu masih jauh, dan kami ditemani mbah puteri serta ninik dari Bali. Mereka tentu bisa membantu dan mengajariku nanti.
Bayi itu dimandikan di sebuah ember transparan seperti akuarium sehingga semua bisa melihat apa yang terjadi. Aku perhatikan bagaimana tangan perempuan itu memegang lengan kecil itu, bagaimana dia membasuh kepala bayi untuk mengeramasinya dan mengusap tubuhnya dengan sabun. Tentu saja licin dan itu terlihat dari jauh tetapi bayi itu tenang. Tidak ada tangisan dan tidak memberontak juga. “If you do it right, your baby can sleep during bath” katanya mengejutkan. Dalam hati aku mencibir, tidak mungkin bayi tidur saat dimandikan.
Aku lihat bayi itu, dibalik, diusap, dibilas air sampai akhirnya diposisikan telungkup di lengan bawah perempuan itu. “Look at him. He is sleeping” katanya dengan nada agak sombong dan bangga. Ternyata bayi memang bisa tidur saat sedang dimandikan jika memang cara memandikannya benar dan membuatnya tenang. Para lelaki itu nampak sumringah wajahnya. Ada berbagai percampuran di situ. Antara senang, terharu sekaligus gelisah karena cemas. Entahlah.
“Okay everybody, it is now your turn!” kata perempuan itu menyentak mengagetkan. Jadi, ini bukan hanya demo cara memandikan bayi. Hari ini juga ada praktik dan wajib sifatnya. Setelah perempuan itu berkata memberi perintah, beberapa perempuan lain yang dari tadi berdiri di depan tiba-tiba berkeliling ruangan melakukan inspeksi. Sepertinya mereka adalah para petugas yang ingin memastikan semua bayi memang dimandikan hari itu.
Aku tenang saja karena di sampingku ada mbah puteri. Tentu beliau akan membantu. Benar saja, ketika aku bilang bahwa Lita harus dimandikan untuk pertama kali hari itu, mbah puteri dengan cekatan mulai mengangkat Lita dari kereta bayi dan memindahkannya ke meja tempat mandi. Belum lagi Lita dipindahkan dengan sempurna, aku mendengar teriakan dari belakangku “no.. no.. no… the dad should do it, please.” Saat kulihat, di belakangku sudah nampak seorang perempuan petugas dengan senyum manisnya tetapi penuh ancaman. Wajahnya lembut namun penuh ketegasan. Mbah puteri agak bingung karena instruksinya dalam Bahasa Inggris. “Biarin dulu, Bu. Saya yang harus memandikan” kataku menjelaskan. Kini ada dua orang yang gelisah. Aku yang ragu-ragu karena tidak yakin akan kemampuanku dan mbah puteri yang tentu lebih tidak yakin lagi dengan keterampilanku memandikan bayi.
“Come on Dad!” kata perempuan itu dengan senyum setengah tertawa. Rupanya dia tahu betul apa yang terjadi dan sepertinya sudah terbiasa menghadapi suasana dilematis seperti itu. Aku tentu bukan satu-satunya ayah pemula yang menunjukkan keraguan itu saat harus memandikan anaknya untuk pertama kali. “You can do it” katanya setengah berbisik dan mengedipkan matanya ke arahku. Kedipan kali ini sama sekali jauh dari godaan. Ini adalah ancaman mematikan.
Dengan penuh keraguan aku mulai sentuh tubuh Lita yang masih terbungkus kain putih bergaris vertikal. Tubuhnya mungil dan sepertinya rapuh sekali. Diam-diam aku dihinggapi kekhawatiran kalau-kalau anggota tubuhnya akan lepas jika aku pegang. Aku takut menyentuh lengannya karena takut lengannya akan copot. Aku takut memegang kakinya karena khawatir kakinya akan tanggal, lepas dari tubuhnya. Intinya, penuh kekhawatiran.
“You do whatever I say” kata perempuan itu masih tersenyum tetapi tetap dengan ancaman yang mematikan. Dengan keraguan yang ada pada puncaknya, aku pindahkan Lita ke atas meja pemandian. Tubuhnya terbungkus rapi dan itu yang membuatnya tenang serta nyaman. Rasanya tidak tega untuk membuka balutan itu, kalau saja perempuan di dekatku itu tidak memandang dengan tatapan penuh ancaman. Dia mengangkat alisnya seakan merayu Ayo buka to Mas, aku sudah nggak sabar. Eh, bukan. Bukan seperti itu. Gerakan alis itu lebih cocok dimaknai you do it now, or I kill you! Dalam hati aku berkata okay, take it easy, I will take your cloth off… hmm… pardon me, I meant, her cloth.
Aku sentuh peniti besar yang mengunci selimut pembalut tubuh Lita. Dengan gerakan pelan, peniti itu sudah terbuka dan aku tarik perlahan. Tubuhnya bergerak-gerak karena memang tidak tidur dengan pulas. “Good job, Daddy” kata perempuan itu, kini dengan pandangan yang tidak semengancam tadi. Aku mulai bisa tersenyum. “Roll the baby” katanya memberi perintah. Roll pagimane?! Teriakku dalam hati. Ternyata untuk melepas selimut itu, aku tidak harus mengangkat bari tetapi bisa menggulingkan bayi dengan hati-hati. “The baby is flexible, don’t worry” katanya kini dengan nada lebih tegas karena melihat keraguanku. Aku mulai menurutinya dan ternyata it worked like a charm. I did it. Aku mulai mengumpulkan rasa percaya diri. Senyum mulai lebih sering keluar dari mulutku menggantikan desis khawatir. “There you go, good job Daddy” kata perempuan itu tersernyum.
Aku mengikuti semua perintahnya. Aku membalik tubuh mungil itu, menidurkannya di lengan bawahku, menegadahkannya, memberi pijatan kecil, memberinya minyak dan seterusnya. Tiba-tiba aku merasa cekatan dan mbah puteri melihat dengan mata berbinar-binar. Mungkin beliau terharu karena tadi sempat tidak percaya.
“Do you know why we call all the dads, not the moms?” tiba-tiba perempuan itu bertanya. Aku juga baru sadar, di situ memang para ayah yang bekerja keras memandikan bayi, bukan para ibu. Aku menggeleng. “because you guys, listen to us and you use your brain more than your heart. The moms won’t do the same.” katanya menjelaskan penuh percaya diri. Mungkin benar, di saat-saat seperti itu, sifat ayah yang cenderung lebih rasional memang jauh lebih bermanfaat dibandingkan para ibu yang mudah tumpah air matanya karena rasa cinta dan kekhawatiran yang berlebih.
Yogyakarta, 12 September 2016
“Gimana kalau kita belikan HP buat ultah Lita Yah?” kata Asti yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Sementara itu tidak jauh dari situ terlihat senyum nakal seorang gadis cantik usia 11 tahun. Senyum yang penuh rayuan.
dik Lita rayuannya maut! bapaknya klepek klepek hehe
Hehe 🙂