Ketika hampir menyelesaikan pendidikan di luar negeri, dia mendapat suatu pelatihan yang menurutnya aneh. Pelatihan itu bertema persiapan pulang kampung. Dia tidak habis pikir, mengapa untuk pulang kampung saja harus menyiapkan diri. Jika persiapan sebelum berangkat ke luar negeri dulu dilakukan begitu serius, dia paham karena akan datang ke tempat baru. Namun persiapan serius untuk pulang ke rumah sendiri ini terasa agak berlebihan. Akibatnya dia tidak mengikuti pelatihan itu dengan serius. Baginya tidak begitu penting. Dia tidak merasa perlu diajari bersikap di rumah sendiri, di negeri sendiri. Tidak akan ada yang mengejutkan di lingkungan budaya yang dia kenal sejak lahir. Itulah keyakinannya.
Setelah pulang dari sekolah di luar negeri, pelan-pelan dia memahami makna pelatihan ‘persiapan pulang kampung’ itu. Pelatihan itu memang penting karena ternyata orang bisa mengalami gegar budaya sendiri. Kebiasaan Ibu-ibu yang tidak bisa antri di Pasar Sambilegi di Jogja tiba-tiba saja begitu menyakitkan hati dan terasa serius. Seorang ibu-ibu yang tergesa dan menyerobot antrian di depannya tiba-tiba saja seperti melakukan pelanggaran norma serius dan telah menjajah haknya sebagai pengantri. dia mudah geram. Yang paling penting, seakan-akan hal itu tidak terjadi sebelum dia sekolah ke luar negeri.
Pengendara motor tiba-tiba saja terasa begitu tidak tertib dan ugal-ugalan. Mereka menyalip dari kiri, melintas bermanuver tiba-tiba dan menggeber gas sembarangan. Semua itu memancing kemarahan dengan sangat amat mudah. Mereka adalah orang-orang yang tidak memperhatikan hak-hak manusia lain di jalan raya yang harus dijaga kenyamanannya. Mereka telah melakukan penindasan terhadap orang lain dan ini tidak bisa dia biarkan. Dia geram dan marah. Yang lebih penting, seakan-akan itu tidak terjadi sebelum dia sekolah ke luar negeri.
Di jalan raya, orang memakai klakson sembarangan dan membuat gaduh. Mereka tidak memperhatikan kenyamanan pengendara lain. Orang tidak sabar di lampu merah, membunyikan klakson yang membahana seakan tidak peduli bahwa untuk membuat semua kendaraan bergerak sesaat setelah lampu merah itu adalah perkara mudah yang bisa cepat dilakukan. Dia geram, marah, dan mudah mengumpat. Betapa tidak terdidiknya mereka, pikirnya. Betapa bangsa ini rusak parah. Yang lebih penting, seakan-akan itu tidak terjadi sebelum dia sekolah ke luar negeri.
Taman-taman kota sangat kurang jumlahnya. Pemimpin daerah tidak memperhatikan kebutuhan bermain anak-anak. Trotoar tidak ada. Pejalan kaki tidak nyaman hidupnya. Pemimpin nasional terlibat korupsi. Bupati berakhir di bui. Pemimpin lembaga peradilan tertangkap KPK. Pemilu bermasalah dan politik uang. Pejabat negara merangkap jabatan. Punggawa publik mementingkan partainya. Pejabat daerah asyik masyuk ber-KKN dan mementingakn sanak saudara. Beda banget degan luar negeri. Dia marah, mudah geram dan frustasi. Yang lebih penting, seakan-akan itu tidak terjadi sebelum dia sekolah ke luar negeri.
Institusi di tempatnya tidak menghargai dia yang lulusan luar negeri. Tidak ada fasilitas penelitian yang memadai. Kampusnya tidak berlangganan jurnal kelas hebat yang diperlukannya untuk meneliti. Komputer di lab tidak secanggih komputernya ketika di lab di luar negeri dulu. Dana penelitian kecil, kesempatan konferensi sangat terbatas. Koleganya tidak memiliki pandangan visioner soal penelitian, semua hanya menjadikan penelitian sebagai proyek untuk menambah penghasilan. Yang lebih penting, seakan-akan itu tidak terjadi sebelum dia sekolah ke luar negeri.
Dia adalah saya, dia adalah Anda. Wajah dia bisa jadi adalah wajah kita semua, para alumni luar negeri. Bagaimana kita harus menjaga kewarasan saat dihadapkan satu situasi yang dekat tetapi asing? Anda bisa menyimak pandangan saya soal ini dalam diksui bersama I4 (http://i-4.or.id/id/i-4-talks-menjaga-kewarasan/). Saya tidak menjanjikan solusi tetapi sebuah percakapan jujur dari hati ke hati. Betulkah kita generasi cemen yang menjadi lemah dan manja setelah pulang dari sekolah di luar negeri? Simak video berikut ini:
Bener pak,. waktu saya pertama kalinya pergi ke singapura dan kembali ke Indonesia tercinta, ngelihat orang buang sampah kesannya jadi “ya ampuuun orang ini, main buang sampah sembarangan mentang2 ndak ada denda” … hehe