
Saya pernah ikut makrab, malam keakraban, dengan sekelompok mahasiswa di Teknik Geodesi UGM. Terasa istimewa karena itu bukan hal yang biasa dilakukan dosen dosen di tempat kami bekerja. Saya menikmati suara ombak yang menjadi latar suasana malam itu. Kawan kawan mahasiswa menyiapkan sebuah acara malam yang memikat. Api unggun di tengah menghangatkan suasana dan celoteh anak anak muda tanpa henti melambungkan ingatan saya ke beberapa belas tahun silam saat menjadi mahasiswa. Kini hadir di tengah tengah mereka sebagai dosen, ada rasa yang berbeda. Ada pemahaman baru saat melihat anak anak muda itu bercengkrama, bergurau dan saling cela satu sama lain dengan akrabnya. Yang penting, ada makna baru yang tidak bisa didapatkan dengan tatap muka di ruang kelas.
Acara makrab itu mengajarkan pada saya bahwa seorang dosen bisa kehilangan banyak kesempatan untuk menyimak kehebatan anak muridnya jika dia hanya mengandalkan pertemuan di kelas. Seorang dosen bisa ketinggalan banyak cerita jika dia hanya membaca tugas tugas hasil buah tangan mahasiswanya tanpa tahu percakapan akrab dan tanpa sekat yang hanya bisa terjadi saat duduk duduk di atas pasir berlatar desahan air laut yang tak pernah lelah. Seorang dosen bisa gagal memahami talenta mahasiswanya jika kualitas mereka hanya dinilai dari lembaran lembaran jawaban ujian yang terjadi hanya dua kali dalam satu semester. Seorang dosen bisa keliru memahami aspirasi mahasiswa jika tidak menyimak celoteh mereka di Twitter dan Facebook karena kuisioner selepas Ujian Akhir Semester biasanya mereka isi dengan kepura puraan. Malam itu, saat telentang di dalam tenda beralas pasir pantai, saya merenungkan penuh rasa syukur karena telah mendapat udangan makrab itu.
Ada sutradara yang mengagumkan bakatnya, ada standup comedian yang cemerlang kelihaiannya, ada master of ceremony yang nyaris profesional, ada pelantun tembang yang meluluhkan hati, ada pemain musik yang memantik gairah, ada penerima tamu yang lihai, ada pengarah gaya, ada fotografer, ada pemain bola dan ada banyak lagi. Ada banyak pribadi baru yang bisa saya temukan dengan ikut makrab bersama mahasiswa. Betul, semua itu mungkin tidak membuat mereka akan mendapatkan nilai A di kelas Hukum Laut atau Pengelolaan Wilayah Pesisir yang saya ampu tetapi kecemerlangan mereka setidaknya membuat saya tidak merasa perlu risau. Pemahaman baru itu cukup membuat saya untuk tidak perlu berkecil hati hanya karena mereka tidak bisa menjawab satu atau dua soal yang penyelesaiannya ada di diktat kuliah atau bahan ajar saya. Mereka punya modal yang lain untuk mengarungi hidup, yang mungkin lebih dasyat daripada sekedar huruf A di transkrip mereka. Lewat makrab, saya menemukan pribadi pribadi yang lebih lengkap dan kelak saya bisa tenang ketika mereka beranjak pergi meninggalkan perguruan tinggi.
bli andi, sangat rendah hati dan membuka diri terhadap hal2 yg tidak normatif.. sy sangat suka tulisan ini.
Terima kasih Shanty 😀
Jadi ingat dosen pembimbing kemahasiswaan saya di kampus. Beliau suka menyempatkan diri untuk hadir di acara-acara kemahasiswaan yang saya dan kawan-kawan saya garap.
Pak Andi gak nyoba jadi dosen pembimbing kemahasiswaan aja? Sepertinya cocok 😀
Hm.. yang begitu kan tugas ya bukan lowongan kerja yang pakai lamaran. Setahu saya begitu. Saya tunggu perintah saja 😀