Suasana di sebuah ruangan rapat di Hotel JS Luwansa Jakarta pada hari itu cukup mencekam. Di depan saya duduk lima orang India yang nampak senior dari segi usia. Tidak saja itu, dua di antara mereka adalah pensiunan perwira tinggi angkatan darat dan angkatan laut negara Jambu Dwipa itu. Tiga lainnya, masing-masing adalah akademisi sekaligus purnakarya duta besar dan petinggi asosiasi pengusaha di India. Singkat kata, mereka orang ternama yang berkaliber mumpuni.
Di samping saya ada Prof. Wiendu Nuryani, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional RI yang duduk tenang penuh perhatian. Di sebelah beliau ada Dr. Dino Patti Djalal yang tersohor itu, meperhatikan dengan seksama proses diskusi yang serius tingkat tinggi. Di sebelah Pak Dino ada Mas Medyatama Suryodiningrat yang selalu bisa mengemas informasi dalam bentuk yang memikat. Mas Dimas, begitu beliau dikenal, adalah mantan orang nomor satu di The Jakarta Post yang kini dipercaya Presiden Joko Widodo sebagai Direktur Kantor Berita Antara. Sementara itu, duduk paling ujung adalah Ibu Shinta Kamdani, orang penting di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Pusat.
Saya sungguh beruntung bearada di sana menemani keempat orang hebat itu. Paling muda dalam usia dan mungkin paling minim dalam pengalaman, saya mendapat kehormatan berada dalam satu tim dengan beliau berempat. Namanya juga membuat saya kadang tersenyum khawatir: “Indonesia-India Eminent Persons Group”. Yang pasti, keterlibatan saya ini bukan karena mendaftar, bukan juga karena menjalani proses seleksi terbuka. Konon ini adalah hasil pengamatan Kementerian Luar Negeri RI terhadap orang-orang yang dianggap bisa berkontribusi lalu keputusan pun diambil. Saya ‘katut’ dalam pilihan itu dan harus ‘berhadapan’ dengan lima orang India yang juga tergabung dalam Eminent Persons Group dari sisi India.
Sore itu, dalam pertemuan perdana tim Indonesia dan India di JS Luwansa, saya harus berbicara. Budaya kontemporer menjadi salah satu topik penting. Intinya, kedua belah pihak sedang mencari cara untuk mendekatkan kedua negara secara budaya. Berbagai gagasan sudah disampaikan oleh kedua tim dan saya mendapat kesempatan berbicara. Apa yang harus saya sampaikan? Gagasannya tentu harus berbobot tetapi saya ingin sebuah ‘delivery’ yang lebih santai. Jika anggota tim lainnya cenderung serius dalam menyampaikan gagasan, saya ingin menyampaikan sesuatu yang lebih lucu tetapi berisi dan bermakna.
Tiba-tiba saya ingat suasana hampir setiap sore di rumah, terutama jika ada Ibu Mertua atau Ibu saya di rumah. Sinetron India akan menguasai suasana dan tentu saja saya tidak suka. Jika tidak karena menghargai selera orang-orang yang saya cintai, tentu saluran TV akan saya pindah dengan sukarela. Meski cenderung tidak suka, keterpaparan yang tinggi membuat saya mengetahui hampir semua sinetron itu. Yang lebih parah, saya juga kadang harus menyaksikan acara heboh “meet and greet” bintang sinetron India yang didatangkan ke Indonesia oleh stasiun TV tertentu. Jutaan orang Indonesia sedang demam Sinetron India. Mau tahu perasaan saya sejujurnya? Saya benci itu!
Sore itu, ketika delegasi India dan Indonesia berbicara serius tentang hubungan kedua bangsa, saya mengingat sinetron yang saya benci itu. Ketika pemahaman antarbangsa diperlukan lewat pertukaran budaya, sinetron itu seperti datang menawarkan gagasan segar. Tentu saja saya tidak sedang membahas cerita sinetronnya tetapi tentang interaksi kedua bangsa dalam budaya. Tanpa teori muluk-muluk soal hubungan internasional, ibu mertua, ibu, istri dan anak saya saya ternyata sudah melaksanakan proses ‘cross-culture understanding’ dengan sukarela. Saya juga tahu, menduga bahwa India itu diwakili oleh sinetron opera sabun India itu sama dengan percaya bahwa kehidupan orang Indonesia itu diwakili oleh Sinetron Tersanjung. Sinetron tidak mengambarkan kehidupan kedua negara secara utuh tetapi ada aspek-aspek tertentu yang bisa dipahami. Kerelaan menikmati karya seni satu negara adalah cara yang baik untuk memahami budaya mereka. Segala teori berkecamuk di kepala saya sebelum akhirnya angkat bicara di forum mentereng di Hotel JS Luwansa.
Saya mendengar tawa yang dilepas dengan leluasa dari delegasi Indonesia maupun India sesaat setelah saya membuka gagasan dengan kelakar seputar sinetron India. Sore itu, saya ditolong oleh sesuatu yang selama ini saya benci. Saya tetap tidak merekomendasikan Anda menonton sinetron baik Indonesia maupun India. Yang mau saya tegaskan adalah bahwa saya dengan sadar mengakui bahwa saya telah menjadikannya sebuah pengantar pembuka argumentasi serius saya soal hubungan dua negara. Dalam hati saya berkesimpulan geli ‘jangan terlalu mudah membenci karena yang kita benci itu mungkin suatu saat akan menolong kita’.
…kata simbah saya, batas benci dan cinta itu tipis Bli, hehe. keren banget timnya. mudah-mudahan kontribusi Bli Andi bisa membawa manfaat lebih luas 🙂 meeting berikutnya di India kah? hehe
hehe.. yes. Ya di India.
Dari pertemuan itu,akhirnya bapak jd lebih mengamati *mengamati loh bukan menyukai* film india ya? Bukan karena kekinian kan? Asalkan jgn sampe baper aja ya pak :p
haha
saya juga benci dengan sinetron india Pak. Namun tidak bisa dipungkiri media popular seperti televisi dapat secara cepat mempengaruhi selera orang.
Sangat menarik dan menginspirasi Pak.
Sukses selalu Pak.
salam dari Bandung 🙂
Salam kembali..