Menyemai Kebaikan, Merawat Semangat


semangat
Melawan keterbatasan

Perempuan itu menyambut saya dengan ramah, menerima berkas yang mau saya fotocopy. Ada yang tidak biasa pada dirinya tapi sepertinya dia tidak peduli. Seakan tidak terjadi apa-apa dia bergerak sigap menerima berkas saya lalu bergerak menuju mesin fotocopy yang tidak jauh darinya. Toko itu tidak besar, penuh sesak dengan rankaian janur dan lontar yang berwarna-warni. Perempuan Bali ini rupanya juga menjual bebantenan, sesajen yang memang jadi kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Di berbagai sudut tergantung sampian, tamas, ceper, tangkih dan segala rupa bentuk rangkaian janur dan lontar. Aroma khas lontar segar akrab dengan toko sederhana itu.

Saya masih takjub memerhatikan perempuan itu dari belakang. Tangannya bekerja cekatan memindahkan halaman-halaman dokumen yang difotocopy lalu menyusun hasilnya menjadi satu kesatuan dengan stapler. Dia sigap dan cepat. Sementara itu saya masih terpana. Ingin rasanya banyak bertanya tentang situasinya tetapi saya tidak tahu harus mulai dari mana. Ada rasa iba tetapi buru-buru saya tepis karena iba itu bisa-bisa adalah bentuk ‘penghinaan’ dalam kemasan lain. “Ibu memang asli dari sini?” saya akhirnya bertanya. Dijawabnya, “saya asli Gianyar tapi menikah dengan orang sini”. Tidak banyak yang bisa saya tanyakan lagi karena takut tidak tepat. Dalam hati saya membayangkan, pastilah lelaki, suami perempuan ini, baik hatinya.

“Semua rangkaian janur dan lontar ini dari mana asalnya?” saya bertanya lagi. Saya duga itu dibuat oleh orang lain dan dia membantu menjualkannya. “Saya buat sendiri” katanya menegaskan. Takjub saya pada perempuan itu meninggi. Dia menggabungkan dua divisi bisnis yang menarik. Pertama, dia adalah satu-satunya tukang fotocopy di daerah tersebut sehingga menjadi satu-satunya harapan para pembelajar yang perlu menggandakan bahan tertulis. Kedua, dia menjadi penyedia bebantenan yang tidak pernah lepas dari kehidupan keseharian orang Bali. Sebuah kombinasi menarik pendidikan dan ritual agama.

Pertemuan saya dengannya tidak lama dan sayapun melaju pulang. Perempuan ini menolak untuk menyerah. Dia menyemai kebaikan lewat layanannya yang berhias senyum sekaligus merawat semangat di tengah keterbatasannya. Dari orang-orang demikian menjalar semangat baru. Dari orang-orang yang dengan sadar melawan keterbatasan, ada siraman rohani yang tidak disampaikan dengan mengutip ayat suci. Benar kata seorang kawan, hambatan dan rintangan pasti ada. Menjadi sabar serta menjaga semangat adalah sebuah keputusan sadar. Dalam perjalanan pulang, ingatan saya dipenuhi oleh bayangan tongkat kayu penyangga yang dikepit di kedua ketiak perempuan itu. Kedua tongkat itulah yang menopang kedua kakinya yang nyaris tidak berfungsi.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Menyemai Kebaikan, Merawat Semangat”

  1. Kadang orang-orang seperti mereka bikin saya malu.. karena mereka bisa begitu produktif, sedangkan saya kadang masih banyak mengeluh..
    Dari mereka lah kita bisa banyak belajar bersyukur ya Pak… bahwa ternyata kita masih jauh lebih beruntung dengan segala kelengkapan fisik yang kita miliki. TFS

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: