
Ada yang berbeda di Keraton Yogyakarta tanggal 5-7 Juli 2014. Sejumlah orang datang dengan seperangkat alat yang tidak lazim terlihat di Keraton: Terrestrial Laser Scanner (TLS). Alat ini bisa memancarkan sinar laser untuk merekam obyek bangunan dengan akurat dan mewujudkannya dalam bentuk digital tiga dimensi. Adalah Jurusan Teknik Geodesi UGM bekerjasama dengan alumni di PT. Lidar Indonesia dan PT. Leica Geosystem yang mewujudkan gagasan itu. Para surveyor itu melakukan pengabdian masyarakat dalam rangka Dies Teknik Geodesi UGM ke-55.
Jogja istimewa, kita semua tahu. Keraton adalah salah satu tanda keistmimewaan yang penting bagi Jogja. Bangunan Keraton, seperti halnya bangunan lain, sesungguhnya terancam keberadaannya oleh kondisi alam, polusi, bencana, peperangan dan kurangnya perawatan. Bangunan bersejarah ini dengan mudah bisa punah jika tidak dijaga. Yang lebih penting, renovasi dan rekonstruksi bangunan bersejarah ini juga tidak mudah dilakukan jika tidak atau belum pernah dilakukan dokumentasi yang sistematis dan akurat. Sebagai contoh, bagaimana mungkin Keraton bisa dibangun kembali sesuai bentuk aslinya jika dokumentasi teknis terhadap bentuk aslinya tidak pernah ada?
Agar tidak mengalami nasib yang sama seperti banyak tinggalan peradaban lainnya, pemeliharaan terhadap Keraton Yogyakarta mutlak diperlukan. Pemeliharaan ini dapat dilakukan dengan pendokumentasian yang berfungsi untuk konservasi. Konservasi Keraton Yogyakarta membutuhkan tingkat ketelitian dan kerincian yang tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan sains, khususnya bidang ilmu keteknikan.
Bidang ilmu Geodesi dan Geomatika mampu memberikan kontribusi dalam rangka konservasi Keraton Yogyakarta. Dengan menerapkan konsep penentuan posisi, dapat ditentukan detil geometri bangunan Keraton Yogyakarta secara tiga dimensi menggunakan TLS. Secara sederhana, penggunaan TLS ini seperti membuat cetakan untuk suatu obyek dan menyimpannya dengan baik. Jika karena suatu alasan obyek sebenarnya rusak atau berubah bentuk maka bentuk itu bisa dibuat lagi menggunakan cetakan yang sudah ada tersebut. TLS, pada prinsipnya, dapat membuat cetakan digital bagi bangunan bersejarah yang sudah ada.
Sultan HB X menyambut baik gagasan ini dan segera mengizinkan ketika tim Teknik Geodesi dan Geomatika UGM melakukan audiensi dengan beliau tanggal 12 Juni 2014. Dukungan serupa juga datang dari Bappeda dan dinas terkait lainnya. Itulah awal cerita mengapa sekumpulan surveyor dengan seperangkat pemindai laser berada di sekitar Keraton Yogyakarta pada tanggal 5-7 Juli 2014. Mereka menerapkan disiplin Geodesi dan Geomatika untuk merekam jejak peradaban yang tercatat rapi dalam relief bangunan keraton. Pagelaran dan Siti Hinggil menjadi sasaran utama karena di situlah UGM berawal. Jika saja Sultan HB IX tidak membuka lebar pintu Keraton untuk dijadikan tempat belajar, mungkin sejarah akan berkisah lain tentang UGM.
Jika sudah selesai, proses ini akan menghasilkan sebuah bentuk digital tiga dimensi yang akurat. Purwarupa atau prototype Bangunan Keraton Yogyakarta akan tercipta. Jika terjadi sesuatu dengan Keraton dan hendak dilakukan pemugaran, maka data digital ini akan menjadi rujukan utama sehingga rekonstruksi bisa dilakukan dengan tepat dan cepat.
Indonesia yang kaya akan tinggalan bersejarah perlu menggunakan pendekatan sains dan teknologi semacam TLS ini untuk melakukan konservasi dan dokumentasi. Ada ribuan atau mungkin jutaan bangunan penting yang jika tidak direkam mungkin akan lenyap dan terlupakan oleh generasi yang jauh lebih muda. Mulai dari keraton, candi, bentang alam yang unik hingga artefak penanda peradaban, semua itu layak diabadikan. TLS hadir dengan solusi, mendekatkan teknologi tinggi dengan tradisi asli.
Proses pendokumentasian ini lebih dari sekedar penerapan teknologi Geodesi dan Geomatika untuk mendokumentasikan bangunan. Kegiatan ini merupakan sebuah bukti kolaborasi berbagai disiplin yang berbeda untuk tujuan yang lebih besar. Di mata seorang surveyor Geodesi, karya mereka bisa saja dipandang hanya sebagai sekumpululan koordinat dan angka yang teliti. Dengan mengukur koordinat tinggalan peradaban ini, angka angka itu bermakna lebih besar, melampaui domain teknis semata. Pendokumentasian Keraton Yogyakarta ini, pada akhirnya, bukan sekedar penerapan teknologi tinggi. Bagi Yogyakarta, ini usaha merekam peradaban, mendigitalkan keistimewaan.
PS. Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
kalau kata Fahmi Amhar, geografi adalah induk sgla pngetahuan. Geodesi (geomatika), geospasial, pemetaan, dan sejenisnya emang membantu banget Pak, hehe
Like… tp saya gak ngerti hehehe
Very proud of this..