Wajahnya sederhana dengan jaket yang sepertinya sudah bebal dengan tikaman sinar matahari. Dia seorang pemuda bermotor yang ada dalam jangkauan saya ketika tragedi itu terjadi. Mobil saya mogok karena alasan kebodohan yang teramat memalukan: bensinnya habis. Tentu bukan lantaran tidak punya uang untuk membeli bensin. Prahara itu terjadi semata-mata karena teledor dan ceroboh tidak segera membeli bensin meskipun indikator bensin sudah memberi peringatan sejak kemarinnya. Inilah buah kemalasan dan ‘salah fokus’ yang akut dan berlebihan.
Di depan KCF di perempatan Mirota Kampus Jogja, mobil saya mogok tanpa kompromi. Untunglah kawan baik saya yang saat itu bersama saya di dalam mobil memberikan trik jitu. Dengan itu, setidaknya, mobil saya tidak menghalangi jalan terlalu lama. Mobil bisa kami pinggirkan dengan segera tanpa menimbulkan kemacetan berarti. Bensin habis. Itulah alasannya mengapa mobil itu bertingkah tidak kooperatif. Saya sudah yakin bahwa tidak ada masalah lain. Tawa getir keluar berderai-derai karena sadar akan kebodohan dan keinginan mengutuk diri sendiri deras mengalir ketika itu. Kebodohan memang bisa terjadi pada banyak orag dan sore itu saya membuktikannya.
Solusinya sederhana yaitu membeli bensin. Masalahnya hanya satu, HP saya mati sehingga tidak bisa menelpon siapapun untuk membantu membelikan bensin. Ini namanya cilaka tiga belas, sudah jatuh ditimpa tangga. Artinya kira-kira sama dengan “sudah habis bensin, HP mati pula”. Penyebabnya juga sederhana: keteledoran tingkat tinggi karena lupa mengisi batere HP secara rutin. Judul semua kejadian sore itu adalah “kebodohan tingkat dewa”.
Adalah Mas Sarno yang menjadi pahlawan. Dia baru saja kembali ke motornya yang parkir tidak jauh dari mobil saya yang mogok. Dengan mengurangi tingkat rasa malu dan sungkan secara drastis saya meminta dia mengantarkan saya membeli bensin. Setelah beberapa detik nampak ragu, akhirnya Mas Sarno dengan mantap mengiyakan. Maka semenit kemudian saya sudah diboncengnya menuju pom bensing di Jalan C. Simanjuntak. Perjalanan pun menggunakan jalur alternatif sehingga saya tidak terjebak macet lalu lintas yang dipadati orang-orang yang baru pulang kantor sore itu. Mas Sarno rupanya tahu betul perilaku pemakai jalan di Jogja ini.
Dalam waktu tidak lama saya sudah ada di pom bensin dan bernegosiasi dengan petugas. Mendengar cerita saya yang mengenaskan, petugas segera melayani saya. Tentu saya tidak membawa botol atau wadah lain untuk bensin tapi petugas dengan sigap berhasil mengumpulkan tiga botol besar bekas air mineral. Tiga botol itu berisi 4,5 liter dan konon itu cukup untuk ‘ngangkat’ mobil yang mogok karena kehabisan bensin. Saya manut saja, menyerah pada ahlinya.
Dalam perjalanan menuju mobil dengan dibonceng Mas Sarno, saya bertanya beberapa hal. Mas Sarno berasal dari luar Jogja dan merantau di Jogja selama sepuluh tahun terakhir. Konon dia sempat membuka usaha dan kini harus kembali bekerja pada orang lain. Usahanya adalah menjual bubur kacang ijo dan kini dijalankan oleh adiknya. Satu-satunya alasan dia untuk kembali bekerja pada orang lain adalah karena membutuhkan uang tambahan. Dia harus membiayai pengobatan orang tuanya yang harus ke rumah sakit beberapa kali dalam seminggu. Dari ceritanya Mas Sarno nampak lugu, jujur dan berbakti pada orang tua. Saya menyimak dengan tekun penuturannya. Dalam hati saya ingin menolong lelaki baik hati ini yang saat ini telah menyelamatkan saya dari tragedi konyol kehabisan bensin itu.
Singkat cerita, saya sudah tiba di mobil dan segera menuangkan tiga botol bensin sehingga mobil bisa hidup seperti sedia kala. Saya lega. “Mas saya tidak membayar jenengan tetapi saya ingin berterima kasih” kata saya seraya menyerahkan selembar uang warna biru kepada Mas Sarno. Beliau tersenyum santai dan santun sambil mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka lebar. Dia menolak dengan halus. Saya tidak menyerah sambil sedikit memaksa karena betul-betul merasa berterima kasih. “Mohon maaf Pak, saya ikhlas menolak” katanya dengan suara tenang dan yakin. Saya tertegun, tidak bisa memaksa lebih jauh lagi karena teryakinkan dengan sikapnya yang elegan.
“Matur nuwun sanget Mas. Kebaikan jenengan sangat berarti buat saya” kata saya sambil menyalaminya. Dalam pada itu saya meminta kartu namanya dan mengenalkan diri saya kepada Mas Sarno. Sesaat kemudian dia sudah lenyap di antara pemakai jalan di Jogja sore itu. Mas Sarno telah menjadi penanda kebaikan sore itu. Bahwa Tuhan penguasa alam memang menebar kebaikan di mana-mana. Tugas saya hanya menemukan kebaikan itu, memanfaatkan dengan baik serta menyukurinya. Bahwa di tanah manapun, bahwa di peradaban manapun, kebaikan itu ditebar cuma-cuma untuk mereka yang membutuhkan. Yang sering saya lupakan hanya satu, bahwa sayapun sebenarnya adalah butiran-butiran kebaikan yang ditebar Tuhan untuk membuat seseorang bisa tersenyum di satu sore. Terima kasih Mas Sarno.
Semoga rezeki Pak Sarno mengalir terus ya Pak, aaamiiinnnn 🙂
Amiiin
Terima kasih mas Sarnoooooo *moga-moga mas Sarno denger* hehe