
Kami sedang menikmati Bulan yang bundar sempurna, menggantung rendah, di atas Prambanan. Sinarnya menghasilkan siluet bangunan candi yang cantik. Seorang perempuan berambut pirang asyik berceloteh. Tak lain, dia adalah Pro Vice Chancellor Flinders University, Australia yang menangani kerjasama internasional. Kunjungannya ke Indonesia untuk menjajagi kerjasama dengan UGM dan saya bertugas menyambutnya. Malam itu, kami menjamu mereka di Prambanan. Sesaat lagi, kami akan menikmati Sendratari Ramayana.
Sejurus kemudian, saya perhatikan perempuan itu datang membawa sebiji salak dan dua bulir pisang. Buah tropis menjadi menu utama desert malam itu. Saya memperhatikannya karena ada yang aneh. “How can I” tanyanya. Dia bahkan tidak melanjutkan pertanyaannya apakah dia harus mengupas salak itu atau langsung memakannya. Dia sama sekali tidak paham bagaimana cara makan salak. Dengan sabar, saya mengajarinya. Tentu saja saya tidak perlu memegang tangannya ketika dia harus mengupas kulit salak itu. Kalaupun demikian, tentu tidak akan muncul dalam tulisan ini. Dengan telaten dia memperhatikan meskipun ketika praktik dia kerepotan. Mengupas salak adalah pekerjaan sulit. Baginya demikian.
Saya perhatikan, betapa penuh perjuangannya dia menempatkan ibu jarinya di tempat yang tepat serta memberi tekanan yang secukupnya agar ujung kulit salak yang lancip itu robek dan terlihat isinya. Dia sibuk melihat saya yang memperagakan sambil secara bergantian melihat tangannya sendiri yang tak kunjung berhasil menelanjangi salak yang putih mulus itu. Saya tersenyum geli dalam hati. Baru kali ini saya melihat seorang umat manusia kesulitan mengupas salak. Lebih terperangah lagi karena perempuan yang duduk di dekat saya adalah seorang profesor bioteknologi yang tersohor keilmuannya. Singkat kata, dia telah dihadapkan pada situasi yang amat sulit.
Menariknya, dia tetap berjuang. Dipaksanya tangannya mengupas salak itu hingga ibu jarinya tertoreh kulit salak. Dia terluka, tangannya berdarah meski tidak parah. Salak itu telah menelan korban. Korban tak berdosa yang tergagap gagap tidak mampu memanfaatkan keprofesorannya menyelesaikan masalah besar dalam hidupnya: mengupas salak. Saya terkejut dan tertegun sesaat lamanya. Tidak pernah menduga perkara ‘kecil’ itu akan menjadi begitu serius. Saya agak panik mau mencarikan obat tetapi ditahannya. Dia hanya tertawa tawa saja, menganggap itu hal biasa. Wajar, seseorang yang tidak pernah melihat salak dalam hidupnya akan terluka saat mengupas salak. Mungkin demikian pikirnya.
Malam itu saya pulang dengan satu perenungan kecil. Saya merenungi kulit salak yang melukai jari Ibu Profesor. Saya belajar lagi makna kata kata yang tadinya saya anggap mudah dan tidak penting. Saya belajar lagi makna kata sulit, mudah, berilmu, pengalaman, kegigihan, kegagalan, luka dan terutama tentang tidak mudah menyerah. Tiba tiba saya takut menuduh ada sesuatu yang mudah, sulit atau tidak penting. Jika saja Bulan Purnama itu, yang menggantung rendah di atas Prambanan, bisa berpikir, mungkin padanya berkecamuk satu perkara. Mudah mudahan dia tidak hendak membisikkan ajaran Bandung Bondowoso dan mencibir bahwa Ibu Profesor seharusnya bisa mengupas seribu biji salak dalam waktu semalam.
keren.. pak. seribu salak dalam semalam.
Maksih ya 🙂
yaya.. jadi ingat ada seorag pria handsome datang ke Danau toba jadi turis dan jadi berkenalan dengan saya. saya bawa ke rumah dan kebetulan panen jagung dan semua keluarga lagi asik mengeluarkan biji biji jagung dari pangkalnya, namanya adam. dia mau mencobanya dan tidak bisa2 saya diam sejenak dan heran pekerjaan yg begitu mudah bagi saya ternyata sangat sulit baginya tangannya merah dan akhirnya berdarah. saya heran cowo setinggi, seganteng ‘dan katanya sudah hampir keliling dunia ini tidak bisa ” mamipil ” jagung..
jadi Orang Besar Orang Hebat, kaya, pintar dan handsome itu juga ada kelemahannya.
pesan yang tersirat adalah “tidak ada orang bodoh” karena semua orang punya kemampuan sendiri”